Iklan - Scroll untuk Melanjutkan
Baca artikel IDN Times lainnya di IDN App
Anak-anak pesisir belajar di atas perahu (IDN Times/Eko Agus Herianto)

Deli Serdang, IDN Times - Bukan hal yang hiperbolis ketika menyangkut bagaimana mimpi anak-anak pesisir dibangun dalam sebuah wadah belajar non formal. Di pinggir sungai dekat muara, satu gudang tak terpakai disulap menjadi tempat belajar yang aktivitasnya bukan hanya mendalami huruf dan angka-angka, namun juga mempelajari sosial budaya hingga keberagaman ekologis kelautan.

Mayoritas anak-anak yang belajar di tempat ini adalah "Anak Itik", sebutan yang biasa dikenal masyarakat pesisir untuk anak-anak yang sudah bekerja mencari ikan lalu dijual secara mandiri. Sehingga tak heran banyak dari mereka yang buta huruf dan memilih putus sekolah karena merasa sudah bisa mencari uang sendiri dengan hanya menangkap ikan, udang, hingga kerang.

"Kami mau sukses!" pekik anak-anak itu dengan kompak di atas lantai kayu rumah belajar yang sedikit lapuk. Sebagian dari "Anak-anak Itik" telah sadar bahwa pendidikan merupakan modal penting untuk mencapai mimpi-mimpi mereka yang besar.

1. Saban hari mencari ikan kini punya minat belajar tinggi, pelan-pelan sudah bisa membaca

Anak-anak pesisir saat sedang belajar di pinggir sungai (IDN Times/Eko Agus Herianto)

Pasang air laut tak membuat semangat belajar anak-anak pesisir Bagan Percut, Kecamatan Percut Seituan redup. Selagi celana masih bisa dilinting dan lantai tak kebanjiran, maka hadirnya mereka di pondok belajar merupakan suatu yang wajib.

Tempat yang tidak terlalu luas ini diberi nama Rumah Edukasi Anak Pesisir. Lokasinya berada di pinggir sungai dekat pantai dan hutan bakau yang rimbun. Sehingga tak jarang hewan seperti monyet turut singgah menemani anak-anak belajar.

"Rumah edukasi ini menyediakan pendidikan informal setiap minggunya dari jam 9 pagi sampai 12 siang. Program kita biasanya belajar berhitung, membaca, hingga berkreasi," aku relawan Rumah Edukasi Anak Pesisir bernama Atika.

Pondok belajar yang tidak terlalu luas ini sudah berdiri sejak 2022. Mereka telah membakukan misi filantropi dengan membantu anak-anak pesisir memperoleh pengalaman akademik. Sebab banyak dari mereka yang putus sekolah dan buta huruf.

"Peserta didik di sini anak nelayan semua. Rata-rata orang tua mereka banyak menjadikannya sebagai Anak Itik, yang menyuruh bekerja mencari ikan daripada harus belajar. Memang sebagian dari mereka ada yang mengenyam pendidikan formal, tapi tak sedikit pula sudah putus sekolah. Bahkan ada yang sudah SMP namun belum bisa membaca. Nah, kekhawatiran inilah yang membuat kami ingin mengajar mereka, sekurang-kurangnya tidak buta huruf," beber Atika.

Lambat laun para relawan mampu merengkuh kepercayaan masyarakat dan "Anak-anak Itik". Tak tanggung-tanggung, murid di rumah edukasi ini jumlahnya bahkan sudah mencapai 100 lebih. 

Anak-anak dari umur 3 tahun sampai yang sudah duduk di bangku kelas 3 SMP belajar di bawah atap yang sama. Dengan kondisi seadanya, mereka bisa menciptakan iklim pendidikan yang asyik.

"Kelas dibagi 2, yakni kelas A untuk anak-anak tak bisa membaca, dan kelas B untuk anak-anak yang sudah bisa membaca. Ketika anak di kelas A sudah bisa membaca, dia naik ke kelas B. Di kelas B kita mengajari mereka sesuai dengan porsinya," sebut Atika.

2. Tangan dingin relawan buat banyak program belajar yang menarik

Editorial Team

Tonton lebih seru di