Anggota Pokmaswas Srikandi di Desa Berakit saat membersihkan sampah laut di area penyemaian bibit bakau (IDN Times/Putra Gema Pamungkas)
Di tengah kehancuran ini, harapan masih ada. Sejak Agustus 2024, Yayasan CARE Peduli Indonesia turun tangan, membangun kesadaran masyarakat, bersama Yayasan Ecology.
"Program ini bukan sekadar menanam pokok—kami membangun kesedaran. Dulu orang datang ke Berakit untuk merawat lingkungan kerana dibayar. Sekarang mereka buat itu kerana hati, bukan kerana upah," kata Abdul Wahib, CEO Yayasan CARE Peduli Indonesia, Selasa (25/3/2025).
Mereka datang ke Desa Berakit membawa tiga misi, melawan kemiskinan, memperjuangkan keadilan gender, dan mempertahankan lingkungan dari cengkraman krisis iklim.
"Sekarang masyarakat sudah melihat dengan perspektif yang lebih luas, mereka sudah ada rasa memiliki dan menjaga lingkungan serta meningkatkan perekonomian dari sektor-sektor baru," ungkapnya.
Lanjut Abdul, pihaknya kini juga tengah melakukan perancangan cara-cara menjual produk KUEP di Desa Berakit, seperti batik dan produk turunannya.
"Komitmen kami di Desa Berakit pasti akan dilanjutkan kedepannya karena membangun hal ini tidak akan bisa selesai dalam satu tahun," tutupnya.
Rahima Zakia dari Yayasan Ecology menjelaskan, di Desa Berakit, hingga saat ini mereka sedang menyemai 46.000 bibit bakau pasir, jenis pohon bakau yang dominan di daerah ini.
"Penanaman akan dilakukan akhir April atau awal Mei, menunggu bibit siap. Kami telah memetakan 64 hektare wilayah potensial yang akan ditambal, dan 46.000 bibit ini akan menutupi sekitar satu hektar. Jadi, bukan tidak mungkin kegiatan ini akan terus berlanjut," jelasnya.
Berdasarkan data dari Non-Governmental Organization Akar Bhumi Indonesia, dari total 67.417 hektare bentangan hutan mangrove di Kepulauan Riau, hingga tahun 2025 kerusakannya bisa mencapai 50 persen.
Kerusakan ini meliputi pembangunan-pembangunan bersekala besar di pesisir pantai Kepulauan Riau. "Seperti pembangunan yang masif di Batam dan Bintan, beberapa diantaranya sudah kami laporkan ke KLHK dan telah ditindaklanjuti," kata Pendiri Akar Bhumi Indonesia, Hendrik Hermawan.
Menurut Hendrik, Pulau Bintan yang menyumbang 14.000 hektare bentangan hutan mangrove menjadi salah satu kabupaten di Kepulauan Riau yang perlu dilakukan pelestarian hutan mangrovenya. Mengingat besarnya angka pembangunan di wilayah pesisir pulau tersebut.
"Kalau tidak dijaga, bentangan hutan mangrove itu bisa saja hilang karena pembangunan, dan hutan mangrove, hanya akan menjadi cerita bahagia bagi anak cucu— bagi warga di Pulau Bintan," tutupnya.
Senada, Kepala Bidang Kelautan, Konservasi dan Pengawasan Dinas Kelautan dan Perikanan (DKP) Provinsi Kepulauan Riau, Raja Taufik Zulfikar turut mengapresiasi kegiatan konservasi ini.
Menurutnya, pesisir Desa Berakit menjadi salah satu kawasan di Kabupaten Bintan yang perlu dilakukan penyulaman kembali hutan mangrovenya—mengingat, aktivitas pembalakan pohon bakau kerap terjadi di kawasan ini sebelumnya.
"Kami jelas mengapresiasi kegiatan-kegiatan seperti ini. Kami juga terus melakukan pengawasan dan memberikan edukasi kepada masyarakat setempat, agar tidak menebang pohon-pohon di hutan mangrove," pungkas Zulfikar.
Setelah melihat hal-hal baik yang menyentuh ke tangah kelompok-kelompok perempuan di Desa Berakit, sore itu kami kembali ke Kota Tanjung Pinang.
"Bertahanlah sedikit lebih lama—tumbuhlah liar serupa gulma," tutup lagu Efek Rumah Kaca dari dalam mobil yang kami tumpangi, dengan penuh harapan konservasi dan pemberdayaan kelompok perempuan yang dilakukan Yayasan Ecology, dan CARE Indonesia di Desa Berakit dapat bertahan—dan terus berkembang serupa gulma.
**Liputan ini merupakan Fellowship "Perempuan dan Mangrove Membangun Ketahanan Ekologi dan Ekonomi di Pulau Bintan" yang digelar Yayasan Care Peduli Indonesia bekerja sama dengan SIEJ**