Masifnya Bencana Ekologi Aceh, Pemulihan DAS Mendesak
Follow IDN Times untuk mendapatkan informasi terkini. Klik untuk follow WhatsApp Channel & Google News
Banda Aceh, IDN Times - Forum Jurnalis Lingkungan (FJL) Aceh dan Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Aceh menggelar diskusi secara daring tentang alam khususnya terkait daerah aliran sungai (DAS), pada Selasa (7/9/2021).
Mengusung tema 'Daerah Aliran Sungai Kritis, Menanti Bencana', diskusi tersebut diisi oleh sejumlah pemateri baik dari akademisi, dinas terkait, dan lembaga yang memahami isu lingkungan.
Di antaranya Kepala Balai Pengelolaan Daerah Aliran Sungai dan Hutan Lindung (BPDASHL) Krueng Aceh, Eko Nurwijayanto; Kepala Seksi Pencegahan, Badan Penanggulangan Bencana Aceh (BPBA), Yudhie Satria.
Selanjutnya, Teknik Pengairan Madya Balai Wilayah Sungai (BWS) Sumatera I Banda Aceh, Agustian; Direktur Walhi Aceh, Muhammad Nur, dan Dosen Teknik Geologi Universitas Syiah Kuala (USK), Ibnu Rusidy.
Kasus bencana ekologi di Aceh kian masif. Sejak 2018 hingga 2020 terjadi sebanyak 423 kali bencana banjir, longsor, dan bandang. Taksiran kerugian akibat bencana tersebut mencapai Rp874,1 miliar. Salah satu penyebab karena kerusakan daerah aliran sungai.
1. Dari 954 DAS, 20 di antaranya terjadi kerusakan akibat hutan yang rusak
Kepala BPDASHL Krueng Aceh, Eko Nurwijayanto mengatakan, untuk saat ini di Aceh terdapat 954 Daerah Aliran Sungai (DAS) dan 20 di antaranya terjadi kerusakan.
Di Aceh, kawasan DAS, 60 persen berada dalam kawasan hutan dan 30 persen berada di kawasan penggunaan lain. Namun, faktanya DAS yang berada di kawasan hutan pun kini rusak karena alih fungsi lahan jadi ladang perkebunan dan aktivitas tambang ilegal.
"Kerusakan hutan di hulu membuat DAS semakin cepat terdegredasi," kata Eko.
2. Perbaikan hutan bisa meminimalisir kerusakan DAS
Guna memperbaiki kerusakan, Eko mengajak para pihak untuk terlibat dalam usaha perbaikan DAS. BPDASHL Krueng Aceh setiap tahun dikatakannya, melakukan penanaman pohon di DAS yang kritis.
Akan tetapi diakuinya, laju kerusakan tidak sebanding dengan upaya pemulihan yang selama ini telah dilakukan oleh pihaknya.
"Kalau tutupan hutan ada areal sungai masih baik, tentu potensi bencana juga bisa diminimalisir, begitupun sebaliknya," sebut Eko.
3. Aceh Singkil dan Aceh Utara paling rawan bencana banjir
Teknik Pengairan Madya BWS Sumatera I Banda Aceh, Agustian menyebutkan, untuk saat ini daerah paling rawan bencana banjir bandang di Aceh itu meliputi Aceh Singkil dan Aceh Utara.
Di Aceh Utara, terdapat Sungai Jambo Aye dan di Singkil terdapat Sungai Alas. Kondisi sungai ini dalam keadaan tidak sehat sehingga berpotensi mendatangkan bencana banjir bandang.
"Itu karena perambahan hutan, ilegal logging, dan pengrusakan aliran sungai," ucap Agustian.
Agustian menambahkan beberapa sungai telah direhab dengan dibangun tanggul. Langkah ini untuk mencegah banjir luapan ke permukiman warga.
"Akan tetapi, jika kawasan hulu tidak dipulihkan usaha itu tidak akan memberikan dampak besar terhadap mitigasi," imbuhnya.
Baca Juga: Cerita Warga Aceh soal Kendurnya Prokes dan Stigma 'Di-COVID-19-kan'
4. Bencana banjir dan longsor merupakan dampak dari kerusakan hutan
Kepala Seksi Pencegahan BPBA, Yudhie Satria mengatakan, bencana ekologi seperti banjir dan longsor adalah dampak dari kerusakan daerah hulu sungai. BPBA hanya bisa membangun kesiapsiagaan pada warga dalam menghadapi bencana.
"Sebab di Aceh sendiri saat ini bencana alam berupa banjir dan tanah longsor sudah menjadi langganan," kata Yudhie.
5. Kawasan DAS perlu ditanami pohon berakar kuat
Dosen Teknik Geologi USK, Ibnu Rusidy mengatakan, beberapa faktor memicu bencana ekologi, yakni curah hujan tinggi, pembangunan di daerah rawan longsor, kawasan rawan gempa, dan kondisi lereng yang curam.
Untuk mencegah terjadi bencana seperti longsor dan banjir perlu diperkuat daya tahan tanah dengan menanam beberapa jenis pepohonan.
"Potensi longsor dan banjir bisa dihindari kalau kawasan hulu, hutan lindung ditanami berakar kuat," ujar Ibnu.
6. Faktor lain dari tingginya bencana di Aceh karena Galian C
Sementara itu, Direktur Walhi Aceh, Muhammad Nur menerangkan, penyebab lain akan tingginya bencana alam di Aceh ialah, maraknya pertambangan illegal di hulu sungai dan galian C secara serampangan.
Dia mencontohkan jembatan di Kabupaten Bireuen, ambruk karena dampak galian C di sungai tersebut.
"Pertambangan di kawasan hutan harus ditindak. Selama ini seperti ada pembiaran. Tambang ilegal maupun legal itu berdampak pada kerusakan sungai dan airnya tercemar," ujar Nur.
Baca Juga: KPPU Temukan Harga Tes COVID-19 di Aceh hingga Sumbar Melampaui HET