Antropolog Hukum, Edy Ikhsan (Dok. IDN Times)
Edy mencontohkan, beberapa tahun lalu menara Gedung Kerapatan Medan di Jalan Katamso masih tersisa satu, namun saat ini sudah hilang. Lebih dari 20 bangunan ruko yang ada di Kawasan Pecinan Medan menghilang, sedangkan bangunan Vila Kembar di Jalan Diponegoro juga telah didirikan bangunan baru.
Waktu Medan dibangun di akhir abad Ke-19, kata dia, memang sudah diplot menjadi satu kota modern, kota yang nyaman, dengan ungkapan Paris van Sumatra. Rekam jejaknya masih bisa ditelusuri hingga saat ini bagaimana jalan di pusat kota, antara Istana Maimun sampai ke Belawan, kemudian ada Esplanade (Lapangan Merdeka sekarang).
Waktu itu, dengan masuknya perkebunan asing, Medan dibangun dengan identitas kota perkebunan yang cantik. Daerah Kesawan dijadikan pusat kota. Gedung-gedung bersejarah nan megah banyak dibangun di sana. Namun sekarang banyak yang hilang dan diganti ruko. Baru-baru ini, Rumah Sakit Tembakau Deli yang kesohor itu juga beralih fungsi, begitu juga ratusan bangunan bersejarah lainnya.
"Ironisnya, pembongkaran terhadap bangunan, pencederaan bangunan bersejarah itu berlangsung di depan mata para pemimpin kita," ungkapnya.
Padahal, tambahnya, jika bangunan-bangunan bersejarah itu dirawat, dijaga dan dilestarikan, bisa menjadi kebanggaan yang luar biasa dari segi identitas kota. Dia mengambil contoh pembangunan Kota London di Inggris. Di sana, pemerintah bisa membangun kota tanpa menghancurkan bangunan lama bersejarah. London bisa menjaga identitasnya. Para wisatawan bisa leluasa berjalan di jalanan London dengan pemandangan bangunan bersejarah yang menjulang.
"Kebalikannya, para pemimpin kita justru terlalu menghamba pada kapital. Ingin mendapat uang dengan cepat dan menghancurkan yang lama," tegasnya.