Anak Muda Pembawa Pelita Damai di Aceh Singkil

Mereka ingin bara api bertahun-tahun itu pupus

Konflik antar agama di Aceh Singkil bak bara dalam sekam. Berbekal pemahaman indahnya toleransi, menghormati keberagaman dan mimpi perdamaian, segelintir anak-anak muda mulai bergerak mencegah dan memadamkannya. Meski batu sandungan atas nama kepentingan elit politik dan politik identitas di depan mata. Liputan ini bagian dari program workshop dan fellowship Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Yogyakarta.

*

Priiit! Pekikan peluit menggema di Lapangan Mariam Sipoli, Rimo, Kecamatan Gunung Meriah, Kabupaten Aceh Singkil, Aceh, Rabu (27/12/2023). Laga antara tim perwakilan Kabupaten Aceh Singkil melawan Kota Subulussalam dimulai. 

Di bawah langit yang perlahan menjingga berteman awan Altostratus, penonton bersorak dari pinggir lapangan. Tutur pujian, dukungan, sumpah serapah hingga celaan dilontarkan. Membuat panas dingin atmosfer laga dari kedua tim yang sedang bertarung.  

“Woi pelanggaran itu!” celetuk penonton yang mulai gusar ketika melihat seorang dari skuad tim biru Aceh Singkil dilanggar pemain berkostum kuning hijau Subulussalam. 

Pemain Aceh Singkil itu pun terbaring sambil memegang kaki. Sementara timnya dan tim lawan saling mencari perhatian wasit untuk memastikan ada tidaknya pelanggaran.

Teriakan provokasi mulai keluar dari mulut penonton. Mereka bak mengintervensi wasit agar memberikan sanksi berat terhadap tim lawan. Namun wasit hanya mengeluarkan kartu kuning. 

Air muka penonton warga Aceh Singkil keruh menahan marah. Kalah sumringah dengan gambar-gambar wajah calon anggota legislatif (caleg) peserta Pemilihan Umum (Pemilu) 2024 yang dipasang hampir mengelilingi lapangan.

Tiba-tiba… Goool! Bola melesat masuk ke gawang Subulussalam. Usai tim Aceh Singkil memanfaatkan pelanggaran lawan lewat peluang tendangan bebas. Wajah penonton pun mendadak sumringah.

Jejak Konflik di Aceh Singkil

Anak Muda Pembawa Pelita Damai di Aceh SingkilTugu Simpang Kanan di Gampong Lipat Kajang, Kecamatan Simpang Kanan, Kabupaten Aceh Singkil, Aceh, September 2022. Warga sempat berkumpul di sini sebelum bergerak membakar Gereja HKI di Gampong Sukamakmur, Kecamatan Gunung Meriah. (IDN Times/Mhd Saifullah)

Tak sekadar untuk ajang tanding bola, Lapangan Mariam Sipoli ternyata menyimpan sejarah haru pilu. Di situlah perdamaian pertama dilakukan di Tanah Batuah -sebutan lain dari Aceh Singkil- usai konflik antara kelompok beragama Islam dengan Kristen Protestan pecah pada 1979. Sekaligus menjadi penanda, jejak konflik telah meletus hampir setengah abad lalu.

Peneliti dari Badan Penelitian, Pengembangan dan Pendidikan Latihan (Balitbang dan Diklat) Keagamaan Kementerian Agama, Haidlor Ali Ahmad menuliskannya dalam Jurnal “Resolusi Konflik Keagamaan di Aceh Singkil dalam Perspektif Budaya Dominan” pada 2016. Ia menjelaskan, konflik bermula dari penolakan masyarakat terhadap pembangunan Gereja Tuhan Indonesia (GTI) di Kecamatan Gunung Meriah. Kondisi diperkeruh dengan isu rencana kristenisasi.

Petinggi Dayah Darul Muta'allimin Tanah Merah di Kecamatan Gunung Meriah, Umma Abidin punya pandangan lain. Bahwa kecemburuan seorang muslimlah atas jabatan bendahara kecamatan yang diduduki seorang nonmuslim menjadi pemicu awal perseteruan itu.

“Bukan karena gereja dibangun, tapi bendahara camat orang Kristen. Kemudian digodok tahun 1979. Dari jabatan larinya ke agama,” ucap Umma Abidin saat ditemui IDN Times di dayahnya (pesantren), Sabtu (23/12/2023).

