Pemerintah Dinilai Tidak Terbuka Soal Relokasi di Rempang

Diskusi AJI dan KIKA  soal konflik agraria di Rempang

Batam, IDN Times - Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Indonesia dan Kaukus Indonesia untuk Kebebasan Akademik (KIKA) menggelar diskusi publik untuk membahas polemik Proyek Strategis Nasional (PSN) Rempang Eco-City. Diskusi ini menghadirkan sejumlah narasumber nasional.

Dalam diskusi yang berlangsung secara daring ini, hadir Dandhy Dwi Laksono dari Watchdoc dan Rina Mardiana dari Pusat Studi Agraria IPB University dan KIKA. Selain itu, diskusi ini juga menghadirkan Sasmito Madrim dari AJI Indonesia, Boy Jerry Even Sembiring dari Walhi Riau, Andri Alatas dari YLBHI-LBH Pekanbaru, warga Pulau Rempang, dan beberapa narasumber lainnya.

Diskusi publik ini mengupas berbagai perspektif dari para narasumber mengenai polemik yang dialami masyarakat di Pulau Rempang, Kota Batam, Provinsi Kepulauan Riau. Berbagai sudut pandang dikemukakan dalam diskusi ini, mencakup isu-isu agraria, lingkungan, hingga dampak sosial dari proyek tersebut.

1. Warga tolak relokasi Rempang Eco-City, BP Batam disebut sebar informasi fiktif

Pemerintah Dinilai Tidak Terbuka Soal Relokasi di RempangMasyarakat Pulau Rempang saat memasang spanduk penolakan relokasi (IDN Times/Putra Gema Pamungkas)

Diskusi publik terkait Proyek Strategis Nasional (PSN) Rempang Eco-City dibuka dengan pernyataan dua perwakilan masyarakat Kampung Tua yang terdampak relokasi tahap pertama.

Wadi, perwakilan warga Sembulang Hulu, Pulau Rempang, menyampaikan rasa keprihatinannya atas informasi yang disebarkan Badan Pengusahaan (BP) Batam kepada publik.

Wadi menilai pernyataan BP Batam mengenai data warga yang telah setuju untuk direlokasi tidak dapat dipertanggungjawabkan.

"Kami warga Rempang berharap BP Batam jangan asal menyebarkan informasi bohong. Sampaikanlah kepada publik data penerima relokasi sejujur-jujurnya," kata Wadi.

Ia juga menegaskan bahwa mayoritas masyarakat di lima Kampung Tua di Pulau Rempang masih menolak relokasi. "Jangankan ganti untung yang besar, kami tidak akan mau dipindahkan karena ini kampung kami dari ratusan tahun yang lalu," tegasnya.

Sementara itu, Saka yang merupakan perwakilan masyarakat Kampung Tua Pasir Panjang, Pulau Rempang, juga mengutarakan hal serupa.

Ia menyatakan mayoritas masyarakat di Kampung Tua Pasir Panjang masih menolak untuk direlokasi. Selain itu, Saka juga menyebut BP Batam terus menyampaikan informasi fiktif terkait relokasi.

"Kami meminta BP Batam terbuka atas informasi yang ada, karena data warga penerima relokasi yang disampaikan oleh BP Batam fiktif. Mari kita dudukkan masalah ini agar masyarakat tidak tertipu oleh data fiktif," kata Saka.

2. Pemerintah tidak tegas, konflik agraria di Pulau Rempang berlanjut

Pemerintah Dinilai Tidak Terbuka Soal Relokasi di RempangPara nelayan saat melakukan aksi penolakan PSN Rempang Eco City di perairan Pulau Rempang (IDN Times/Putra Gema Pamungkas)

Direktur YLBHI-LBH Pekanbaru, Andri Alatas menyoroti kurangnya ketegasan pemerintah dalam menangani konflik agraria di Indonesia. Menurut Andri, terdapat perbedaan mencolok antara pernyataan Presiden Jokowi yang meminta agar masyarakat didahulukan dibandingkan pemegang konsesi, dengan tindakan nyata di lapangan.

"Kami melihat jajaran pemerintahan mulai dari kementerian hingga ke bawah tidak mengikuti instruksi Presiden Jokowi sehingga konflik agraria terus berlarut hingga saat ini," ujar Andri.

