Nelayan Khawatir Proyek Rempang Eco City Merusak Laut 

WALHI: AMDAL baru akan disusun

Batam, IDN Times - Tahapan pengembangan Proyek Strategis Nasional (PSN) Rempang Eco City di Pulau Rempang, Galang, Kota Batam, Kepulauan Riau hingga kini masih terus berlanjut meski terus dapati penolakan dari masyarakat setempat.

Saat ini, meski situasi di Pulau Rempang tidak terjadi gejolak, namun masyarakat setempat masih khawatir dengan berbagai langkah pemerintah yang terus mencoba merelokasi masyarakat setempat.

Kekhawatiran itu bukan hanya soal akan dilakukannya perpindahan penduduk dari berbagai kampung tua ke lokasi relokasi yang telah ditetapkan, namun juga dampak kerusakan lingkungan yang akan ditimbulkan dari proyek ambisius ini.

Dampak kerusakan lingkungan tersebut dikhawatirkan karena pemerintah telah melakukan proses tahapan Rempang Eco City tanpa adanya Analisis Mengenai Dampak Lingkungan (AMDAL).

1. Nelayan tradisional terancam tak dapat melaut

Nelayan Khawatir Proyek Rempang Eco City Merusak Laut Masyarakat Kampung Tua Tanjung Banun sedang menimbang hasil tangkapannya (IDN Times / Putra Gema Pamungkas)

Masyarakat Pulau Rempang yang mayoritas mencari nafkah dari hasil laut kini juga merasa khawatir akan kelanjutan proyek Rempang Eco City ini.

Bagaimana tidak, di dalam sosialisasi penyusunan AMDAL kepada masyarakat yang dilakukan pada 30 September 2023 lalu di Kantor Kecamatan Galang, masyarakat mendapatkan informasi secara rinci atas proyek Rempang Eco City ini.

Dorman, salah seorang nelayan di Pulau Mubud yang lokasinya hanya 2 kilometer dari pelabuhan rakyat Kampung Tua Pasir Merah mengungkapkan, nantinya akan ada pengerjaan reklamasi dan pendalaman alur laut di daerah tersebut.

"Reklamasi itu untuk pembuatan pelabuhan industri dan pendalaman alur itu untuk melintasnya kapal-kapal besar ke pelabuhan," kata Dorman.

Ia menilai, berbagai kegiatan itu nantinya akan merusak habitat biota laut yang hidup di perairan Pulau Rempang. Bahkan kegiatan ini dapat menghancurkan lokasi perairan konservasi yang telah di jaga nelayan setempat sejak tahun 2019 lalu.

"Kami semua ini berharap banyak dari hasil laut di sekitar Pulau Rempang. Jika nantinya laut ini rusak karena proyek ini, kami mencari ikan kemana lagi," ungkapnya.

Dengan akan adanya berbagai aktivitas itu, dirinya dan seluruh nelayan tradisional yang ada di Pulau Rempang dan pulau-pulau sekitar secara tegas menolak proyek Rempang Eco City ini.

"Secara tegas kami akan terus melakukan penolakan investasi Rempang Eco City yang masuk ke Pulau Rempang ini, karena lebih banyak mudharatnya dibandingkan manfaatnya," tegasnya.

Baca Juga: Tim Advokasi Ajukan Praperadilan Penahanan 30 Warga Rempang

2. AMDAL Proyek Rempang Eco City baru disusun

Nelayan Khawatir Proyek Rempang Eco City Merusak Laut Ilustrasi Pulau Rempang (IDN TIMES / Putra Gema Pamungkas)

Direktur Eksekutif Wahana Lingkungan Indonesia (WALHI) Riau, Boy Ferry Evan Sembiring mengatakan, AMDAL mengenai rencana pembangunan proyek Rempang Eco City hingga saat ini belum ada dan baru mulai disusun. Hal itu dibuktikan dengan adanya surat undangan yang diterbitkan oleh Badan Pengusahaan (BP) Batam untuk kegiatan Penyusunan AMDAL Kawasan Rempang Eco City pada 27 September 2023 lalu.

Penyusunan AMDAL, lanjut Boy seharusnya melalui proses komunikasi dan konsultasi kepada masyarakat terdampak untuk mendengarkan pendapat dan tanggapan terkait rencana proyek.

Ia melanjutkan, sampai saat ini masyarakat Pulau Rempang belum pernah melihat dokumen AMDAL untuk proyek yang akan bertempat di kampung mereka. Pihak BP Batam juga dinilai terus mendesak masyarakat untuk mendaftarkan diri agar mau direlokasi.

Tidak hanya masyarakat Pulau Rempang, penolakan juga terjadi oleh seluruh masyarakat yang tinggal di pulau-pulau sekitar. Penolakan itu terjadi karena dinilai investasi ini dapat merusak mata pencaharian mereka yang bergantung dari hasil laut.

