Abolisi untuk Tom Lembong, LBH Medan: Legitimasi Kriminalisasi

Medan, IDN Times - Pemberian abolisi terhadap mantan Menteri Perdagangan, Tom Lembong, oleh Presiden Prabowo Subianto memantik perdebatan publik. Pasalnya, keputusan ini dinilai tidak tepat secara hukum dan bisa menimbulkan preseden buruk terhadap penegakan hukum di Indonesia.
Dalam surat resmi Presiden No. R43/Pres/07/2025, Tom Lembong menjadi salah satu nama yang memperoleh abolisi, menyusul amnesti kepada Hasto Kristiyanto dan 1.116 narapidana lainnya melalui surat No. R42/Pres/07/2025.
Namun, Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Medan menilai keputusan ini justru mengaburkan makna keadilan. Mereka menyebut bahwa abolisi terhadap Tom Lembong tidak sejalan dengan prosedur hukum dan bahkan dapat dianggap sebagai bentuk pelanggaran HAM.
1. Belum ada putusan mengikat, abolisi dianggap tidak relevan

Menurut LBH Medan, abolisi seharusnya diberikan kepada individu yang sudah terbukti bersalah secara hukum, sebagaimana diatur dalam Undang-undang Darurat Nomor 11 Tahun 1954 tentang Amnesti dan Abolisi.
“Tidaklah tepat jika Tom Lembong diberikan abolisi, sebab ia belum pernah dinyatakan bersalah oleh pengadilan yang berkekuatan hukum tetap,” ujar Direktur LBH Medan Irvan Sahputra dalam keterangan tertulisnya.
Bahkan dalam proses peradilan, Tom tidak terbukti menerima keuntungan dari dugaan tindak pidana korupsi yang dituduhkan kepadanya. Serta dalam kasus Tom Lembong tidak adanya Mens Rea (Niat Jahat).
“Seyogiaya, kasus Tom Lembong haruslah diputus bebas, putusan Bebas menegaskan jika Tom tidak melakukan tindak pidana. LBH Medan menilai jika upaya hukum Banding yang dilakukan Tom Lembong merupakan langkah yang tepat dan sudah sepatutnya diputus bebas (Vrijpraak). Atas putusan tersebut negara harus membersihkan nama baik Tom Lembong dan keluarganya yang teribas dalam kasus a quo. Bukan malah memberikan Abolisi,” katanya.
2. Kasus Tom Lembong dinilai sebagai bentuk kriminalisasi dan politisasi hukum

LBH Medan juga menilai bahwa kasus Tom Lembong tidak lebih dari bentuk kriminalisasi dan politisasi hukum. Kebijakan impor gula yang dia ambil saat menjabat sebagai Menteri Perdagangan dinilai adalah bagian dari tugas dan tanggung jawabnya sebagai pejabat negara.
“Tuduhan melanggar pasal 2 UU Tipikor jelas merupakan kriminalisasi. Hukum telah digunakan sebagai alat politik untuk menyingkirkan lawan,” kata Irvan.
3. Perlu evaluasi terhadap aparat penegak hukum dan perlindungan HAM

Pemberian abolisi ini, menurut LBH Medan, seharusnya menjadi alarm bagi Presiden Prabowo Subianto untuk mengevaluasi kinerja Kejaksaan Agung dan Mahkamah Agung. Apalagi, kasus ini telah memicu polemik publik luas.
“Presiden sebagai penanggung jawab tertinggi harus mengevaluasi kinerja aparat penegak hukum agar penegakan hukum tidak ugal-ugalan,” ungkapnya.
Selain melanggar prinsip keadilan, LBH juga menilai tindakan terhadap Tom Lembong melanggar HAM, termasuk hak atas kebebasan dan perlakuan setara di depan hukum, sebagaimana dijamin dalam UUD 1945 dan berbagai instrumen internasional.