Potret seorang anak ikut membersihkan masjid pasca diterjang banjir, Desa Sekumur, Kecamatan Sekerak, Kabupaten Aceh Tamiang, Kamis (11/12/2025). (IDN Times/Prayugo Utomo)
Fenomena bendera putih ini juga terekam di media sosial. Sejumlah akun melaporkan, bendera putih terkibar pada beberapa kabupaten terdampak di Aceh. Setidaknya mulai dari Pidie Jaya, Aceh Timur dan Aceh Tamiang.
Rian Rizki Ramadhan, warga Desa Kota Lintang Bawah, Kecamatan Kuala Simpang mengonfirmasi ihwal bendera putih itu.
"Iya, dikarenakan untuk bantuan sembako kemungkinan tidak bertahan jangka sampai panjang, tempat tinggal juga 95 persen hancur dan yang tersisa juga tak layak huni. Sembako di posko sudah mulai menipis," katanya.
Melihat penanganan yang ada Rizki khawatir. Desa Kota Lintang bawah sebagai daerah terdampak paling parah, tidak bisa pulih dalam waktu dekat.
"Musibah sudah selesai. Tapi dampaknya dua tahun ke depan belum tentu pulih," katanya.
Bendera putih dikenal publik sebagai tanda menyerah. Penggunaan bendera putih sebagai tanda menyerah mulai terdokumentasi lebih jelas pada abad ke-16. Pada 1578, pelaut Inggris George Best mencatat bahwa suku Inuit mengibarkan bendera putih untuk menunjukkan niat damai. Dilansir Piggotts, dalam buku hukum perang karya Hugo Grotius pada 1625, bendera putih disebut sebagai simbol permintaan untuk berunding.
Melansir History, bendera putih mungkin populer karena praktis, kain putih juga mudah ditemukan dari pakaian tentara dan jelas terlihat di medan perang. Pada akhir abad ke-19, simbol ini diakui secara internasional, termasuk dalam Konvensi Hague 1899.