Tiga Kasus Kekerasan Seksual terhadap Anak di-SP3 Polisi Aceh

Yuk simak perjalanan kasusnya

Banda Aceh, IDN Times - Anak berusia 17 tahun di Aceh Utara diperkosa atau rudapaksa oleh seorang pria berinsial Sy (32), yang dikenalnya melalui media sosial. Tindakan itu telah 10 kali dialami oleh korban. Semuanya dibawa ancaman pelaku dan iming-iming akan menikahi korban yang masih di bawah umur.

Kasus mulai terungkap saat korban sempat hilang dari rumah. Pihak keluarga dan warga coba melakukan pencarian hingga kemudian menemukan korban di kebun coklat yang tidak jauh dari rumahnya. Kepada ibunya korban mengaku jika selama ini dirinya kerap dijadikan pelampiasan nafsu dari pria yang dikenalnya lewat dunia maya tersebut.

Pihak keluarga lalu melaporkan kasus yang dialami putrinya ke Kepolisian Resor (Polres) Aceh Utara. Pelaku pun kemudian ditangkap oleh personel Satuan Reserse Kriminal (Sat Reskrim) Polres Aceh Utara.

Ia kini mendekam di balik jeruji polres setempat sambil menunggu berjalannya proses hukum. Belum diketahui aturan hukum mana yang akan diberikan kepada Sy. Menjeratnya dengan Undang-Undang (UU) Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak yang berlaku secara nasional atau menggunakan Qanun Aceh Nomor 6 Tahun 2014 tentang Hukum Jinayat sesuai pemberlakuan hukuman di Provinsi Aceh.

Sementara, korban yang masih di bawah umur, kabarnya masih mengalami trauma atas kejadian dialaminya. Remaja perempuan ini tentunya membutuhkan seorang psikolog untuk membantunya mengobati luka psikis yang kini masih membayangi pikiran dan jiwanya.

***

Kasus pelecehan seksual terhadap anak masih menjadi persoalan yang kerap terjadi hingga saat ini di Indonesia, termasuk di Provinsi Aceh. Perkara di atas merupakan satu dari beberapa masalah yang ada.

Kali ini IDN Times akan mengulas ikhwal kasus pelecehan seksual yang dialami anak di provinsi paling barat Indonesia tersebut. 

1. Kasus pelecehan seksual yang dialami anak di Aceh selama 2018-2020

Tiga Kasus Kekerasan Seksual terhadap Anak di-SP3 Polisi AcehKekerasan Seksual Terhadap Anak di Provinsi Aceh 2016-2020. (IDN Times/Muhammad Saifullah)

Data yang IDN Times terima dari Unit Pelaksana Tekhnis Daerah Perlindungan Perempuan dan Anak (UPTD PPA) Provinsi Aceh, tercatat ada 1.356 kasus kekerasan seksual terhadap anak selama 2016-2020 yang dihimpun dari lima kategori kekerasan terhadap anak.

Jika diperhatikan garfik Kekerasan Seksual Terhadap Anak di Provinsi Aceh dalam rentang waktu lima tahun terkahir, pelecehan seksual menjadi kategori kasus tertinggi, yakni 945 kasus. Sedangkan tahun 2017 dicatat menjadi tahun tertinggi yang mengalami kelonjakan kasus kekerasan seksual terhadap anak. Hampir rata-rata ketegori kasus di tahun itu meningkat, kecuali seksual yang hanya turun satu kasus dibandingkan tahun 2016.

Di tahun-tahun selanjutnya, beberapa kategori mengalami penurunan kasus. Akan tetapi tidak untuk kategori sodomi yang justru meningkat dalam mulai 2018-2021 meski tidak begitu signifikan.

Untuk melihat secara detail data grafik, klik KEKERASAN SEKSUAL TERHADAP ANAK DI PROVINSI ACEH, 2016-2020.

2. Ada beberapa faktor mempengaruhi tindak kekerasan seksual terhadap anak

Tiga Kasus Kekerasan Seksual terhadap Anak di-SP3 Polisi Acehjabar.pojoksatu.id

Psikolog UPTD PPA Provinsi Aceh, Endang Setianingsih mengatakan, ada beberapa faktor yang menjadi penyebab dan mempengaruhi tindakan kekerasan seksual terhadap anak dilakukan oleh pelaku. Di antaranya, pengaruh pornografi, narkoba, teman, dan trauma yang dialami anak saat menjadi korban pemerkosaan.

