Medan, IDN Times - Gelombang unjuk rasa yang merebak di berbagai kota Indonesia bukanlah peristiwa yang lahir begitu saja. Unjuk rasa ini diyakini merupakan akumulasi kekecewaan rakyat terhadap kebijakan pemerintah dan DPR yang dianggap jauh dari rasa keadilan. Aksi yang diwarnai bentrokan ini menelan korban jiwa, menambah luka di tengah era demokrasi.
“Kami sampaikan duka cita yang mendalam atas jatuhnya korban baik dari kalangan yang berpartisipasi dalam kegiatan unjuk rasa maupun dari anggota masyarakat yang turut menjadi korban terimbas situasi sosial-politik saat ini. Kehilangan mereka adalah luka bagi keluarga dan bagi kita semua, sekaligus pengingat bahwa setiap suara harus dihargai, setiap nyawa harus dilindungi dari kekerasan,” ujar Ketua Asosiasi Antropologi Indonesia (AAI) Suraya Affif dalam keterangan resmi, Rabu (3/9/2025).
Berbagai kebijakan yang memicu kekecewaan antara lain kenaikan PPN 12 persen, lonjakan PBB di sejumlah daerah, revisi UU TNI, hingga pembahasan RUU KUHAP tanpa partisipasi publik. Di sisi lain, janji penciptaan 19 juta lapangan kerja tak kunjung terbukti, sementara rakyat justru menghadapi pengangguran tinggi, PHK massal, dan beban hidup yang kian berat.
AAI menyatakan sikap tegas melihat kondisi yang ada. Para akademisi ini menekankan perlunya perubahan mendasar agar demokrasi tetap hidup dan kekerasan tidak lagi menjadi jawaban negara.