Tugu Simpang Kanan di Gampong Lipat Kajang, Kecamatan Simpang Kanan, Kabupaten Aceh Singkil, Aceh, September 2022. Warga sempat berkumpul di sini sebelum bergerak membakar Gereja HKI di Gampong Sukamakmur, Kecamatan Gunung Meriah. (IDN Times/Mhd Saifullah)
Tak sekadar untuk ajang tanding bola, Lapangan Mariam Sipoli ternyata menyimpan sejarah haru pilu. Di situlah perdamaian pertama dilakukan di Tanah Batuah -sebutan lain dari Aceh Singkil- usai konflik antara kelompok beragama Islam dengan Kristen Protestan pecah pada 1979. Sekaligus menjadi penanda, jejak konflik telah meletus hampir setengah abad lalu.
Peneliti dari Badan Penelitian, Pengembangan dan Pendidikan Latihan (Balitbang dan Diklat) Keagamaan Kementerian Agama, Haidlor Ali Ahmad menuliskannya dalam Jurnal “Resolusi Konflik Keagamaan di Aceh Singkil dalam Perspektif Budaya Dominan” pada 2016. Ia menjelaskan, konflik bermula dari penolakan masyarakat terhadap pembangunan Gereja Tuhan Indonesia (GTI) di Kecamatan Gunung Meriah. Kondisi diperkeruh dengan isu rencana kristenisasi.
Petinggi Dayah Darul Muta'allimin Tanah Merah di Kecamatan Gunung Meriah, Umma Abidin punya pandangan lain. Bahwa kecemburuan seorang muslimlah atas jabatan bendahara kecamatan yang diduduki seorang nonmuslim menjadi pemicu awal perseteruan itu.
“Bukan karena gereja dibangun, tapi bendahara camat orang Kristen. Kemudian digodok tahun 1979. Dari jabatan larinya ke agama,” ucap Umma Abidin saat ditemui IDN Times di dayahnya (pesantren), Sabtu (23/12/2023).
Isu pendirian gereja dan kecemburuan jabatan itu memicu gelombang amarah sekelompok umat Islam. Reaksi mereka berujung pembakaran bangunan milik GTI di Kecamatan Gunung Meriah. Bahkan sebagian warga terpaksa mengungsi.
Insiden yang terjadi membuat kedamaian antarumat beragama renggang. Sebelumnya, kedua kelompok umat beragama itu hidup rukun. Penganut Kristen Protestan dari jemaat Huria Kristen Indonesia (HKI) Sukamakmur, Rasmen Manik pun mengakui, masa kecilnya diwarnai saling menyambangi kediaman antara sesama Kristen Protestan dengan muslim.
“Waktu kecil, kawan muslim banyak. Seluruh daerah aku itu, kawan-kawan semua muslim. Dia sering main ke rumah, kami pun sering main ke rumahnya,” kenang Rasmen yang juga warga Gampong Sukamakmur, Kecamatan Gunung Meriah yang pernah bertemu IDN Times pada 17 September 2022 lalu.
Pertikaian redam usai tiap-tiap tokoh sepakat berdamai dan mendeklarasikan Ikrar Kerukunan Bersama pada 13 Oktober 1979. Poin penting ikrar itu adalah umat Kristen dilarang melanjutkan pendirian maupun merenovasi gereja, sebelum mendapatkan izin dari Pemerintah Daerah Tingkat II Aceh Selatan -sebelum pemekaran tahun 1999, Aceh Singkil adalah bagian dari Kabupaten Aceh Selatan-. Perizinan berdasarkan Keputusan Bersama Menteri Agama dan Menteri Dalam Negeri Nomor 1 Tahun 1969 tentang Pelaksanaan Ketertiban dan Kelancaran Pelaksanaan Pengembangan dan Ibadah Agama oleh Pemeluk-pemeluknya.
Perdamaian turut disertai ritual adat berupa peusijuek (tepung tawar) yang bermakna untuk mendinginkan. Tradisi itu biasa dilakukan untuk memohon keselamatan, ketentraman, dan kebahagiaan dalam kehidupan.
Tidak hanya itu, perayaan perdamaian dilanjutkan dengan makan bersama di Lapangan Mariam Sipoli. Baik pemeluk Islam maupun Kristen duduk bersama menikmati acara syukuran yang diadakan.
Hampir dua dekade, pemeluk Kristen terus bertambah. Denominasi atau pembagian aliran dari agama yang dibawa oleh Isa Almasih juga bermunculan di Aceh Singkil. Mereka mendirikan beberapa gereja untuk beribadah sesuai prinsip mahzab masing-masing.
Kehadiran gereja-gereja itu dianggap melanggar perjanjian 1979. Gerakan penolakan kembali timbul disusul perusakan tempat beribadah umat Kristen pada 1995 dan 1998 di Gunung Meriah.
Kesepakatan kembali diperbaharui pada 2001 untuk mencegah konflik membesar. Hasil dari pakta itu adalah bangunan yang diberi izin hanya satu gereja dan empat undung-undung -gereja berukuran kecil-. Selebihnya, gereja tanpa izin mendirikan bangunan (IMB) harus dibongkar.
Sementara laju demografi pertumbuhan penduduk tak bisa ditahan, termasuk dari tiap-tiap jemaat umat Kristen yang tersebar di Tanah Batuah itu. Larangan mendirikan gereja baru maupun merenovasi gereja yang telah ada, berdampak pada terbatasnya kapasitas. Apalagi regulasi tumpang tindih, sehingga dinilai mempersulit para pemeluk Kristen untuk mendirikan tempat peribadatan.