"Tidak peduli dengan 16 kampung tua, Bahlil hanya khawatir dengan investasi Tiongkok di Rempang. Jangan pernah memposisikan, sejarah dan peradaban lahirnya Indonesia lebih berharga dibanding investasi," tutupnya.

3. Peningkatan tren EBT dan kekhawatiran masyarakat Pulau Rempang

Nelayan Khawatir Proyek Rempang Eco City Merusak Laut Ratusan masyarakat Pulau Rempang melakukan aksi penolakan kedatangan Menteri Investasi, Bahlil Lahadalia (IDN Times / Putra Gema Pamungkas)

Pulau Rempang yang memiliki luas 16.500 hektare merupakan pulau dengan lokasi yang sangat strategis, yakni dekat dengan Laut China Selatan dan berbagai negara tetangga, seperti Singapura hingga Malaysia.

Selain lokasi yang strategis, kini pemerintah juga terus mengedepankan investasi Energi Baru Terbarukan (EBT). Hal itu dapat terlihat dari rencana pembukaan keran ekspor EBT dari Kota Batam ke Singapura sejak tahun 2021 lalu.

Tren EBT itu kini telah merambah ke Pulau Rempang, di mana PT Mega Elok Graha (MEG) yang merupakan anak perusahaan milik Tomy Winata dikabarkan akan memasukan satu investasi perusahaan kaca dan solar panel terkemuka di China, Xinyi Group.

Hal itu pun membuat masyarakat setempat dan nelayan pulau sekitar menjadi semakin khawatir jika kedepannya PT MEG memiliki hak atas lahan di Pulau Rempang.

"Pulau Rempang dan perairan sekitarnya ini sangat kaya akan pasir silika dan kuarsa, itu merupakan bahan dasar pembuatan kaca dan panel surya. Kami tidak mau kerusakan kembali terjadi seperti pada saat penambangan Bauksit di Kabupaten Bintan, kami para nelayan pasti akan terdampak," kata warga Kampung Tua Pasir Merah, Ady Semberani.

4. Penolakan masyarakat menjaga tanah ulayat para leluhur

Nelayan Khawatir Proyek Rempang Eco City Merusak Laut Ratusan masyarakat Kampung Tua di Sembulang, Pulau Rempang saat melakukan aksi penolakan kehadiran Menteri Investasi, Bahlil Lahadalia (IDN Times / Putra Gema Pamungkas)

Tim Advokasi Solidaritas Nasional untuk Rempang dari Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Mawar Saron Batam menegaskan bahwa hingga saat ini mayoritas masyarakat Pulau Rempang masih konsisten dalam menolak masuknya proyek Rempang Eco City ini.

Direktur LBH Mawar Saron Batam, Mangara Sijabat mengatakan, masyarakat yang hingga saat ini masih menolak merupakan masyarakat asli dari berbagai kampung tua yang terdampak rencana relokasi tahap pertama.

"Hingga saat ini, masih banyak masyarakat yang menolak untuk di relokasi karena mereka merupakan penduduk adat asli yang telah tinggal turun menurun di Pulau Rempang ini. Jadi mereka mempertahankan tanah ulayatnya," kata Mangara.

5. BP Batam akui proses relokasi masyarakat Pulau Rempang tidak mudah

Nelayan Khawatir Proyek Rempang Eco City Merusak Laut Lokasi hunian sementara masyarakat Pulau Rempang yang disediakan oleh BP Batam (IDN Times / Putra Gema Pamungkas)

Kepala BP Batam, Muhammad Rudi mengatakan, proses relokasi terhadap masyarakat yang terdampak pengembangan Rempang Eco City membutuhkan proses yang tidak mudah.

BP Batam katanya, terus berkomitmen untuk mengedepankan prinsip-prinsip humanis dalam melakukan relokasi, sehingga pergeseran ini bisa terus berjalan secara terus-menerus. hingga selesai.

Hingga saat ini, Rudi menegaskan bahwa hingga saat ini, terdapat 64 Kartu Keluarga (KK) yang telah menempati hunian sementara. 64 KK ini tersebar di berbagai lokasi, seperti Perumahan Bida 3 Sambau, Ruko Buana Central Park dan hunian sementara yang dipilih secara pribadi.

"Terhadap warga Rempang, saya berterimakasih dan apresiasi, karena mau bersama sama mewujudkan kualitas hidup yang lebih baik, menyongsong masa depan yang lebih baik, sehingga anak-anak pun mendapat jaminan masa depan yang baik pula," kata Rudi melalui keterangan tertulis.

Baca Juga: WALHI: Bahlil hanya Khawatir dengan Investasi China di Rempang

Topik:

  • Doni Hermawan

Berita Terkini Lainnya