Isu pendirian gereja dan kecemburuan jabatan itu memicu gelombang amarah sekelompok umat Islam. Reaksi mereka berujung pembakaran bangunan milik GTI di Kecamatan Gunung Meriah. Bahkan sebagian warga terpaksa mengungsi.

Insiden yang terjadi membuat kedamaian antarumat beragama renggang. Sebelumnya, kedua kelompok umat beragama itu hidup rukun. Penganut Kristen Protestan dari jemaat Huria Kristen Indonesia (HKI) Sukamakmur, Rasmen Manik pun mengakui, masa kecilnya diwarnai saling menyambangi kediaman antara sesama Kristen Protestan dengan muslim.

“Waktu kecil, kawan muslim banyak. Seluruh daerah aku itu, kawan-kawan semua muslim. Dia sering main ke rumah, kami pun sering main ke rumahnya,” kenang Rasmen yang juga warga Gampong Sukamakmur, Kecamatan Gunung Meriah yang pernah bertemu IDN Times pada 17 September 2022 lalu.

Pertikaian redam usai tiap-tiap tokoh sepakat berdamai dan mendeklarasikan Ikrar Kerukunan Bersama pada 13 Oktober 1979. Poin penting ikrar itu adalah umat Kristen dilarang melanjutkan pendirian maupun merenovasi gereja, sebelum mendapatkan izin dari Pemerintah Daerah Tingkat II Aceh Selatan -sebelum pemekaran tahun 1999, Aceh Singkil adalah bagian dari Kabupaten Aceh Selatan-. Perizinan berdasarkan Keputusan Bersama Menteri Agama dan Menteri Dalam Negeri Nomor 1 Tahun 1969 tentang Pelaksanaan Ketertiban dan Kelancaran Pelaksanaan Pengembangan dan Ibadah Agama oleh Pemeluk-pemeluknya.

Perdamaian turut disertai ritual adat berupa peusijuek (tepung tawar) yang bermakna untuk mendinginkan. Tradisi itu biasa dilakukan untuk memohon keselamatan, ketentraman, dan kebahagiaan dalam kehidupan. 

Tidak hanya itu, perayaan perdamaian dilanjutkan dengan makan bersama di Lapangan Mariam Sipoli. Baik pemeluk Islam maupun Kristen duduk bersama menikmati acara syukuran yang diadakan.

Hampir dua dekade, pemeluk Kristen terus bertambah. Denominasi atau pembagian aliran dari agama yang dibawa oleh Isa Almasih juga bermunculan di Aceh Singkil. Mereka mendirikan beberapa gereja untuk beribadah sesuai prinsip mahzab masing-masing.

Kehadiran gereja-gereja itu dianggap melanggar perjanjian 1979. Gerakan penolakan kembali timbul disusul perusakan tempat beribadah umat Kristen pada 1995 dan 1998 di Gunung Meriah.

Kesepakatan kembali diperbaharui pada 2001 untuk mencegah konflik membesar. Hasil dari pakta itu adalah bangunan yang diberi izin hanya satu gereja dan empat undung-undung -gereja berukuran kecil-. Selebihnya, gereja tanpa izin mendirikan bangunan (IMB) harus dibongkar.

Sementara laju demografi pertumbuhan penduduk tak bisa ditahan, termasuk dari tiap-tiap jemaat umat Kristen yang tersebar di Tanah Batuah itu. Larangan mendirikan gereja baru maupun merenovasi gereja yang telah ada, berdampak pada terbatasnya kapasitas. Apalagi regulasi tumpang tindih, sehingga dinilai mempersulit para pemeluk Kristen untuk mendirikan tempat peribadatan. 

Rumusan pasal persyaratan pendirian rumah ibadah berdasarkan Peraturan Gubernur (Pergub) Aceh Nomor 25 Tahun 2007 tentang Pedoman Pendirian Rumah Ibadah bertentangan dengan Peraturan Bersama Menteri Agama dan Menteri Dalam Negeri (PBM) Nomor 9 dan 8 Tahun 2006 tentang Pedoman Pelaksanaan Tugas Kepala Daerah/Wakil Kepala Daerah Dalam Pemeliharaan Kerukunan Umat Beragama, Pemberdayaan Forum Kerukunan Umat Beragama (FKUB) dan Pendirian Rumah Ibadah.

PBM mensyaratkan jumlah pengguna rumah ibadah paling sedikit 90 orang dan mendapat dukungan 60 orang masyarakat setempat. Sedangkan, Pergub Aceh mensyaratkan jumlah pengguna 150 orang dan masyarakat lingkungan yang mendukung 120 orang. 