Berdasarkan hasil pendataan YLBHI-LBH Pekanbaru di Pulau Rempang, ditemukan bahwa sekitar 90 kepala keluarga yang setuju untuk direlokasi bukan merupakan warga asli Pulau Rempang.

"Warga yang setuju untuk direlokasi mayoritas adalah pendatang baru di Pulau Rempang. Mereka menerima relokasi karena tidak memiliki ikatan emosional atau rasa sayang terhadap lahan dan kampung adat yang telah dijaga selama ratusan tahun," jelas Andri.

Direktur Eksekutif Walhi Riau, Boy Jerry Even Sembiring menambahkan, konflik penolakan pengukuran lahan yang terjadi pada 7 September 2023 di Pulau Rempang merupakan tragedi yang telah disusun secara sistematis oleh pemerintah.

Boy menyoroti aksi ribuan personel gabungan yang dipersenjatai, yang melakukan pengusiran terhadap ribuan masyarakat dengan menggunakan tembakan peluru karet dan gas air mata.

"Ini adalah bukti bahwa pemerintah secara sistematis menyusun dan melaksanakan tindakan represif terhadap masyarakat," tegas Boy.

3. Banyak janji pemerintah yang tidak sesuai fakta

Pemerintah Dinilai Tidak Terbuka Soal Relokasi di RempangMasyarakat Pulau Rempang yang melakukan aksi penolakan investasi Rempang Eco City (IDN Times / Putra Gema Pamungkas)

Rina Mardiana, perwakilan dari KIKA turut menyayangkan situasi konflik yang berlarut-larut tanpa penyelesaian yang memadai di Pulau Rempang.

Rina, yang melakukan investigasi langsung ke Pulau Rempang, menemukan banyak fakta mengejutkan terkait janji-janji pemerintah yang tidak sesuai dengan kondisi di lapangan. Dia juga menyoroti banyaknya rilis berita dari BP Batam yang tidak terverifikasi.

"Saya menemukan puluhan ribu pemberitaan yang berisi rilis dari BP Batam. Pemberitaan-pemberitaan ini tidak terverifikasi dengan fakta sebenarnya di lapangan. Klaim bahwa banyak warga yang bersedia direlokasi harus diverifikasi ulang, hasil investigasi kami menunjukkan fakta yang sangat berbeda di lapangan," kata Rina.

Selain itu, Rina mengkritik regulasi pemerintah yang dianggap tidak berpihak kepada masyarakat Rempang. "Aturan atau regulasi pemerintah terhadap warga Rempang juga tidak ramah terhadap masyarakat," tambahnya.

Rina, mewakili KIKA menegaskan, konflik agraria yang berkepanjangan di Pulau Rempang menunjukkan ketidakseimbangan antara ambisi pembangunan Rempang Eco-City dengan hak-hak masyarakat adat setempat.

Ia juga menilai bahwa pembangunan pabrik kaca dan kota baru ini diperkirakan akan menciptakan berbagai dampak lingkungan, antara lain inklusi air laut, abrasi, dan rusaknya temburu karang yang berdampak negatif terhadap penghasilan nelayan.

"Masyarakat Melayu di Pulau Rempang secara konsisten menolak proyek ini karena akan menghilangkan tanah leluhur mereka yang telah dihuni secara turun temurun. Saya memohon kepada pemerintah untuk mendengar, diperlukannya keterbukaan atau transparansi dan memastikan adanya restorasi masyarakat terhadap masyarakat terdampak. Relokasi yang tidak direncanakan dengan matang dapat mengakibatkan dampak ekonomi yang buruk bagi masyarakat," ungkapnya.

"Pembangunan sejatinya untuk keberlangsungan dan kesejahtraan masyarakat, bukan melanggengkan keberlanjutan ekonomi segelintir kapitalis kalangan oligarki," tutupnya

4. AJI Indonesia kritisi pemberitaan konflik agraria yang tidak terverifikasi

Pemerintah Dinilai Tidak Terbuka Soal Relokasi di RempangSusunan lampu pelita bertuliskan tolak relokasi di Pulau Rempang (IDN Times/Putra Gema Pamungkas)

Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Indonesia mengkritik sejumlah pemberitaan terkait konflik agraria di Pulau Rempang yang dipublikasi tanpa melakukan verifikasi. Ketua AJI Indonesia, Sasmito Madrim, menyoroti minimnya pemberitaan yang sesuai dengan fakta di lapangan.

