Sigale-gale. (Dok: Laketoba.travel)
Ingat Danau Toba, sudah pasti langsung teringat Sigale-gale. Patung kayu yang menari diiringi musik Batak. Konon, Sigale-gale dulunya bisa menari sendiri. Namun saat ini, gerakan Sigale-gale sudah digerakkan oleh manusia.
Pertunukan Sigale-gale masih eksis hingga kini. Namun, di balik ketenaran Sigale-gale Tomok, ternyata ada tokoh-tokoh sejarah yang terlupakan. Mereka termasuk orang-orang pertama yang memulai adanya atraksi Sigale-gale di Pulau Samosir.
Adalah Almarhun Jatiman Sijabat. Orang yang mempopulerkan Sigale-gale. Mereka berdomisili di Samosir. Anak-anak Jatiman pun masih hidup di sana sampai saat ini.
Dilansir dari laman laketoba.travel, Selain memang tokoh atau penetua di Tomok, Samosir, Jatiman adalah anggota kelompok pemusik Sigale-gale pertama kali. Dari memulai pembukaan wisata Sigale-gale hingga akhir hayatnya dia mendedikasikan diri bermain musik. Pertunjukan seni Sigale-gale awalnya diperkenalkan pada wisatawan pada tahun 1960. Ketika itu, ada warga setempat bernama Mangoloi Sidabukke beristrikan boru Gultom membawa wisatawan asing atau bule untuk pertama kali ke Tomok Pulau Samosir.
Setelah itu para Raja Bius atau tetua dan tokoh-tokoh masyarakat di Tomok berkumpul. Termasuk tokoh-tokoh yang ahli di bidang seni musik, seperti Jatiman Sijabat dan para panortor atau penari tradisional Batak juga dikumpulkan. Kesepakatan untuk memperbaiki perekonomian dari sektor pariwisata untuk masyarakat Tomok tercipta. Diambillah satu silsilah cerita tentang Sigale-gale untuk dipertunjukkan.
Cerita Sigale-gale yang berkembang di Tomok yang diketahui adalah kisah seorang anak yang dihukum. Tersebutlah seorang anak ditugasi orangtuanya menjaga ternak kerbau, namun perintah tak diindahkan. Dia kemudian dihukum. Hingga, karena tuah ayahnya, jadilah dia seperti batang kayu yang lemah atau berarti gale. Maknanya adalah, soal bagaimana peran anak yang seharusnya menuruti orang tua. Demikian juga orangtua, agar tidak terlalu kasar dalam menasihati anak-anaknya.
Untuk mengobati kesedihan, sang Ayah pun mengambil dan membawa kayu tersebut ke kampungnya. Lalu, kayu yang tadinya terjadi dari Sigale-gale tadi diukir dan dibawa pulang. Saban hari, kedua orangtua Si Manggale dirundung kesedihan dan penyesalan yang dalam. Hidupnya pun dilanda kesulitan karena mengutuk anaknya jadi kayu. Setelah itu, Ayah Simanggale yang terus menerus menyesali kutukannya kepada anaknya membuat sebuah pagelaran musik uning-uningan untuk menghibur roh anaknya. Termasuk kekhawatiran dia sebagai orang Batak, kalau usia sudah tua dan meninggal layaknya harus ada yang meratapi yaitu anaknya sendiri.
Lantaran Simanggale tak lagi ada dan telah dikutuk, kedua orangtua pun mati dan cerita berujung kesedihan tanpa ada ratapan dari anak sendiri. Sejak itulah, cerita Sigale-gale atau Simanggale dikenal di kalangan Masyarakat Batak.
Saat ini, Atraksi Sigale-gale tak lagi hanya ada di Tomok. Pihak Museum Huta Bolon Simanindo dan juga wisata batu kursi persidangan di Perkampungan Raja Siallagan telah ikut mempertontonkan Sigale-gale.