Pengerahan masyarakat (mobilisasi massa) juga kerap terjadi pada masa-masa kampanye, yang dibalut dengan iming-iming nominal (uang dalam jumlah tertentu) untuk turut serta berpartisipasi dalam kegiatan kampanye yang dilakukan oleh peserta pemilu. Beberapa contoh yang terjadi misalnya dalam bentuk uang dengan dalih biaya transportasi, uang makan, minum, dan lain-lain.
Tentu praktik-praktik seperti ini sangat dilarang, selain memunculkan persaingan yang tidak sehat antar peserta pemilu, juga akan menimbulkan efek negatif bagi para pemilih kedepannya nanti.
Para pemilih cenderung bersikap pragmatis, dikarenakan praktik politik uang yang sudah mengakar dan membudidaya di kalangan mereka (pemilih). Ada beberapa faktor penyebab praktik politik uang (money politik) tetap berjalan di tengah-tengah masyarakat:
1. Sudah menjadi tradisi.
Tidak bisa dipungkiri bahwa praktik politik uang (money politics) berjalan terus-menerus secara berkesinambungan. Hal ini terjadi karena sebagian dari masyarakat (atau bahkan mayoritasnya) yang memiliki hak pilih, menyambut praktik ini. Sehingga, praktik politik uang (money politik) ini, terus-menerus berkembang dan berkesinambungan ketika pemilu atau pilkada digelar.
Proses yang berkesinambungan ini, seolah menjadi tradisi bagi para peserta pemilu untuk menjalankan praktik ini, sebagai kewajiban untuk memperoleh suara dari para pemilih.
2. Persaingan antar peserta pemilu.
Persaingan yang ketat antar peserta pemilu, menjadi pemicu untuk berbuat curang dengan membeli suara dari pemilih, dengan menggunakan strategi politik uang. Ini sangat mungkin terjadi, dikarenakan persaingan yang ketat dan semakin banyaknya peserta pemilu yang ingin ikut dalam kontestasi politik di Indonesia.
Sehingga segala macam cara dilakukan, demi untuk bisa menduduki jabatan yang diinginkan, walaupun dengan menggunakan cara politik uang (money politics).
3. Faktor ekonomi.
Faktor ekonomi juga menjadi penyebab suburnya praktik politik uang di masyarakat. Para pemilih yang memiliki kelemahan dalam ekonomi (finansial), menjadi sasaran para peserta pemilu sebagai objek target suara yang bisa mereka beli.
4. Rendahnya pengetahuan masyarakat tentang pemilu.
Rendahnya kesadaran dan pengetahuan masyarakat tentang pemilu dan urgensitas memilih pemimpin yang baik, menjadi penyebab praktik politik uang tetap subur dan menjamur di masyarakat. Beberapa penyebab di atas tentu menjadi sponsor utama subur dan berkembangnya praktik politik uang.
Sehingga jika praktik ini tetap dan terus berjalan, maka sangat memungkinkan akan terjadi kemunduran demokrasi di Indonesia, mengingat proses demokrasi untuk memilih pemimpin itu adalah sesuatu yang sakral, sehingga tidak boleh ternodai dengan praktik-praktik yang buruk seperti halnya praktik politik uang (money politics).