Sasmito mencatat adanya dualisme dalam pemberitaan mengenai kasus agraria di Pulau Rempang. "Benar apa yang disampaikan teman-teman terkait minimnya pemberitaan yang berpihak kepada warga. Kalau kita lihat di pemberitaan, terdapat dua kubu dan ini terpecah," ujar Sasmito.

Dia menjelaskan bahwa ada media yang bersikap kritis dan kredibel, sementara ada pula media yang mewakili kepentingan perusahaan. "Ini menjadi kritik terhadap teman-teman media yang tidak melakukan verifikasi rilis yang dijadikan sebagai berita," tambahnya.

Sasmito menekankan pentingnya verifikasi dalam setiap laporan berita untuk memastikan akurasi dan keadilan dalam pemberitaan, terutama dalam kasus konflik agraria yang berdampak langsung pada masyarakat di Pulau Rempang dan daerah lainnya.

5. Polemik Rempang Eco-City, pertarungan berat bagi masyarakat setempat

Pemerintah Dinilai Tidak Terbuka Soal Relokasi di RempangSepanduk bertuliskan tolak relokasi meembentang di tengah masyarakat Pulau Rempang, Kota Batam (IDN Times/Putra Gema Pamungkas)

Dandhy Dwi Laksono, Co-Founder Watchdoc turut mengikuti diskusi publik terkait polemik Proyek Strategis Nasional (PSN) Rempang Eco-City. Dalam diskusi tersebut, Dandy mengungkapkan bahwa polemik di PSN Rempang Eco-City merupakan pertarungan berat bagi masyarakat setempat.

"Ini pertarungan yang sepertinya berat karena investor yang berada di Rempang hari ini merupakan investor yang sudah dua kali memiliki proyek besar dan gagal di Selat Sunda dan Teluk Benoa," kata Dandhy.

Dandhy juga menyoroti status PSN yang diperkirakan akan terus berlanjut dengan rezim presiden baru, Prabowo Subianto. Ia menilai bahwa konflik agraria di Pulau Rempang akan berlangsung lama, namun masyarakat setempat masih memiliki peluang untuk memenangkan pertarungan ini.

"Isu-isu agraria di setiap daerah memiliki kasus yang serupa, mulai dari kriminalisasi hingga konflik horizontal di kalangan masyarakat," jelas Dandhy.

Ia menambahkan bahwa konflik agraria di Papua dan Banyuwangi jauh lebih kompleks. "Di Papua masyarakat yang menolak dianggap pro kemerdekaan atau anti-NKRI, sementara di Banyuwangi, warga yang menolak tambang emas dicap sebagai komunis," ujarnya.

"Identitas Melayu yang digunakan masyarakat Rempang sangat relevan sebagai instrumen untuk menggalang dukungan solidaritas masyarakat," tutupnya.

Pandangan serupa disampaikan oleh Herdiansyah Hamzah dari Universitas Mulawarman. Ia menyatakan bahwa negara telah melakukan kejahatan terencana terhadap masyarakat di Pulau Rempang, seperti yang terjadi di daerah lain.

"Negara secara terang benderang melakukan kejahatan serius terhadap masyarakatnya sendiri. Negara tidak hanya merampas tanah, tapi juga merampas ruang hidup dan masa depan anak cucu masyarakat terdampak. Masalah di Pulau Rempang adalah masalah kita bersama, sebagai sebuah bangsa," ungkap Herdiansyah.

Menurutnya, negara harus menjadi wakil yang merepresentasikan kepentingan rakyat Indonesia, bukan sebagai pihak yang merampas tanah rakyatnya sendiri.

Di akhir pernyataannya, Herdiansyah membacakan sepenggal puisi karya Wiji Thukul yang berjudul 'Pepatah Buron'.

"Kawan sejati adalah kawan yang masih berani tertawa bersama walau dalam kepungan bahaya," tutupnya.

Baca Juga: Masyarakat Adat Rempang Serukan Perlindungan Hutan Adat di Papua

Topik:

  • Putra Gema Pamungkas
  • Doni Hermawan

Berita Terkini Lainnya