Iklan - Scroll untuk Melanjutkan
Baca artikel IDN Times lainnya di IDN App
Direktur WALHI Sumut Rianda Purba. (IDN Times/Prayugo Utomo)
Direktur WALHI Sumut Rianda Purba. (IDN Times/Prayugo Utomo)

Medan, IDN Times - Delapan dekade Indonesia merdeka, tapi sebagian rakyat masih jauh dari rasa merdeka yang sesungguhnya. Konflik lahan yang tak kunjung selesai, ditambah hadirnya Satuan Tugas Penertiban Kawasan Hutan (Satgas PKH), justru memperkeruh keadaan. Alih-alih menata hutan dan memulihkan hak masyarakat, praktik di lapangan malah menghadirkan rasa takut.

WALHI Sumatra Utara menemukan bahwa penertiban kawasan hutan sering kali berujung pada penyegelan lahan milik warga, bahkan lahan tersebut kemudian dilimpahkan kepada PT Agrinas—perusahaan negara yang disebut-sebut banyak diisi oleh unsur militer.

1. Satgas PKH dianggap geser persoalan lama ke masalah baru

Massa dari APARA berunjuk rasa di depan Mapolda Sumut, Jumat (22/9/2023). Mereka menuntut komitmen Polda Sumut agar tidak melakukan kriminalisasi terhadap petani dalam konflik agraria. (IDN Times/Prayugo Utomo)

Menurut WALHI, Perpres 5 Tahun 2025 tentang Penertiban Kawasan Hutan justru menggeser kejahatan yang dulu dilakukan perusahaan swasta dengan difasilitasi negara, kini menjadi kejahatan langsung oleh negara.

Dari temuan WALHI di sepuluh provinsi, seluruhnya proses penertiban kawasan hutan ini justru menimbulkan masalah baru dan tidak menjawab pemulihan ekologi dan pemulihan hak rakyat sebagai substansi utama.

2. Warga alami intimidasi, bahkan diminta setor upeti hasil panen sawit

Massa dari APARA berunjuk rasa di depan Mapolda Sumut, Jumat (22/9/2023). Mereka menuntut komitmen Polda Sumut agar tidak melakukan kriminalisasi terhadap petani dalam konflik agraria. (IDN Times/Prayugo Utomo)

Di Sumatera Utara, WALHI mengungkap fakta bahwa lahan eks PT Torganda kini dilimpahkan ke PT Agrinas tanpa izin resmi pengelolaan kawasan hutan. Proses ini berlangsung tertutup dan justru menghadirkan masalah baru bagi masyarakat.

“Kampung dan perladangan warga yang masuk kawasan hutan pun turut menjadi objek yang ditertibkan atas nama PKH, Di Desa Ujung Gading Julu, Kab Padang Lawas Utara, ada Oknum yang mengatasnamakan Agrinas, meminta upeti sebesar Rp400 per kilogram dari hasil panen sawit warga. Proses pemungutan ini dilakukan secara intimidatif terhadap para kepala desa, dengan masuk ke wilayah desa menggunakan pakaian loreng dan membawa nama institusi tersebut. Tindakan ini menciptakan ketakutan serta tekanan psikologis di tingkat desa,” kata Rianda Purba, Direktur WALHI Sumatera Utara.

3. Makna kemerdekaan semestinya pulihkan hak rakyat, bukan memperburuk konflik

Petani di Sumut melakukan aksi jalan kaki dari Medan ke Istana Merdeka untuk menemui presiden Joko Widodo menuntut penyelesaian konflik lahan Eks HGU PTPN II, Kamis (25/6). (IDN Times/Prayugo Utomo)

Penertiban kawasan hutan oleh Satgas PKH seharusnya fokus pada pemulihan ekologi dan hak masyarakat yang sudah lama terpinggirkan akibat konflik lahan. Namun di lapangan, masyarakat justru makin kehilangan akses terhadap tanah yang sudah mereka kelola turun-temurun.

“Sudah semestinya tanah negara dikelola rakyatnya. Apa lagi masyarakat sudah tinggal turun-menurun sampai punya hubungan emosial dengan tanah tersebut. Bukan malah memperkeruh suasana dengan menerjunkan Satgas PKH di wilayah kelola rakyat,” pungkasnya.

Editorial Team