Kondisi tersebut menjadi alasan umat Kristen mendirikan gereja baru. Alhasil, banyak gereja tanpa izin dan tidak sesuai dengan PMB maupun Pergub Aceh, sehingga dianggap ilegal oleh masyarakat. Gejolak-gejolak kecil pun muncul pada 2006 dan Agustus 2015.

Penolakan bangunan gereja tanpa izin berlanjut dengan aksi demonstrasi yang dilakukan Pemuda Peduli Islam (PPI) pada 6 Oktober 2015. Sembari membawa keranda dan diwarnai aksi bakar ban, massa mengepung Kantor Bupati Aceh Singkil

“Massa meminta rumah ibadah ditertibkan karena tidak ada izin,” ujar Wakil Sekretaris Forum Kerukunan Umat Beragama (FKUB) Aceh Singkil, Mustafa melalui sambungan telepon.

Sementara, ultimatum pembongkaran gereja digaungkan massa yang menolak, apabila keinginan mereka tak diaminkan pemerintah. 

Tanggal 13 Oktober 2015 menjadi puncak huru hara. Ratusan pemuda mengatasnamakan “Peduli Islam” bergerak dari Gampong Lipat Kajang, Kecamatan Simpang Kanan.

Tiba di persimpangan Gampong Sukamakmur, Kecamatan Gunung Meriah, massa mendadak masuk ke lokasi Gereja HKI berada. Sembari mendengungkan penertiban rumah ibadat umat Kristen tanpa izin, gereja yang telah berdiri sejak tahun 2000 itu dibakar.

“Kami tidak tahu dari mana asal usulnya. Kata mereka (jemaat lain) yang datang ke gereja, tidak satu pun kenal orangnya,” kata Rasmen yang juga pengurus Gereja HKI.

Usai eksekusi, massa mulai surut dan kembali ke Gampong Lipat Kajang. Namun entah siapa yang mengomandoi, ratusan pemuda itu malah bergerak ke Gampong Dangguran, Kecamatan Simpang Kanan yang menjadi lokasi beribadah jemaat Gereja Kristen Protestan Pakpak Dairi (GKPPD).

Kedatangan mereka ternyata telah ditunggu umat Kristen yang menjadi mayoritas di desa itu. Benturan tak terelakkan. Seorang muslim tewas dan beberapa luka. Beruntung aparat keamanan segera melerai sehingga dapat mencegah korban jiwa lainnya jatuh lagi.

Eksekusi pembongkaran gereja -juga undung-undung- yang tidak berizin dilakukan pascakonflik 2015. Sebelumnya ada 24 gereja, kemudian dirobohkan sebanyak 10 gereja. Pemkab Aceh Singkil meminta umat Kristen memproses IMB dari 14 gereja yang tersisa. Upaya itu tidak mudah dijalankan, lagi-lagi karena terganjal aturan. Akhirnya, hanya satu gereja yang berizin.

Perkembangannya, berdasarkan Katalog Kabupaten Aceh Singkil Tahun 2023, jumlah penduduk menurut agama dianut berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS), yakni Islam 115.316 jiwa, Kristen Protestan 14.561 jiwa, Kristen Katolik 1.295 jiwa, Hindu enam jiwa, Budha satu jiwa, dan kepercayaan lainnya 244 jiwa.

Jumlah tempat peribadatan untuk masjid 153 unit, musala 170 unit, gereja Kristen Protestan lima unit, sedangkan gereja Katolik, vihara, maupun pura tidak ada. 

Minimnya bangunan tempat peribadatan selain Islam di Aceh Singkil karena persyaratan yang sulit dipenuhi nonmuslim. Qanun Aceh Nomor 4 Tahun 2016 tentang Pedoman Pemeliharaan Kerukunan Umat Beragama dan Pendirian Tempat Ibadah yang kini menjadi acuan pun memperberat persyaratan.

Pasal 14 ayat 2 mengharuskan pendirian rumah peribadatan sedikitnya harus didukung 140 orang penduduk setempat sebagai pengguna tempat ibadah serta 110 orang bukan pengguna. Bukti dukungan yang disertakan berupa kartu tanda penduduk (KTP) dan kartu keluarga (KK). 