Ia memperjelas, anak yang pernah menjadi korban kekerasan seksual apabila tidak mendapatkan pemulihan psikologi dengan baik, bisa membuat anak tersebut nantinya menjadi pelaku baru dalam kasus serupa. Sebab, korban memiliki sejarah atau historis dalam permasalahan itu.

Tidak hanya itu, adanya kesempatan maupun peluang yang dimiliki pelaku untuk melakukan kejahatan seksual juga menjadi salah satu faktor penyebab kekerasan seksual terhadap anak kerap terjadi. Selain dari pada peran orang tua mengawasi anak.

"Yang terakhir adalah kurangnya pengawasan dari orangtua sehingga anak menjadi sasaran empuk oleh pelaku," kata Endang.

3. Dampak yang diterima korban anak dari kasus kekerasan seksual

Tiga Kasus Kekerasan Seksual terhadap Anak di-SP3 Polisi AcehIlustrasi kekerasan pada perempuan (IDN Times/Arief Rahmat)

Korban anak yang mengalami kekerasan seksual sangatlah berdampak besar di masa depannya. Itu dikatakan Endang, dikarenakan efek psikologis yang dialami korban. Dalam hal ini, anak yang menjadi korban cenderung untuk menutupi diri terhadap kejadian dialaminya. Jika tidak langsung diambil langkah melakukan pemulihan psikologisnya, hal itu nantinya justru akan membuat korban semakin tertekan.

"Apalagi bila orang tua atau keluarga kurang peduli dengan kondisi korban," ujarnya.

Psikolog UPTD PPA Provinsi Aceh ini menyampaikan, selain psikologi, korban anak yang pernah mengalami kekerasan seksual juga berdampak terhadap kehidupan sosialnya. Anak akan menjadi pribadi yang tertutup, tidak percaya diri, stres, depresi, mudah cemas, susah tidur, selalu timbul perasaan bersalah, ketakutan pada hal-hal tertentu, dan bahkan bisa menjadi mengidap gangguan traumatik pasca kejadian (PTSD).

Korban anak juga akan mengisolasi diri dengan lingkungan sosialnya. Di dunia pendidikan, ia mengalami penurunan terhadap prestasi di sekolah. Dampak lainnya yang paling berbahaya, anak bisa mengalami gangguan pada prilakunya sehingga mampu memikirkan hal untuk mengakhiri hidup atau bunuh diri.

"Anak kemungkinan besar akan menjadi lebih agresif dalam berperilaku sehingga ia bisa berpotensi melakukan hal-hal kriminal dan bahkan menjadi calon pelaku kekerasan," jelas Endang.

4. LBH mencatat pernah ada tiga kasus kekerasan seksual terhadap anak yang di-SP3-kan polisi

Tiga Kasus Kekerasan Seksual terhadap Anak di-SP3 Polisi AcehSurat penghentikan kasus kekerasan seksual terhadap anak. (Dokumentasi LBH Banda Aceh untuk IDN Times)

Ada 1.356 kasus kekerasan seksual terhadap anak terjadi selama 2016-2020. Diduga, tidak semua kasus tersebut hilirnya ke meja hijau atau pelaku tindak pidana pada anak di bawah umur itu tak dijerat dengan undang-undang maupun aturan yang berlaku. Meski sebenarnya bukti-bukti untuk menetapkan pelaku sebagai tersangka sudah jelas.

Kasus ini tercatat dalam perjalanan Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Banda Aceh sebagai yayasan yang menyediakan bantuan hukum untuk rakyat miskin, buta hukum, dan korban pelanggaran hak asasi manusia (HAM). Sedikitnya, ada tiga kasus kekerasan seksual terhadap anak yang lembaga ini tangani berujung dengan diterbitkannya surat perintah penghentian penyidikan (SP3) kasus dari pihak kepolisian di Provinsi Aceh.

"Yang kita tangani yang di-SP3kan itu ada tiga kasus," kata Direktur Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Banda Aceh, Syahrul Putra Mutia.

Ketiga kasus itu dikatakannya, dua terjadi di Kota Banda Aceh dan satu di Pidie Jaya. Adapun pihak yang menangani kasus tersebut kala itu, yakni Kepolisian Daerah (Polda) Aceh, Kepolisian Resor Kota (Polresta) Banda Aceh, dan Polres Pidie Jaya.