Rumusan pasal persyaratan pendirian rumah ibadah berdasarkan Peraturan Gubernur (Pergub) Aceh Nomor 25 Tahun 2007 tentang Pedoman Pendirian Rumah Ibadah bertentangan dengan Peraturan Bersama Menteri Agama dan Menteri Dalam Negeri (PBM) Nomor 9 dan 8 Tahun 2006 tentang Pedoman Pelaksanaan Tugas Kepala Daerah/Wakil Kepala Daerah Dalam Pemeliharaan Kerukunan Umat Beragama, Pemberdayaan Forum Kerukunan Umat Beragama (FKUB) dan Pendirian Rumah Ibadah.
PBM mensyaratkan jumlah pengguna rumah ibadah paling sedikit 90 orang dan mendapat dukungan 60 orang masyarakat setempat. Sedangkan, Pergub Aceh mensyaratkan jumlah pengguna 150 orang dan masyarakat lingkungan yang mendukung 120 orang.
Kondisi tersebut menjadi alasan umat Kristen mendirikan gereja baru. Alhasil, banyak gereja tanpa izin dan tidak sesuai dengan PMB maupun Pergub Aceh, sehingga dianggap ilegal oleh masyarakat. Gejolak-gejolak kecil pun muncul pada 2006 dan Agustus 2015.
Penolakan bangunan gereja tanpa izin berlanjut dengan aksi demonstrasi yang dilakukan Pemuda Peduli Islam (PPI) pada 6 Oktober 2015. Sembari membawa keranda dan diwarnai aksi bakar ban, massa mengepung Kantor Bupati Aceh Singkil
“Massa meminta rumah ibadah ditertibkan karena tidak ada izin,” ujar Wakil Sekretaris Forum Kerukunan Umat Beragama (FKUB) Aceh Singkil, Mustafa melalui sambungan telepon.
Sementara, ultimatum pembongkaran gereja digaungkan massa yang menolak, apabila keinginan mereka tak diaminkan pemerintah.
Tanggal 13 Oktober 2015 menjadi puncak huru hara. Ratusan pemuda mengatasnamakan “Peduli Islam” bergerak dari Gampong Lipat Kajang, Kecamatan Simpang Kanan.
Tiba di persimpangan Gampong Sukamakmur, Kecamatan Gunung Meriah, massa mendadak masuk ke lokasi Gereja HKI berada. Sembari mendengungkan penertiban rumah ibadat umat Kristen tanpa izin, gereja yang telah berdiri sejak tahun 2000 itu dibakar.
“Kami tidak tahu dari mana asal usulnya. Kata mereka (jemaat lain) yang datang ke gereja, tidak satu pun kenal orangnya,” kata Rasmen yang juga pengurus Gereja HKI.
Usai eksekusi, massa mulai surut dan kembali ke Gampong Lipat Kajang. Namun entah siapa yang mengomandoi, ratusan pemuda itu malah bergerak ke Gampong Dangguran, Kecamatan Simpang Kanan yang menjadi lokasi beribadah jemaat Gereja Kristen Protestan Pakpak Dairi (GKPPD).
Kedatangan mereka ternyata telah ditunggu umat Kristen yang menjadi mayoritas di desa itu. Benturan tak terelakkan. Seorang muslim tewas dan beberapa luka. Beruntung aparat keamanan segera melerai sehingga dapat mencegah korban jiwa lainnya jatuh lagi.
Eksekusi pembongkaran gereja -juga undung-undung- yang tidak berizin dilakukan pascakonflik 2015. Sebelumnya ada 24 gereja, kemudian dirobohkan sebanyak 10 gereja. Pemkab Aceh Singkil meminta umat Kristen memproses IMB dari 14 gereja yang tersisa. Upaya itu tidak mudah dijalankan, lagi-lagi karena terganjal aturan. Akhirnya, hanya satu gereja yang berizin.
Perkembangannya, berdasarkan Katalog Kabupaten Aceh Singkil Tahun 2023, jumlah penduduk menurut agama dianut berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS), yakni Islam 115.316 jiwa, Kristen Protestan 14.561 jiwa, Kristen Katolik 1.295 jiwa, Hindu enam jiwa, Budha satu jiwa, dan kepercayaan lainnya 244 jiwa.
Jumlah tempat peribadatan untuk masjid 153 unit, musala 170 unit, gereja Kristen Protestan lima unit, sedangkan gereja Katolik, vihara, maupun pura tidak ada.
Minimnya bangunan tempat peribadatan selain Islam di Aceh Singkil karena persyaratan yang sulit dipenuhi nonmuslim. Qanun Aceh Nomor 4 Tahun 2016 tentang Pedoman Pemeliharaan Kerukunan Umat Beragama dan Pendirian Tempat Ibadah yang kini menjadi acuan pun memperberat persyaratan.
Pasal 14 ayat 2 mengharuskan pendirian rumah peribadatan sedikitnya harus didukung 140 orang penduduk setempat sebagai pengguna tempat ibadah serta 110 orang bukan pengguna. Bukti dukungan yang disertakan berupa kartu tanda penduduk (KTP) dan kartu keluarga (KK).
Pendirian juga harus menyertakan rekomendasi tertulis dari keuchik (kepala desa), imuem mukim, camat, serta kantor urusan agama di kecamatan setempat. Selain itu, disertai keterangan status tanah dari Kepala Kantor Pertanahan kabupaten kota dan rencana gambar bangunan yang disahkan instansi teknis berwenang setempat.
Sementara itu, denominasi yang tersebar di Aceh Singkil kian berkembang. Ada Gereja Kristen Protestan Pakpak Dairi (GKPPD), Huria Kristen Indonesia (HKI), Jemaat Kristen Indonesia (JKI), Gereja Majelis Injil Indonesia (GMII), dan Katolik.