Pendirian juga harus menyertakan rekomendasi tertulis dari keuchik (kepala desa), imuem mukim, camat, serta kantor urusan agama di kecamatan setempat. Selain itu, disertai keterangan status tanah dari Kepala Kantor Pertanahan kabupaten kota dan rencana gambar bangunan yang disahkan instansi teknis berwenang setempat.

Sementara itu, denominasi yang tersebar di Aceh Singkil kian berkembang. Ada Gereja Kristen Protestan Pakpak Dairi (GKPPD), Huria Kristen Indonesia (HKI), Jemaat Kristen Indonesia (JKI), Gereja Majelis Injil Indonesia (GMII), dan Katolik.

Anak Muda Meredam Prasangka

Anak Muda Pembawa Pelita Damai di Aceh SingkilPemuda Lintas Agama (Pelita) Aceh Singkil menggelar diskusi, Januari 2024. (Dokumentasi Pelita Aceh Singkil untuk IDN Times)

Peristiwa Oktober 2015 menyisakan trauma bagi sejumlah anak muda di Aceh Singkil. Tak terkecuali Robi Tumangger, warga Sanggaberu Silulusan, Kecamatan Gunung Meriah. Pemeluk Kristen Protestan itu masih berumur 15 tahun saat konflik meletup.

“Pertama kali Robi pernah memvonis agama muslim itu sama jahatnya,” ujar Robi (23), saat ditemui IDN Times di salah satu kafe sekitar Lapangan Mariam Sipoli, Senin (25/12/2023). Pemuda yang sehari-hari tinggal bersama neneknya itu baru saja pulang dari kediaman mamaknya (ibu) untuk merayakan Natal bersama.

Stigma itu dibawanya saat merantau ke Kota Medan, Sumatra Utara untuk kuliah pada 2020 lalu. Beruntung, selama di kota metropolitan itu, ia mendapatkan ilmu dan pemahaman baru mengenai makna tenggang rasa sesungguhnya dari sebuah kegiatan yang diselenggarakan perkumpulan Persaudaraan Lintas Agama (Pelita) Toleransi.

Iras semringah tersirat di wajahnya sembari menikmati segelas teh lemon dingin dan keripik, saat mengisahkan pengalaman berharga itu. Prasangka itu perlahan bisa ia hapus kala dirinya beserta beberapa pemuda beragama lain, termasuk Islam, bahu-membahu membersihkan sebuah masjid di Medan. Itu kali pertama baginya masuk ke rumah ibadah umat muslim tanpa label pengharaman.

Impresi positif dirasakan selama kegiatan. Perlahan juga menghapus tilikan negatif terhadap pemeluk agama Islam dari insiden delapan tahun lalu. Pengalaman itu pula yang kemudian menyadarkannya.

“Robi sadar di situ, bahwasanya tidak semuanya muslim itu sama. Nah, dari situ Robi mengambil kesimpulan, kejadian beberapa tahun silam di Aceh Singkil cukup kami salahkan pelakunya, bukan komunitas atau agamanya,” ucap pemuda yang kadang bekerja sebagai sopir lintas provinsi pengganti itu.

Robi tak sendiri. Peristiwa sewindu lalu itu turut berdampak buruk bagi sejumlah pemuda lainnya, seperti Kevin Padang (25), pemuda Kristen Protestan asal Gampong Lae Gecih, Kecamatan Simpang Kanan. Juga pemuda muslim, Abdul Dawi Bancin (25) dari Gampong Siompin, Kecamatan Suro Makmur dan Dian Saputra (24) asal Gampong Suka Damai, Kecamatan Singkil.

Ricuh pertengahan Oktober 2015 membuat hubungan pertemanan antar pemuda di sana renggang. Ingin menegur, namun segan. Seutas ucapan selamat yang biasa disampaikan kala hari besar keagamaan, hilang. Kegiatan yang sebelumnya mampu menyatukan antarumat beragama pun vakum. Khususnya di beberapa desa di Kecamatan Gunung Meriah, Simpang Kanan, Suro Makmur, dan Danau Paris. 

“Setelah kejadian 2015 itu, redup, diam. Tidak ada kegiatan termasuk bermain bola,” ucap Robi. Padahal ia sering bermain bola dengan teman muslim sebelum konflik.

Bahkan sekadar ajakan nongkrong pun tak mudah diwujudkan. Hanya menyisakan ketegangan. 

“Kami ngopi seperti ini, ya kami minder sendiri. Apalagi ketika ada kawan-kawan non (nonmuslim) yang menghindar,” ujar Dawi.