Berbagai alasan diutarakan pihak aparat keamanan maupun hukum. Mulai dari tidak adanya saksi mata dari kejadian saat korban mengalami kekerasan seksual hingga sampai keluarga korban dianggap gila. Padahal, para korban secara bukti visum jelas mengalami tindakan pelecehan seksual.

Dalam Pasal 184 ayat 1 Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) disebutkan bahwa alat bukti yang sah adalah keterangan saksi, keterangan ahli, surat, petunjuk dan keterangan terdakwa.

5. Ibu korban dianggap gila hingga ada kasus korban diperkosa oleh pelaku yang sama

Tiga Kasus Kekerasan Seksual terhadap Anak di-SP3 Polisi AcehIlustrasi penghentian proses penyelidikan oleh polisi dalam kasus kekerasan seksual di Luwu Timur, Sulawesi Selatan. (Project M/Muhammad Nauval Firdaus - di bawah lisensi Creative Commons BY-NC-ND 2.0)

Syahrul pun menceritakan satu persatu kasus yang pernah dialami kliennya. Dimulai dari kasus pemerkosaan dua anak di Kota Banda Aceh yang dilakukan oleh kerabat dari teman ibu korban. Kasus itu sempat dilaporkan oleh ibu korban ke Unit PPA Direktorat Reserse Kriminal Umum (Dit Reskrimum) Polda Aceh, pada 3 Januari 2019. 

Hampir dua tahun menunggu, surat laporan yang pernah diajukan klien LBH Banda Aceh akhirnya diberikan balasan oleh kepolisian tingkat provinsi tersebut terkait perkembangan kasus. Sayangnya, surat tertanggal 17 Oktober 2020 tersebut dikatakan Syahrul, tidak seperti apa yang diharapkan oleh perempuan sekaligus kepala keluarga itu.

Surat bernomor B/403/X/Res.1.24.2020/Subdit IV-Resum yang ditandatangani atas nama Direktur Reserse Kriminal Umum (Dir Reskrimum) Polda Aceh, Konbes Pol Sony Sonjaya itu berisi penghentian kasus. Dalihnya, tidak cukupnya bukti untuk menetapkan pelaku sebagai tersangka. 

Pihak kepolisian malah dikatakan direktur LBH Banda Aceh itu, meminta pihak keluarga korban untuk menghadirkan saksi yang melihat langsung dua anak itu diperkosa jika benar ada tindakan pemerkosaan. Padahal, bukti visum serta trauma yang dialami korban, sudah cukup menjadi alat bukti.

"Berdasarkan hasil visum ada luka di alat vital korban dan ada trauma. Artinya tindak pidana itu ada," kata Syahrul selaku kuasa hukum," ujar Syahrul.

Mendapat kabar bahwa pelaku yang melakukan kasus kekerasan seksual terhadap anaknya tidak bisa dijerat hukum, membuat ibu korban frustasi. Bagaimana tidak. Masa depan buah hatinya yang saat kejadian berusia empat tahun serta enam tahun, hilang dan hanya meninggalkan trauma. Sedangkan pelaku masih bebas berkeliaran tanpa diyura. Mirisnya lagi, perempuan yang harus mandiri menghidupi anak-anaknya pascameninggal sang suami itu, malah bahkan dianggap gila.

"Orang tuanya diklaim gila atau stres. Orang tua mana yang tidak gila karena dua anaknya mengalami pemerkosaan."

"Padahal hasil pemeriksaan psikolog bahwa keterangan si anak itu benar adanya kejadian dan pelakunya adalah yang dilaporkan," tegas Syahrul dalam ceritanya.

Persoalan kedua yang di-SP3kan juga terjadi di Banda Aceh. Kali ini, anak tindakan kekerasan seksual kembali menjadi korban dengan pelaku yang pernah memperkosanya. Padahal kala itu pelaku berstatus tahanan dan masih harus menjalani sisa hukuman cambuk dari tindakan yang diperbuatnya.

Kasus pelaku membawa kabur korban dan melakukan persetubuhan ini kemudian dilaporkan ke Polresta Banda Aceh, pada 23 Maret 2020. Laporan sempat diterima, belakangan dikarenakan status hukum yang belum habis dijalani pelaku, berujung pembebasan perkara atau laporan kedua tidak ditindaklanjuti lagi.

