Setahun Berlalu, Luka di Tanah Rempang Tak Kunjung Sirna
Massa aksi penolakan PSN Rempang Eco City di depan gedung BP Batam, 11 September 2023 (IDN Times/Putra Gema Pamungkas)
Follow IDN Times untuk mendapatkan informasi terkini. Klik untuk follow WhatsApp Channel & Google News
Batam, IDN Times - Setahun berlalu sejak ribuan masyarakat Melayu berkumpul di depan Kantor Badan Pengusahaan (BP) Batam, menyuarakan penolakan mereka terhadap Proyek Strategis Nasional (PSN) Rempang Eco City.
Proyek ambisius yang diumumkan pemerintah pada pertengahan tahun 2023 itu dirancang untuk mengembangkan kawasan ekonomi terpadu di Pulau Rempang, namun bagi masyarakat lokal, proyek ini membawa ancaman yang lebih besar dari sekadar pembangunan.
Masyarakat Melayu, yang telah mendiami kawasan ini secara turun-temurun, memandang proyek tersebut sebagai ancaman terhadap identitas budaya dan keberlangsungan hidup mereka.
Aksi yang dimulai dengan niat damai pada 11 September 2023, merupakan protes masyarakat Pulau Rempang dan Melayu di Indonesia atas tindakan represif yang dilakukan aparat pada 7 September 2023 di Pulau Rempang. Namun, situasi aksi damai berubah menjadi bentrokan sengit antara massa aksi dan aparat keamanan.
Baca Juga: Satu Tahun Tragedi Kemanusiaan yang Belum Selesai di Pulau Rempang
Sejarah perlawanan, sebuah proyek yang mengancam masyarakat Melayu di Rempang
Masyarakat Pulau Rempang terus suarakan penolakan PSN Eco City (IDN Times/Putra Gema Pamungkas)Proyek Rempang Eco City, yang merupakan bagian dari PSN, dicanangkan untuk meningkatkan perekonomian wilayah Batam melalui pembangunan kawasan industri, pariwisata, dan pemukiman.
Pemerintah melihat proyek ini sebagai langkah strategis dalam mendorong pertumbuhan ekonomi, tetapi bagi masyarakat Melayu di Rempang, proyek ini adalah ancaman besar.
Wadi, seorang warga Kampung Tua Sembulang Hulu, mengenang betapa kentalnya tradisi dan sejarah yang menyatu dengan tanah leluhur mereka.
"Tanah ini adalah warisan dari leluhur kami. Kami tidak hanya tinggal di sini, tapi kami hidup dan tumbuh dengan tradisi yang sudah ratusan tahun berlangsung," kata Wadi.
Bagi Wadi dan warga lainnya, tanah ini tidak hanya merupakan sumber mata pencaharian dari pertanian dan laut, tetapi juga tempat di mana kehidupan komunitas mereka terus berlangsung dalam keharmonisan dengan alam.
Sejak pengumuman proyek ini, protes demi protes terus bergulir. Mereka merasa tidak diberi kesempatan untuk berpartisipasi dalam dialog yang seharusnya melibatkan seluruh pihak yang terdampak.
“Kami tidak pernah diajak bicara, kami merasa ditinggalkan,” keluh Wadi.
Kurangnya komunikasi yang terbuka antara pemerintah, BP Batam, dan masyarakat Rempang memicu ketidakpercayaan. Kesenjangan ini menjadi bahan bakar ketegangan yang berujung pada bentrokan.
2. Bentrokan 11 September 2023 yang mencekam
Masyarakat Pulau Rempang saat di tangkap aparat kepolisian dalam bentrokan ke-2 di depan gedung BP Batam, 11 September 2023 (IDN Times/Putra Gema Pamungkas)Pada tanggal 11 September 2022, aksi damai yang diinisiasi oleh ribuan masyarakat Melayu di depan Kantor BP Batam berubah menjadi tragedi.
Di bawah terik matahari, massa berkumpul, membawa spanduk dan poster, menuntut penghentian proyek yang mereka anggap mengancam kelangsungan hidup mereka. Awalnya aksi berjalan damai, tetapi suasana berubah tegang saat aparat keamanan mulai bergerak mengendalikan situasi.
Gas air mata ditembakkan ke arah massa, membuat situasi semakin kacau. Anak-anak dan orang tua yang hadir dalam aksi tersebut berlarian mencari perlindungan. Di tengah kepanikan, banyak warga yang jatuh pingsan atau terluka akibat serangan gas air mata.
"Kami hanya ingin menyuarakan keberatan kami secara damai, tapi tiba-tiba gas air mata ditembakkan ke arah kami," ujar seorang warga Pulau Rempang yang enggan disebutkan namanya.
Tidak hanya itu, bentrokan juga berujung pada penangkapan 43 orang warga yang terlibat dalam aksi. Delapan di antaranya kemudian dibebaskan, sementara 35 orang lainnya diproses secara hukum dengan tuduhan pengerusakan dan melawan petugas.
Peristiwa ini semakin memperuncing hubungan antara masyarakat adat dan pihak pemerintah. Warga merasa tidak hanya diabaikan, tetapi juga diintimidasi oleh kekuatan yang seharusnya melindungi mereka.
"Kami diperlakukan seperti penjahat, padahal kami hanya ingin mempertahankan tanah kami," tegasnya.
Kehidupan yang tak pasti, masyarakat yang bertahan
Masyarakat Pulau Rempang memperingati tragedi kericuhan 7 September 2023 (IDN Times/Putra Gema Pamungkas)Di balik kerusuhan dan bentrokan, ada kisah-kisah warga yang mencoba bertahan di tengah ketidakpastian masa depan mereka.
Awe, seorang ibu rumah tangga berusia 70 tahun, adalah salah satu dari banyak warga di Pulau Rempang yang terancam kehilangan rumah mereka akibat proyek ini. Selama hidupnya, Awe dan keluarganya telah tinggal di tanah leluhur yang kini terancam digusur.
"Bagi kami, tanah ini bukan sekadar tempat tinggal. Ini adalah tempat kami menjalani kehidupan, di mana anak-anak kami dibesarkan, dan nenek moyang kami dimakamkan," ungkap Awe.
Sejak diumumkannya PSN Rempang Eco City, hidup keluarganya berada dalam ketidakpastian. Mereka tahu rumah mereka akan digusur, namun mereka tetap berharap ada solusi yang lebih adil, seperti pembatalan PSN ini.
Tawaran relokasi dari pemerintah dianggap tidak sebanding dengan apa yang akan mereka tinggalkan. "Mereka menawarkan rumah baru, tapi bagaimana kami bisa melanjutkan hidup di tempat yang tidak kami kenal?," tanyanya dengan getir.
Lanjut Awe dan warga lainnya, tanah ini bukan sekadar sebidang lahan yang bisa digantikan begitu saja. Tanah ini menyimpan sejarah, identitas, dan kehidupan yang telah terjalin selama ratusan tahun.
"Relokasi bukan solusi yang bisa menggantikan ikatan emosional dan nilai sejarah yang telah tertanam begitu dalam di hati masyarakat Rempang," pungkasnya.
Baginya, perjuangan untuk mempertahankan tanah leluhur mereka belum berakhir. Meskipun proyek Rempang Eco City terus berjalan, warga tetap bersikukuh mempertahankan hak mereka.
Baca Juga: Target Relokasi Masyarakat di Pulau Rempang Gagal Total
