(Ilustrasi wisuda) IDN Times/Mardya Shakti
Terkait dampak psikologis atau sosial, menurutnya tidak ada. Sebab, wisuda yang menjadi budaya ini hanya ada pada perguruan tinggi. Bukan untuk pada siswa jenjang sekolah dasar atau menengah. Namun, berbeda cerita jika itu hanya dinilai untuk kepentingan di media sosial.
"Saya ada pernah diminta untuk mengikuti wisuda anak saya tamat SMP, jadi masih budaya yang sangat baru. Jadi ini gak perlu, karena hanya kepentingan komersialisasi dan tujuannya yang tidak bermanfaat atau tujuannya hanya menghabiskan biaya orangtua," terang Rizal.
Baginya, kegiatan wisuda hanya mengikuti tren dan sudah menjadi kebiasaan sehingga dirasakan wajib.
"Dampaknya banyak mudarat dibandingkan manfaatnya, maka sebaiknya menurut saya dihapuskan saja. Bisa diganti dengan yang lain yang menggambarkan budaya," sebutnya.
Dia pernah melihat perpisahan bisa dilakukan dengan cara membuat dia bersama sebagai rasa syukur atas lulusnya siswa-siswi tersebut.
"Ada sekolah yang saya lihat, perpisahannya membuat doa bersama dan berkumpul atau syukuran yang lebih beradab dibanding dengan wisuda yang gak ada maknanya. Tingkat SD, SMP, dan SMA tidak diutamakan nilai seperti indeks prestasi kumulatifnya mahasiswa yang perlu diunggulkan dan diselebrasikan itu tidak ada penilaiannya untuk jenjang berikutnya kan sudah tidak ada lagi," katanya.
Kemudian dia mengatakan bahwa, pentingnya wisuda untuk perguruan tinggi agar dapat menunjukkan kepada masyarakat tentang kelulusannya. Mulai dari lulusannya yang terbaik, dengan nilai IPK tinggi hingga terendah.
"Jadi nilai psikologisnya ada buat yang nilai tinggi biasa cenderungnya kan ditawar dan digunakan perusahaan untuk bekerja dan itu salah satu cara untuk menjaring kelulusan," jelasnya.
Alasan lain menurutnya hadir wisuda untuk perguruan tinggi karena sudah melalui dunia pendidikan untuk sekolah yang telah berbelasan tahun lamanya. Sehingga, menjadi wajib untuk dilakukan selebrasi dan pamer akan nilai IPK sebagai inspirasi bagi yang lain.
"Budaya yang ada diperguruan tinggi itu tidak selamanya cocok, untuk diterapkan pada pendidikan yang lebih rendah. Jadi, gak bisa jadi tujuannya itu apa coba. Gak ada ya. Secara psikologis juga gak ada," paparnya.