Baca artikel IDN Times lainnya di IDN App
IDN Ecosystem
IDN Signature Events
For
You

5 Fakta USU Masuk Zona Merah Riset Dunia, Mahasiswa Sumut Wajib Tahu!

cuplikan data Research Integrity Risk Index(https://sites.aub.edu.lb/lmeho/ri2/)
Intinya sih...
  • USU masuk dalam kategori risiko tertinggi terkait integritas riset, dengan skor 0.400 dan status "Red Flag" menandakan adanya "anomali ekstrem" dan "risiko integritas sistemik".
  • Sejarah skandal plagiarisme di USU menciptakan iklim dan persepsi publik yang sarat dengan isu etika di level tertinggi, melibatkan nama-nama di pucuk pimpinan universitas.
  • Tekanan sistem "Publish or Perish" memaksa dosen untuk kejar setoran publikasi, mengorbankan kualitas penelitian dan mendorong praktik menerbitkan karya di jurnal berkualitas rendah.

Sebuah kabar mengejutkan datang dari panggung akademik global dan mendarat telak di jantung Sumatra Utara. Universitas Sumatera Utara (USU), salah satu kampus kebanggaan dan pilar pendidikan di wilayah ini, baru saja mendapat sorotan tajam dalam sebuah laporan internasional. Bukan karena prestasi, melainkan karena masuk dalam kategori risiko tertinggi terkait integritas riset.

Laporan ini datang dari Research Integrity Risk Index (RI²), sebuah barometer global yang dirancang khusus untuk mengukur kejujuran dan etika dalam dunia penelitian di berbagai universitas dunia. Temuan ini tentu menjadi tamparan keras dan menimbulkan banyak pertanyaan: Apa yang sebenarnya terjadi di balik tembok kampus? Mengapa USU bisa sampai mendapat "bendera merah"?

Bagi kamu, baik sebagai mahasiswa, alumni, atau warga Sumut yang peduli dengan dunia pendidikan, ini adalah isu penting. Berikut adalah lima fakta kunci yang berhasil dirangkum untuk membantumu memahami situasi genting ini.

1. USU Dapat "Bendera Merah", Kategori Risiko Paling Gawat di Panggung Global

Universitas Sumatera Utara (Dok Humas USU)

Fakta pertama dan yang paling utama adalah status yang disematkan pada USU. Dalam laporan RI² edisi Juni 2025, USU secara resmi masuk dalam kategori "Red Flag" atau zona merah. Ini bukan sekadar peringkat buruk, ini adalah kategori risiko paling tinggi yang menandakan adanya "anomali ekstrem" dan "risiko integritas sistemik" yang memerlukan pengawasan dan perbaikan segera.

Skor yang diperoleh USU adalah 0.400, menempatkannya di antara segelintir perguruan tinggi di Indonesia yang berada di zona paling berbahaya ini.

Indeks RI² sendiri mengukur dua hal utama, pertama, tingkat penarikan kembali artikel ilmiah karena masalah serius seperti fabrikasi data atau plagiarisme (R-Rate), dan kedua, persentase publikasi di jurnal-jurnal yang telah dihapus dari daftar internasional karena kualitasnya yang buruk atau terindikasi sebagai jurnal predator (D-Rate).

Status "Red Flag" ini pada dasarnya adalah sinyal alarm paling keras bahwa ada sesuatu yang salah secara mendasar dalam budaya riset di sebuah institusi.

2. Ada jejak sejarah skandal plagiarisme

ilustrasi surat kabar lama (pexels.com/Lisa from pexels)

Angka 0.400 yang didapat USU bukanlah sebuah anomali statistik yang muncul dari ruang hampa. Jika kita menengok ke belakang, skor ini seolah menjadi puncak gunung es dari masalah yang sudah lama ada. Beberapa tahun sebelum laporan ini dirilis, USU sempat menjadi sorotan media nasional akibat serangkaian kasus dugaan plagiarisme dan self-plagiarism (plagiat terhadap karya sendiri) yang sangat kontroversial.

Yang lebih mengkhawatirkan, kasus-kasus tersebut tidak hanya melibatkan mahasiswa atau dosen biasa, tetapi juga menyeret nama-nama di pucuk pimpinan universitas, termasuk rektor yang sedang menjabat saat itu dan rektor terpilih yang akan menggantikannya.

Meskipun beberapa dari tuduhan tersebut pada akhirnya memiliki penyelesaian yang kompleks dan diklarifikasi oleh kementerian, rentetan peristiwa ini telah menciptakan iklim dan persepsi publik yang sarat dengan isu etika di level tertinggi.

