Kepri Masuk 10 Besar Pusaran Konflik Agraria Tertinggi di Indonesia

Konflik Pulau Rempang jadi penyumbang kawasan terbesar

Batam, IDN Times - Sepanjang tahun 2023, Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA) mencatat 10 provinsi pencetak konflik agraria tertinggi di Indonesia, salah satu di antaranya yakni Provinsi Kepulauan Riau (Kepri)

Dalam laporan tahunan yang dikeluarkan oleh KPA, Provinsi Kepri menjadi salah satu daerah sebagai pencetak konflik agraria tertinggi di Indonesia.

Provinsi Kepri berada di peringkat ke 9 dengan total jumlah konflik sebanyak 10 titik, luas lahan 16.674 hektare dan 10 desa yang terdampak dengan total korban mencapai 9.750 kartu keluarga.

Sementara di peringkat satu dalam konflik agraria tertinggi Indonesia terjadi di wilayah Provinsi Sumatera Utara (Sumut), dengan total 33 konflik, luas lahan 34.090 hektare, dan 25 desa terdampak dengan total korban mencapai 11.148 kartu keluarga.

1. WALHI : Pulau Rempang merupakan konflik agraria paling luas di Kepri

Kepri Masuk 10 Besar Pusaran Konflik Agraria Tertinggi di IndonesiaPihak kepolisian menangkap salah seorang masa aksi bela Rempang di depan kantor BP Batam, 11 September 2023 (IDN Times/Putra Gema Pamungkas)

Direktur Eksekutif Daerah Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Riau, Boy Jerry Even Sembiring mengatakan, laporan yang dikeluarkan oleh KPA telah memperlihatkan gambaran Kepulauan Riau dalam konteks yang tepat.

“Dari luasan konflik, menunjukkan Rempang merupakan lokasi yang berkontribusi pada luasan konflik agraria dan sumber daya alam paling luas,” kata Boy, Rabu (24/1/2024).

Ia menjelaskan, dalam catatan selama bekerja di Kepri sejak Juni 2023, pihaknya juga melihat dan menerima laporan secara langsung bahwa terdapat kasus agraria lainnya yang harus di soroti di Provinsi Kepri.

Seperti halnya yang terjadi di Desa Limbung, Pulau Lingga, di mana warga setempat tengah berkonflik dengan perusahaan PT Citra Sugi Aditya. Ada juga Kawasan Ekonomi Khusus (KEK) yang menghapus kawasan konservasi perairan di sekitar Pulau Poto, Pulau Bintan.

Selain itu, pihaknya juga mencatat kasus Sumber Daya Alam (SDA) di Kepri, di mana pihaknya mendapati adanya aktivitas penambangan timah di Pulau Tulang, perairan Karimun yang mendapat penolakan dari masyarakat. Hal serupa juga terjadi di Pulau Kojong, Lingga.

Potensi letusan konflik di Kepulauan Riau juga semakin besar dengan rencana aktivasi kembali pertambangan pasir laut melalui PP26/2023 dan sebaran lokasi wilayah pertambangan yang sangat luas.

“Selain itu, WALHI Riau dan WALHI Region Sumatera mencatat potensi kerusakan lingkungan dan konflik di Kepulauan Riau akan semakin masif dengan pengembangan pariwisata dengan pendekatan privatisasi. Pengembangan privatisasi pariwisata juga akan berpotensi mengakibatkan dampak buruk perdagangan orang untuk kebutuhan tenaga kerja,” ujarnya.

Baca Juga: Anies Singgung PSN Rempang Eco City, Sebut Pemerintah Tidak Sabaran

2. Selain darurat agraria dan SDA, WALHI juga menilai Provinsi Kepri darurat demokrasi

Kepri Masuk 10 Besar Pusaran Konflik Agraria Tertinggi di IndonesiaRatusan masyarakat Kampung Tua Sembulang, Pulau Rempang saat melakukan aksi unjuk rasa penolakan investasi Rempang Eco City (IDN Times/Putra Gema Pamungkas)

Masih kata Boy, situasi konflik di Provinsi Kepri juga diperburuk dengan proses penegakan hukum yang represif kepada masyarakat dan sangat protektif kepada investasi.

“Selain darurat konflik agararia dan SDA, kami juga memandang Kepulauan Riau darurat demokrasi. Hal ini dapat dilihat dari perkembangan kasus papan bunga yang jalan di tempat. Kebebesan penyampaian pendapat dipasung dengan pendekatan represif dan pembatasan ruang mengekspresikan diri,” tegasnya.

3. YLBHI nilai konflik agraria di Rempang tamparan keras untuk pemerintah

Kepri Masuk 10 Besar Pusaran Konflik Agraria Tertinggi di IndonesiaMasyarakat Kampung Tua Pasir Merah, Sembulang, Pulau Rempang saat beraktifitas di laut (IDN Times/Putra Gema Pamungkas)

Sementara itu, hal serupa juga disampaikan Direktur Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) - LBH Pekanbaru, Andi Wijaya. Ia menegaskan bahwa masuknya Provinsi Kepri dalam nominasi 10 provinsi pencetak konflik agraria tertinggi di Indonesia adalah tamparan keras bagi pemerintah.

“Ini termasuk salah satunya konflik Rempang. Seharusnya ini tamparan bagi pemerintah bahwa otoritas Batam menghasilkan konflik apalagi Program Strategis Nasional (PSN),” kata Andi.

Menurutnya, dengan adanya penolakan oleh masyarakat setempat di Pulau Rempang dan daerah lainnya, seharusnya Pemerintah Pusat tidak menerbitkan Peraturan Presiden (Perpres) untuk mempercepat perampasan hak masyarakat.

Atas adanya hal ini, ia berharap agar Pemerintah Pusat maupun di daerah harus melakukan evaluasi proyek-proyek strategis yang telah menjadi akar permasalahan konflik.

“Ini juga bukti bahwa keberadaan Rempang Eco city itu di tolak masyarakat, dan pembangunan yg ugal-ugalan dan memaksa. Bukannya pemerintah menyelesaikan konflik, malah menerbitkan Perpres yg mempercepat perampasan masyarakat Rempang, ini harus dievaluasi,” tutupnya.

Baca Juga: PLTS di Pulau-Pulau Terluar Kepri: Harapan yang Masih Belum Terwujud 

Topik:

  • Doni Hermawan

Berita Terkini Lainnya