Itu tertera dalam Surat Keputusan Nomor: S.TAP/315/XII/RES.I.25/2020 tentang Penghentian Penyidikan. Surat ditandatangani Kepala Satuan Reserse Kriminal (Sat Reskrim) Polresta Banda Aceh, AKP Muhammad Ryan Citra Yudha, pada 23 Desember 2020.

"Padahal dalam kasus ini waktunya berbeda dan polanya juga berbeda, meskipun korbannya sama. Itu ditolak," ucap Syahrul. 

Sebagai tambahan, eksekusi hukuman cambuk terhadap terpidana RN (28), pemerkosa anak di Banda Aceh terhenti pada sabetan ke-52. Ia yang divonis 175 kali cambuk  menyerah karena punggungnya mengalami luka lecet berat. Eksekusi dihentikan dan akan dilanjutkan sampai waktu yang belum ditentukan.

Adanya waktu senggang untuk tahap pemulihan yang diberikan dan bisa kembali kekediaman dikatakan Syahrul, ternyata dimanfaatkan oleh pelaku sekaligus terpidana itu. pelaku dinilai kembali melakukan tindak pidana penculikan diserta pemerkosaan terhadap anak dengan korban yang sama.

Sementara itu, kasus kekerasan seksual terhadap anak ketiga berakhir dengan SP3 terjadi di Kabupaten Pidie Jaya. Dalih yang sama dikatakan direktur LBH Banda Aceh, juga disampaikan oleh pihak kepolisian seperti kasus pertama sebelumnya, yakni dengan alasan tidak cukup bukti berupa saksi. 

"Kasus ini diberhentikan 17 Oktober 2020, dengan alasan tidak cukup bukti. Tidak ada saksi yang melihat terjadinya pemerkosaan itu," ungkap Syahrul.

6. Praperadilan akan ditempuh oleh LBH Banda Aceh

Tiga Kasus Kekerasan Seksual terhadap Anak di-SP3 Polisi AcehIlustrasi hakim di pengadilan. IDN Times/Sukma Shakti

LBH Banda Aceh sesali tindakan pihak aparat kepolisian yang tidak melanjutkan kasus kekerasan seksual terhadap anak. Terutama penghentian perekara dengan kilah tidak adanya bukti berupa saksi yang melihat langsung kejadian pemerkosaan. Seharusnya, dikatakan Syahrul, yang berhak memutuskan seseorang bersalah di mata hukum adalah hakim. Sedangkan polisi tidak mempunyai wewenang mengenai hal tersebut.

"Tugas polisi di sini seharusnya menemukan --pelaku--. Masalah alat bukti itu tugas polisi, bukan tugas korban. Kalau polisi memberikan beban dengan meminta alat bukti ke korban, tidak ada gunanya dong polisi. Bisa langsung kejaksa saja," ujarnya.

Terkait tidak ada tindak lanjut laporan terhadap seseorang yang masih menjalani proses hukum namun kembali melakukan hal serupa, dinilai LBH Banda Aceh terjadi suatu kekeliruan. Proses hukum kepada terpidana yang kembali dilaporkan semestinya tidak boleh dihentikan.

Direktur LBH Banda Aceh ini menyampaikan, proses pengambilan putusan pengadilan terhadap pelaku justru harus lebih berat lagi dibandingkan vonis hukuman yang sebelumnya dijatuhkan.

"Itu bisa kita bilang bahwa pelaku belum selesai menjalani hukumannya. Jadi seharusnya bisa dihukum ganda atau terjadi pemberatan," imbuh Syahrul.

Tiga kasus di atas merupakan secuil dari beberapa kasus kekerasan seksual terhadap anak lainnya yang tidak timbul ke permukaan atau diketahui oleh publik. Oleh karena itu, rencanaya LBH Banda Aceh akan mengajukan prapradilan untuk tiga kasus di atas agar kasus yang sama tidak berlanjut.

"Kami berencana akan melakukan praperadilan terhadap polisi. Melawan keputusan yang zalim ini. Harusnya yang menyatakan dia salah atau tidak, itu pengadilan. Tugas polisi berdasarkan petunjuk dan bukti-butki permulaan yang cukup dilimpahkan kejaksa.

