Ilustrasi Masyarakat Adat
Urgensi pertama, integrasi tindakan mitigasi dan adaptasi perubahan iklim dalam kebijakan dan praktik sistem pangan nasional agar lebih tangguh dan berkelanjutan. Menurut dia, tanpa pendekatan itu, sistem pangan Indonesia akan rentan krisis dan bencana iklim yang makin sering terjadi.
UU Pangan sebelumnya belum mengakui pentingnya asas ekologis, keadilan distribusi, ketahanan iklim, maupun pendekatan ekoregional. Ia masih berfokus pada aspek “ketersediaan pangan” yang cenderung bias terhadap komoditas tertentu seperti beras, terigu, gula, dan jagung.
Kedua, perlu memperkuat keberagaman pangan lokal, termasuk pangan biru, melalui pendekatan ekoregionalisasi. Strategi ini menyesuaikan sistem pangan dengan potensi ekologi lokal, budaya masyarakat, serta distribusi gizi antar daerah.
Ketiga, pengakuan dan perlindungan hak masyarakat adat dan komunitas lokal sangat diperlukan. Hal ini mencakup pengetahuan tradisional, benih lokal, serta pengelolaan wilayah adat yang selama ini menjadi bagian penting dari keberlanjutan sistem pangan, namun belum dijamin secara hukum dalam UU Pangan saat ini.
Menurut KSPL, skema cadangan pangan nasional saat ini masih berorientasi pada negara, tanpa pengakuan terhadap peran komunitas, lumbung adat, koperasi, maupun pangan lokal dan pangan biru. Ketidaklibatan struktur komunitas ini memperlemah ketahanan pangan berbasis lokal.
Keempat, menekankan pentingnya mewujudkan keadilan struktural dalam sistem pangan agar seluruh rakyat mendapatkan akses, distribusi, dan manfaat pangan secara setara. Saat ini, UU Pangan belum menegaskan peran negara sebagai penjamin hak asasi atas pangan.
“Kewajiban negara melindungi petani kecil, nelayan tradisional, kelompok rentan, dan konsumen masih bersifat implisit dan tidak memiliki kekuatan hukum yang memadai,” kata Romauli.