Sekjen PDIP Hasto Kristiyanto dan istrinya, Maria Stefani Ekowati (IDN Times/Aryodamar)
ICW dan koalisi menyayangkan langkah Prabowo memberi abolisi dan amnesti pada kasus yang belum memiliki kekuatan hukum tetap. Menurut mereka, hal ini berpotensi menjadi bentuk intervensi terhadap lembaga yudikatif dan merusak prinsip checks and balances.
“Intervensi lembaga eksekutif terhadap lembaga yudikatif mengganggu independensi peradilan. Intervensi tersebut juga berdampak negatif terhadap pengungkapan kasus yang belum final terbukti di persidangan. Padahal, pembuktian dalam persidangan diperlukan untuk melihat terbukti atau tidaknya perbuatan terdakwa,” ungkapnya.
Selain fungsi penegakan hukum, adanya putusan tindak pidana korupsi dapat dijadikan dasar perbaikan legislasi, sistem, kebijakan, dan tata kelola pemerintahan ke depan. Sehingga, kata Yassar, sangat penting untuk mengetahui titik lemah suatu sistem yang biasanya dapat terungkap dari proses pembuktian sebuah kasus di persidangan. Jika sebuah kasus ‘ditutup’begitu saja melalui amnesti dan abolisi seperti ini, maka proses persidangan akan dianggap hilang dan tidak pernah ada.
Sekalipun terdapat narasi dan kritik besar terhadap penegakan hukum yang tengah berlangsung, bentuk intervensi penegakan hukum tetap tidak dapat dibenarkan. Terlebih, terdakwa masih dimungkinkan untuk melakukan upaya hukum lanjutan di pengadilan (banding, kasasi, dan peninjauan kembali). “Upaya hukum lanjutan tersebut perlu dilihat sebagai ruang atau mekanisme koreksi apabila terdapat putusan hakim yang dirasa tidak adil. Penegak hukum yang janggal menangani perkara juga dapat dilaporkan melanggar Kode Etik dan/atau Pedoman Perilaku Hakim,” katanya.