Baca artikel IDN Times lainnya di IDN App
IDN Ecosystem
IDN Signature Events
For
You

5 Tradisi Sumut yang Mulai Dilupakan, Kenali Sebelum Hilang!

Famatö Harimao, sebuah upacara pembersihan dosa (budayasumut.com)

Di setiap sudut Sumatera Utara, dari pesisir Nias hingga lembah Deli Serdang, tersimpan denyut kebudayaan yang kaya dan penuh makna. Setiap suku punya tradisi uniknya sendiri.

Namun, di tengah derasnya arus modernisasi, banyak dari warisan berharga ini mulai sunyi, perlahan tergerus waktu hingga berada di ambang kepunahan.

Ini bukan sekadar cerita lama. Ini adalah potret warisan kita yang sedang berjuang. Kamu sebagai generasi muda, perlu tahu agar nantinya dapat bercerita ke anak cucumu. Mari kita kenali lima di antaranya.

1. Gondang Naposo (Batak Toba)

Gondang Naposo. (IDN Times/Prayugo Utomo)

Pernah membayangkan sebuah festival cari jodoh ala Batak Toba? Itulah Gondang Naposo. Sebuah perayaan akbar setelah panen raya, di mana dentuman gondang menjadi penentu irama jantung para lajang, sebuah panggung terbuka di bawah langit Batak yang mempertemukan ratusan pemuda-pemudi untuk saling mencari belahan jiwa.

Prosesnya sederhana namun penuh makna. Mereka menari Tortor. Saling lirik, saling menjajaki rasa. Jika sudah cocok, daun beringin disematkan sebagai tanda keseriusan. Sebuah janji tanpa kata.

Sayangnya, esensi itu kini telah banyak bergeser. Gondang Naposo kini lebih sering kita saksikan sebagai festival budaya tahunan yang dirancang untuk memikat wisatawan ke Danau Toba. Sakralitasnya perlahan berganti menjadi sebuah pertunjukan.

2. Nengget (Karo)

cuplikan tradisi nengget.sebuah tradisi suku Karo yang dirancang khusus untuk pasangan yang lama mendamba keturunan(youtube..com/NUEL PRINST MARYKE)

Bagaimana jika sebuah harapan kesuburan justru datang dalam bentuk "serangan" kejutan yang dramatis? Inilah keunikan Nengget, sebuah tradisi suku Karo yang dirancang khusus untuk pasangan yang lama mendamba keturunan. Tujuannya adalah "mengguncang" nasib buruk, membuang sial agar jalan untuk memiliki anak terbuka lebar.

Prosesnya sangat teatrikal. Pasangan yang menjadi sasaran sama sekali tidak tahu. Tiba-tiba, kerabat yang dalam adat sehari-hari tabu untuk berinteraksi langsung akan datang mengejutkan, menyiramkan air, hingga memanggil nama mereka dengan kasar. Semua itu adalah simbol untuk mendobrak kesialan.

Karena sifatnya yang sangat personal dan mungkin dianggap tak lagi selaras dengan pandangan modern, tradisi Nengget kini menjadi sangat langka. Ia tersimpan sunyi, hanya bisa ditemui di beberapa desa pedalaman Tanah Karo.

3. Rondang Bittang (Simalungun)

Pesta Rondang Bittang Simalungun ke 34 (bpodt.kemenpar.go.id)

Rondang Bittang berarti "bulan yang benderang". Dahulu, ini adalah pesta rakyat suku Simalungun yang digelar meriah di bawah cahaya bulan purnama. Tradisi ini memiliki fungsi sosial yang begitu kaya, menjadi momen ucapan syukur atas hasil panen, ajang bagi kaum muda untuk menemukan tambatan hati, sekaligus perekat tali persaudaraan antarwarga.

Kini, Rondang Bittang telah bertransformasi. Pesta rakyat ini menjadi acara tahunan yang lebih formal, sering kali diinisiasi oleh pemerintah daerah. Fokusnya bergeser pada pelestarian budaya dan promosi pariwisata. Isi acaranya kini berupa aneka perlombaan, dari menari hingga peragaan busana adat. Fungsi syukur panen dan pencarian jodohnya perlahan memudar.

4. Mangupa (Mandailing)

Instagram.com/@upa_upa.jakarta

Di antara tradisi lainnya, Mangupa dari suku Mandailing masih cukup sering dilakukan. Ini adalah ritual untuk memulihkan dan menguatkan kembali tondi (semangat) seseorang setelah melalui peristiwa besar dalam hidup, seperti pernikahan, kelahiran, atau sembuh dari penyakit. Intinya terletak pada doa dan nasihat yang tulus dari keluarga besar (Dalihan Na Tolu), yang disempurnakan dengan sajian hidangan adat.

Meski masih lestari, pelaksanaannya kini sering kali jauh lebih sederhana. Tuntutan biaya dan efisiensi waktu di era modern membuat banyak tahapan adat yang rumit terpaksa dipadatkan, atau bahkan dihilangkan sama sekali. Tradisinya tidak hilang, namun kedalaman makna dan kelengkapan prosesinya perlahan terkikis.

5. Famatö Harimao (Nias)

Famatö Harimao, sebuah upacara pembersihan dosa (budayasumut.com)

Inilah contoh paling ekstrem dari sebuah transformasi budaya. Dahulu, masyarakat Nias Selatan memiliki ritual agung yang amat sakral bernama Famatö Harimao, sebuah upacara pembersihan dosa seluruh komunitas yang hanya diadakan tujuh atau empat belas tahun sekali. Dalam ritual ini, sebuah patung harimau diarak keliling kampung sebelum dipatahkan dan dihanyutkan ke sungai sebagai simbol pembuangan segala keburukan.

Namun, seiring masuknya ajaran baru, ritual ini dianggap tidak sejalan dan akhirnya berhenti total. Punah. Uniknya, puluhan tahun kemudian tradisi ini "dihidupkan" kembali dengan nama Famadaya Harimao (perarakan patung harimau). Versi modern ini murni sebuah pertunjukan budaya. Tujuannya bukan lagi penebusan dosa, melainkan untuk melestarikan memori sejarah dan menjadi daya tarik wisata.

Lima tradisi, lima cerita, lima warisan budaya yang sedang berjuang di tengah zaman. Mengenal warisan ini bukan sekadar nostalgia, melainkan sebuah langkah untuk memahami siapa kita. Mungkin, di tangan generasi kitalah nasib tradisi-tradisi ini akan ditentukan.

This article is written by our community writers and has been carefully reviewed by our editorial team. We strive to provide the most accurate and reliable information, ensuring high standards of quality, credibility, and trustworthiness.
Share
Editor’s Picks
Topics
Editorial Team
Doni Hermawan
EditorDoni Hermawan
Follow Us