Warga membawa hasil pertanian melintasi Desa Hutanobolon pasca banjir menghantam kawasan itu, Sabtu (20/12/2025). (IDN Times/Prayugo Utomo)
Dalam konteks pemulihan, KI melihat Kelompok Kerja Ekosistem Batang Toru (POKJA EBT) memiliki peran strategis untuk menyatukan langkah lintas sektor. Menurut Dedy, dinamika pascabencana menuntut kerja kolaboratif agar berbagai program berjalan searah.
“POKJA menjadi ruang penting untuk menyatukan langkah. Situasi pascabencana menunjukkan bahwa Rencana Perlindungan dan Pengelolaan Terpadu Ekosistem Batang Toru perlu segera didorong sebagai rujukan bersama, agar berbagai upaya pemulihan, penataan ruang, dan perlindungan kawasan bergerak dalam satu arah,” imbuhnya.
Program Manager Batang Toru Konservasi Indonesia, Doni Latuparisa, menambahkan bahwa keberhasilan perlindungan ekosistem juga sangat bergantung pada kondisi desa-desa di sekitar kawasan.
“Pengelolaan ekosistem Batang Toru tidak bisa dilepaskan dari kondisi desa-desa di sekitarnya. Ketika wilayah pinggiran mengalami kerusakan dan tidak tertangani dengan baik, upaya pelestarian di tingkat ekosistem juga akan berjalan lebih lambat karena tekanan terhadap kawasan inti terus meningkat,” kata Doni.
Ia menekankan pentingnya pembaruan data ekologis, hidrologis, kebencanaan, dan sosial sebagai dasar penataan ruang pascabencana.
“Penataan ruang membutuhkan basis data yang lengkap dan diperbarui. Ketika data ekologis, hidrologis, kebencanaan, dan sosial dikumpulkan dan dibaca bersama, pemerintah akan memiliki pijakan yang lebih kuat untuk menyusun rencana tata ruang yang mumpuni,” jelas Doni.
Secara ekologis, KI menilai keutuhan kawasan Batang Toru dengan luas sekitar 240.000 hektare menjadi syarat minimum agar fungsi ekosistem tetap berjalan optimal. Analisis KI juga mencatat, dalam lima tahun terakhir terjadi pembukaan lahan sedikitnya 10.000 hektare, dengan lebih dari 73 persen berada di wilayah hulu di atas 700 mdpl.