3. Dosen dituntut dengan jumlah publikasi ilmiah yang mereka hasilkan

ilustrasi mengetik di mesin tik (pexel.com/cottonbro studio)

Lantas, kenapa ini semua bisa terjadi? Salah satu akar masalah yang paling dalam adalah tekanan sistemik yang dirasakan oleh para dosen di seluruh Indonesia, tak terkecuali di Sumut. Ada sebuah sistem bernama "Publish or Perish" (terbitkan atau tersingkir), di mana karir dan kenaikan pangkat seorang dosen sangat bergantung pada jumlah publikasi ilmiah yang mereka hasilkan. Sistem ini diatur secara formal melalui Angka Kredit Kumulatif (KUM) dan Beban Kinerja Dosen (BKD).

Untuk naik dari jabatan Asisten Ahli ke Lektor, Lektor Kepala, hingga Guru Besar (Profesor), seorang dosen wajib mengumpulkan poin dari publikasi ilmiah di jurnal-jurnal tertentu. Tekanan untuk "kejar setoran" publikasi inilah yang menciptakan sebuah dilema.

Di satu sisi, dosen dituntut produktif. Di sisi lain, proses publikasi di jurnal berkualitas tinggi memakan waktu lama dan sangat kompetitif. Akibatnya, beberapa oknum mungkin tergoda untuk mengambil jalan pintas dengan menerbitkan karya mereka di jurnal berkualitas rendah atau bahkan "jurnal predator"jurnal yang hanya mengejar keuntungan tanpa proses penelaahan ilmiah yang layak.

Fenomena ini bahkan diakui oleh pejabat tinggi di Kemendiktisaintek, yang menyoroti masalah kuantitas publikasi Indonesia yang melimpah namun kualitasnya sering kali dipertanyakan.

4. Ada peringatan internal dari kampus sendiri

cuplikan pengumuman publikasi artikel ilmiah fakultas kedokteran USU(https://fk.usu.ac.id)

Bukti bahwa masalah ini nyata dan mengkhawatirkan tidak hanya datang dari indeks global. Sebuah bukti kuat justru datang dari dalam USU sendiri. Fakultas Kedokteran USU, salah satu fakultas paling senior, pernah mengeluarkan surat edaran resmi yang ditujukan kepada seluruh sivitas akademika dosen, peneliti, dan mahasiswa.

Isi surat edaran tersebut sangat jelas, sebuah imbauan untuk "selalu waspada dalam melakukan publikasi artikel ilmiah agar tidak terjebak dengan jurnal predator, cloning, fake & hijacked".

Adanya peringatan internal seperti ini sangat signifikan. Ini menunjukkan bahwa risiko publikasi di jurnal bermasalah (yang diukur oleh D-Rate dalam RI²) bukanlah sekadar pengamatan dari pihak luar, melainkan sebuah ancaman nyata yang diakui dan dikhawatirkan oleh unit akademik di dalam universitas itu sendiri. Ini adalah pengakuan diam-diam bahwa "penyakit" itu memang ada dan sedang berusaha dilawan dari dalam.

5. RI² dirancang sebagai "sistem peringatan dini" (early-warning system).

ilustrasi proses perkuliahan(pexels.com/ICSA)

Di tengah semua kabar buruk ini, penting untuk menempatkan segala sesuatunya dalam perspektif yang benar. Status "Red Flag" dari RI² bukanlah sebuah vonis akhir atau hukuman mati bagi reputasi USU. Para pengembang indeks ini secara tegas menyatakan bahwa RI² dirancang sebagai "sistem peringatan dini" (early-warning system).

Tujuannya adalah untuk memberikan sinyal kepada universitas bahwa ada potensi masalah sistemik yang perlu segera diselidiki dan diperbaiki. Pemerintah, melalui Kemendiktisaintek, juga merespons laporan ini dengan sikap yang konstruktif, menyatakan bahwa temuan ini akan dijadikan sebagai "cermin" dan "bahan introspeksi" untuk perbaikan diri.

Ini adalah sebuah momentum krusial. Bola kini berada di tangan USU dan para pemangku kepentingannya. Apakah peringatan ini akan dianggap angin lalu, atau akan menjadi titik balik untuk melakukan reformasi besar-besaran dalam tata kelola riset, memperkuat komite etik, dan membangun kembali budaya akademik yang menjunjung tinggi kejujuran di atas segalanya? Jawabannya akan menentukan masa depan dan marwah pendidikan tinggi tidak hanya di USU, tetapi juga di seluruh Sumatra Utara.

 

This article is written by our community writers and has been carefully reviewed by our editorial team. We strive to provide the most accurate and reliable information, ensuring high standards of quality, credibility, and trustworthiness.
Share
Editor’s Picks
Topics
Editorial Team
Doni Hermawan
EditorDoni Hermawan
Follow Us