7. Korban anak membutuhkan pemulihan jangka panjang

Tiga Kasus Kekerasan Seksual terhadap Anak di-SP3 Polisi AcehPinterest

Berkaca dari tiga kasus di atas, LBH Banda Aceh terkesan pesimis dengan upaya pemulihan terhadap empat korban yang telah mencoba melaporankan permasalahan namun tidak mendapatkan ruang penanganan hingga ke meja hijau. Pernyataan itu diutarakan Syahrul, karena melihat penanganan kasus yang ditanganinya tersebut dihentikan karena perspektif dari aparat penegak hukum.

"Kalau kita berharap kepada penegak hukum, untuk kepentingan penegakan hukum saja mereka belum selesai, bagaimana kita mau berharap untuk pemulihan psikis dan sosialnya. Tambah-tambah tidak punya konsep itu," tegasnya.

Sehubungan dengan itu, menurut psikolog, setiap korban kekerasan seksual membutuhkan pemulihan, terutama pada anak. Bahkan, anak diakui membutuhkan pemulihan jangka yang sangat panjang. Ketahanan diri korban juga mempengaruhi proses pemulihan.

Endang Setianingsih mengatakan, oleh karena itu, dalam hal ini suatu pencegahan pada anak sangatlah diperlukan. Orang tua maupun keluarga, harus berperan aktif dalam mengawasi dan mendidik anak. Anak diberikan pemahaman terkait empat anggota tubuh yang harus dilindungi oleh anak sendiri, yakni mulai dari mulut, dada, pantat, dan alat kelamin.

"Dalam kondisi saat ini, saya kira anak harus diajarkan batasan-batasan tentang dirinya," kata Endang.

Tidak hanya lingkungan keluarga, masyarakat juga memiliki andil besar dalam melindungi anak-anak selain dari pada peran pemerintah yang berkewajiban menghukum para predator anak tersebut dengan hukuman maksimal.

Ia mengingatkan kepada semua orang, luka fisik yang dialami korban dapat disembuhkan akan tetapi luka untuk psikis tidaklah demikian. Sebab, apa yang dialami korban akan terekam.

8. Qanun Jinayat Aceh belum menyentuh pada aspek perlindungan terhadap anak

Tiga Kasus Kekerasan Seksual terhadap Anak di-SP3 Polisi AcehEksekusi cambuk di Kota Banda Aceh (IDN Times/Saifullah)

Mahkamah Syar'iyah (MS) Aceh selama 2021 telah membuat putusan yang memvonis tiga terdakwa kasus pemerkosaan anak bebas dari jeratan hukum. Padahal ketiganya sempat divonis bersalah oleh Mahkamah Syar’iyah Jantho, Kabupaten Aceh Besar, dan dijatuhkan hukuman penjara 180-200 bulan.

Putusan awal tersebut dikarenakan semua terdakwa dari masing-masing kasus merupakan orang dekat korban, seperti ayah kandung hingga paman sendiri. Vonis sesuai sebagaimana ketentuan Pasal 46 Qanun Aceh Nomor 6 Tahun 2014 tentang Hukum Jinayat. Di pasal itu diatur setiap orang dengan sengaja melakukan jarimah pemerkosaan terhadap orang yang memiliki hubungan mahram dengannya, maka diancam dengan uqubat ta'zir cambuk maksimal 200 kali atau denda minimal 1.500 gram emas.

Meskipun demikian, Komisi Pengawasan Perlindungan Anak Aceh (KPPAA) menilai Qanun Jinayatsaat ini belum menyentuh pada aspek perlindungan terhadap anak yang menjadi korban. Bahkan anak yang menjadi kekerasan seksual sangat rentan menjadi pelaku, jika dijuntokan dengan pasal-pasal lainnya yang ada dalam qanun jinayat seperti khalwat, pengakuan zina dan zina anak.

Sedangkan dalam undang-undang perlindungan anak, Komisioner KPPAA, Ayu Ningsih mengatakan, apapun kondisi anak tetap dianggap sebagai korban, meskipun persetubuhan tersebut dilakukan tanpa ancaman kekerasan. Sebab ada perluasan unsur pidana, seperti tipu muslihat, bujuk rayu, iming-iming dan serangkaian kebohongan lainnya.

"Walaupun begitu, orang dewasa tetap akan dihukum dan anak tetap merupakan korban tindak pidana. Namun hal ini tidak ada dalam Qanun Jinayat," kata Ayu.

