Harimau Sumatra Citra Kartini saat berada di Sanctuary Harimau Barumun, Paluta, Sumut. (Saddam Husein for IDN Times)
Kulit harimau menjadi kasus perdagangan bagian tubuh satwa yang sering ditemui. Masih hangat dalam ingatan, mantan Bupati Bener Meriah, Aceh Ahmadi ditangkap bersama beberapa orang lainnya karena menjual kulit harimau pada Mei 2022 lalu. Ahmadi hanya divonis ringan 18 bulan penjara.
Kemudian awal November lalu, Dirjen Gakkum KLHK mengungkap kasus perdagangan 337,8 kg sisik tenggiling di Kalimantan Barat. Pada Mei lalu, Mabes Polri mengungkap kasus 275 kg sisik tenggiling di Medan. Ada tiga orang yang terlibat kasus itu.
Sisik tenggiling diminati di luar negeri. Salah satunya Tiongkok. Para pelaku memanfaatkan celah jalur laut yang luput dari pengamanan untuk mengirimkan barang.
Direktur Eksekutif Direktur Eksekutif FLIGHT Protecting Indonesia's Birds Marison Guciano pernah mengatakan, Sumatra Utara dan Aceh adalah zona merah perdagangan satwa. Baik yang masih hidup hinnga bagian tubuhnya.
“Karena di sana masih punya kawasan hutan cukup luas. Ada KEL, ada Ekosistem Batangtoru, ada juga Taman Nasional Batang Gadis (TNBG). Di Sana karena tutupannya masih baik dan populasinya masih kaya, sehingga Sumut dan Aceh ini diidentifikasi sebagai daerah merah,” ungkap Direktur Eksekutif Direktur Eksekutif FLIGHT Protecting Indonesia's Birds Marison Guciano, Rabu.
Hasil pemantauan FLIGHT tidak sedikit pelaku perburuan dari luar masuk ke Sumut. Lantaran, melihat potensi alamnya yang masih kaya. Ini menjadi tantangan serius bagi otoritas terkait mewaspadai perburuan.
Marison meminta aparat bisa lebih jeli lagi. Belakangan juga ada perubahan pola perdagangan yang dilakukan para pelaku kejahatan. Pola ini pun begitu cepat berkembang memanfaatkan teknologi.
Kajian FLIGHT juga menunjukkan jika perdagangan ilegal satwa dilindungi diduga melibatkan aparat korup. Misalnya, penyelundupan melalui jalur laut bisa lolos dari otoritas terkait.