Wakil Ketua KPK: Banyak Orang yang Sudah Kaya tetapi Tetap Korupsi

Gaji tinggi pejabat belum tentu solusi cegah korupsi

Jakarta, IDN Times - Wakil Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Laode M. Syarif menilai penegakan hukum di Indonesia masih dalam kategori buruk.

Hal ini terbukti dari hasil survei yang dirilis oleh World Justice Project (WJP). Yakni memberikan skor 20 dari angka 100 untuk penegakan hukum di Tanah Air.

Padahal, Syarif sempat berpikir skor WJP tahun 2018 akan mengalami kenaikan. Pada kenyataannya, angkanya justru stagnan. 

"Berarti, tingkat kepercayaan masyarakat terhadap aparat penegak hukum kita hanya 20 dari 100," ujar Syarif ketika memberikan pemaparan di acara peluncuran Indeks Persepsi Korupsi (CPI) 2018 di gedung KPK, Jakarta Selatan pada Selasa (29/1). 

Berdasarkan hasil survei organisasi Transparency International Indonesia (TII) tahun 2018, IPK Indonesia mengalami kenaikan yang tipis yakni dari 37 menjadi 38. Sementara, peringkat Indonesia mengalami kenaikan 7 poin dari 98 menjadi 89. 

Kendati begitu, Syarif tetap berharap skor WJP naik. Sebab, survei itu mengukur ketaatan satu negara dalam penegakan hukum dan penyalahgunaan kewenangan publik pada tingkat eksekutif, yudisial, polisi, dan legislatif. 

Lalu, apa saran dari lembaga antirasuah untuk memperbaiki sistem penegakan hukum di Indonesia?  

1. KPK mengusulkan ada perbaikan renumerasi di kalangan para penegak hukum

Wakil Ketua KPK: Banyak Orang yang Sudah Kaya tetapi Tetap Korupsi(Diskusi indeks persepsi korupsi di gedung KPK) www.instagram.com/@tiindonesia

Menurut Syarif, harus ada perbaikan renumerasi di kalangan para penegak hukum. Sejauh ini, Kementerian Keuangan sudah mendukung renumerasi bagi penegak hukum di peradilan. 

"Sehingga, hakim baru bisa menerima Rp9 juta - Rp10 juta per bulan. Sayangnya, kepolisian dan kejaksaan belum penuh renumerasinya," kata pria yang pernah menjadi pengajar di Universitas Hassanudin, Makassar itu. 

Namun, ia menggaris bawahi perbaikan renumerasi tidak akan menjamin individu tersebut tidak akan korupsi. Sebab, pada faktanya masih ada saja hakim yang tertangkap tangan oleh KPK gara-gara menerima suap. 

"Padahal, sebenarnya tidak ada lagi alasan bagi hakim untuk korup," tutur dia. 

Baca Juga: Indeks Persepsi Korupsi Indonesia di Tahun 2018 Hanya Naik Satu Poin

2. Masih banyak orang yang sudah kaya tetapi tetap korup

Wakil Ketua KPK: Banyak Orang yang Sudah Kaya tetapi Tetap KorupsiIDN Times/Sukma Shakti

Syarif mengatakan usulan agar menaikan gaji sesuai dengan kebutuhan bukan hal baru. Hal tersebut bahkan sudah diamanatkan pasca era reformasi bergulir. Maka, sistem penggajian di KPK sering kali dijadikan acuan bagi lembaga lain. 

Namun, ia mengakui tidak semua orang yang memiliki penghasilan dan gaji tinggi kemudian tidak melakukan korupsi. 

"KPK pernah memenjarakan salah satu perempuan terkaya di Indonesia yaitu Siti Hartati Moerdaya. Lalu, ada pula Deputi Gubernur Bank Indonesia yang barang kali memiliki gaji tiga kali lipat dari gaji Presiden," kata dia. 

Dalam kasus ini, Syarif kemudian mengutip pernyataan Mahatma Gandhi bahwa para koruptor tersebut adalah orang-orang yang tamak atau serakah. 

3. Kepala Bappenas menilai akar korupsi ada di sistem yang membuat orang kesulitan memperoleh haknya

Wakil Ketua KPK: Banyak Orang yang Sudah Kaya tetapi Tetap Korupsi(Menteri PPP/Kepala Bappenas Bambang Brodjonegara) www.instagram.com/@tiindonesia

Sementara, Menteri PPP/Kepala Bappenas, Bambang Brodjonegara memiliki perspektif yang berbeda soal penyebab terjadinya korupsi. Menurut Bambang, akar permasalahan dari korupsi di kalangan penegakan hukum bukan karena isu kesejahteraan, melainkan pada sistem yang menyebabkan orang sulit memperoleh haknya. 

"Sistem kita lah yang membuat segala sesuatunya itu rumit. Walau sudah digaji tinggi, tapi masih tetap ada peluang (bagi pejabat publik) untuk korupsi. Lalu, apa saran yang bisa dilakukan? Yakni dengan mengurangi interaksi negosiasi antara yang membutuhkan dan yang memberikan pelayanan," kata Bambang di gedung KPK pada sore tadi. 

Diharapkan dengan menutup celah dan interaksi tersebut bisa membuat orang sulit menggunakan kewenangannya demi keuntungan pribadi. 

4. Tingginya tingkat korupsi di Indonesia berpengaruh terhadap investasi yang akan masuk ke dalam

Wakil Ketua KPK: Banyak Orang yang Sudah Kaya tetapi Tetap Korupsi(Indeks Persepsi Korupsi Indonesia dari tahun 2009 lalu) IDN Times/Sukma Shakti

Bambang juga menyebut tingkat korupsi yang masih tinggi di Indonesia menyebabkan calon investor ke Tanah Air berpikir ulang. Persepsi bahwa Indonesia adalah negara yang penuh dengan rasuah masih belum bisa dihilangkan sepenuhnya. 

"Pertanyaan pertama yang biasanya diajukan oleh calon investor yaitu soal risiko berinvestasi di Indonesia. Ini bukan soal risiko perang, tetapi soal kepastian penegakan hukum, birokrasi dan praktik korupsi," kata Bambang. 

Praktik korupsi yang masih tinggi kerap membuat calon investor malah mundur untuk membenamkan investasinya di Indonesia. Namun, di sisi lain, para pengusaha justru mendukung praktik pemberian suap kepada para birokrat demi kelancaran bisnis mereka. 

"Saya pernah bertanya kepada pihak swasta mengapa masih terus memberi suap. Mereka mengatakan kepada saya, 'ya, gimana Pak, kalau kita ingin berbisnis dan bisnisnya maju, tentu kami ingin berekspansi. Ekspansi itu kan butuh izin. Kami tidak masalah mengurus izinnya, tapi izin itu tidak akan keluar, kalau tidak ada suapan,'" ujar Bambang menirukan keluhan dari para pengusaha tersebut. 

Oleh sebab itu, Bappenas dan Kementerian PPP selaku salah satu anggota strategi nasional pencegahan korupsi mengusulkan agar penerapan online single submission (OSS) benar-benar dilakukan. 

"Apabila OSS bisa diterima dengan baik oleh potential investor, maka risiko akan lebih ringan, karena itu merupakan keinginan bebas kita semua dari korupsi," tutur dia. 

Baca Juga: Saut: Indonesia Mau Cepat Bersih, KPK Saja yang Tangani Kasus Korupsi

Topik:

  • Arifin Al Alamudi

Berita Terkini Lainnya