Qanun Hukum Jinayat Aceh juga dianggap masih belum optimal dalam hal mencegah praktik kekerasan. Aturan itu belum memberikan perlindungan kepada anak yang menjadi korban serta belum memberikan pemulihan bagi korban kekerasan seksual dan belum memberikan efek jera kepada pelaku.

9. Perkara kekerasan seksual masih disamakan dengan kejahatan umum

Tiga Kasus Kekerasan Seksual terhadap Anak di-SP3 Polisi AcehIlustrasi pelecehan seksual (IDN Times/Mardya Shakti)

Ayu menjelaskan, selama ini pembuktian kasus atau perkara kekerasan seksual, masih disamakan dengan pembuktian kejahatan pada umumnya. Padahal dalam banyak peristiwa kekerasan seksual terhadap anak kerap terjadi di ruang privat sehingga tidak tersedianya saksi dan tidak adanya bukti fisik yang secara langsung melihat mengenai terjadinya peristiwa tersebut.

"Yang tersedia hanyalah keterangan anak sebagai saksi korban, apalagi untuk memintai keterangan anak sebagai saksi korban sangatlah tidak mudah diperoleh, diperlukan cara dan metode khusus untuk dapat memperoleh keterangan dari anak yang menjadi saksi korban," jelasnya.

Terhadap jarimah pemerkosaan dalam Qanun Hukum Jinayat pun dikatakan komisioner KPPAA sangat sulit dibuktikan, karena mengatur tentang alat bukti tambahan yaitu sumpah. Orang yang mengaku diperkosa boleh bersumpah dan pada saat yang bersamaan pelaku pemerkosaan juga diberikan kesempatan untuk menyampaikan sumpah.

Jika kedua belah pihak sama-sama bersumpah dan mengingkari, maka kedua-duanya bebas dari hukuman serta korban harus mencari alat bukti lain jika ingin proses hukumnya dilanjutkan.

"Lalu bagaimana dengan kekuatan hukum sumpah anak di bawah umur? Menurut KUHAP, pasal 171 huruf a, seorang anak yang umurnya belum 15 tahun diambil keterangannya tanpa sumpah. Hal ini mengakibatkan sumpah anak tidak dapat lagi dianggap sebagai alat bukti yang sah dan tidak mempunyai kekuatan pembuktian karena tidak mempunyai syarat formil. Realitanya kebanyakan korban pemerkosaan adalah anak-anak yang masih berusia dibawah 15 tahun."

Selain itu sistem pembuktian dalam KUHAP masih membebani korban, karena masih ada pemahaman bahwa dalam kasus kekerasan seksual harus ada saksi yang melihat langsung kejadian. Hal ini kemudian menjadi beban dalam pembuktian oleh korban, termasuk juga menyediakan visum, bahkan sperma pelaku sebagai barang bukti.

"Akhirnya dengan dalih dan alasan tidak cukup bukti, mengakibatkan pelaku tidak dapat ditahan, dihentikan penyidikannya, bahkan mendapatkan vonis bebas dari pengadilan."

10. Pemangku kebijakan diminta untuk melakukan evaluasi, khususnya dua pasal krusial

Tiga Kasus Kekerasan Seksual terhadap Anak di-SP3 Polisi Acehilustrasi penegakan hukum (jagad.id)

Belum optimalnya Qanun Hukum Jinayat membuat KPPAA meminta kepada Dewan Perwakilan Rakyat Aceh (DPRA) dan Pemerintah Aceh untuk melakukan evaluasi terhadap implementasi aturan Nomor 6 Tahun 2014 tersebut. Terutama melakukan revisi atau mencabut dua pasal krusial yaitu Pasal 47 tentang pelecehan seksual terhadap anak dan Pasal 50 tentang pemerkosaan terhadap anak.

"Hal ini sangat penting dilakukan untuk menyelamatkan anak-anak Aceh dari kejahatan seksual yang semakin marak terjadi. Dukungan dan Partisipasi publiK untuk mendukung revisi Qanun Jinayat atau pencabutan dua pasal yang bermasalah dalam itu sangat diperlukan untuk masa depan anak-anak Aceh yang lebih baik," tutupnya.

Topik:

  • Arifin Al Alamudi

Berita Terkini Lainnya