Bagi Dawi, kondisi awal pascakonflik memang tak bisa dipungkiri memunculkan kekhawatiran tiap-tiap pihak. Kesalahan dalam bertutur ditakutkan dapat memantik pertengkaran baru dari bara sebelumnya.

“Sehingga kegiatan setelah insiden itu dikurangi,” ujar pemuda berambut ikal itu.

Bagaimana pun, orang-orang dari kedua pemeluk agama yang terlibat konflik itu sama-sama saling berduka. Persaudaraan dalam suku maupun marga, meskipun menganut kepercayaan berbeda membuat mereka saling menjaga.

“Kalau ada isu liar, kami pun menjaga gimana baiknya dan tidak langsung saling memvonis salah satu agama. Apalagi kami bertetangga saling famili (bersaudara). Jadinya rasa kekeluargaan itu masih besar,” papar Dawi.

Di luar, langit di Aceh Singkil malam itu masih berpayung kelabu. Meski hujan acap kali mengguyur tanahnya selama beberapa hari belakang, namun keindahan gemerlap bintang tak kunjung terlihat.

Jeda Demi Pemilu Damai

Anak Muda Pembawa Pelita Damai di Aceh SingkilWarga menyaksikan pertandingan sepak bola di Lapangan Mariam Simpolin, Kecamatan Gunung Meriah, Kabupaten Aceh Singkil, Desember 2023. Lapangan ini tempat deklarasi perdamaian 1979 saat konflik antarumat beragama sempat terjadi di Aceh Singkil. (IDN Tiimes/Mhd Saifullah)

Upaya merajut kembali persaudaraan antarumat beragama di Aceh oleh elit pemerintahan, tokoh masyarakat dan agama juga terus dilakukan. Pada masa Penjabat Bupati Aceh Singkil, Marthunis memimpin sempat mengumpulkan para tokoh untuk menemukan titik tengah menuju kata “damai”. Istilah “aku, kamu, dia, dan mereka” dicoba untuk disatukan menjadi “kita”.

Penjabat lulusan Georgia State University di Amerika Serikat itu memimpin pertemuan di Pendapa Bupati Aceh Singkil yang dihadiri Forum Koordinasi Pimpinan Daerah (Forkopimda) setempat pada 17 Juli 2023. Pertemuan itu berpotensi melahirkan wacana kesepakatan penyelesaian izin rumah ibadah.

Sayangnya, wacana itu tak terealisasi. Empat hari kemudian, tepatnya 21 Juli 2023, Marthunis diganti Penjabat Bupati Aceh Singkil berikutnya, Azmi. Melalui audiensi tentang kerukunan beragama di Aceh Singkil pada 11 September 2023, Azmi menjelaskan, bahwa upaya penyelesaian konflik dihentikan sementara waktu. Alasannya, gerbong Pemilu 2024 dianggap lebih penting sehingga perhatian harus diutamakan pada gelaran pesta demokrasi lima tahunan tersebut.

“Begitu ganti penjabat bupati, jadi cooling down (pendinginan) menunggu pemilu selesai. Itu informasi terakhir,” kata Wakil Sekretaris FKUB Aceh Singkil, Mustafa.

Kabar jeda pembahasan upaya penyelesaian izin rumah ibadah juga dibenarkan oleh dua tokoh agama dari Islam maupun Kristen. Ustad Umma Abidin mengatakan Azmi meminta untuk menjeda pembahasan itu saat beraudiensi.

“Beliau mengatakan jeda dulu sampai selesai tahapan pemilu. Ditakutkan nanti di situ ada politik identitas,” kata Umma yang turut hadir saat audiensi.

Pembahasan akan dilanjutkan ketika sudah terpilih pejabat definitive, baik legislatif maupun eksekutif.

Bagi Pendeta Tigor Dalan L. Padang, apabila upaya itu terus dibahas pada masa pemilu seolah akan membuka potensi kejadian masa lalu terulang kembali. Walau sebenarnya, Aceh Singkil saat ini diakuinya mulai tentram.

“Saya sepakat dengan -jeda- itu. Kalau tidak, bukan hanya merugikan umat Kristen dan Islam maupun pemerintah, tapi kami semua,” ujar Pengurus Gereja Kristen Protestan Pakpak Dairi (GKPPD) Lae Gecih ini,.

Saat dikonfirmasi, Azmi menegaskan upaya untuk menyatukan pihak yang pernah bertikai tidak perlu dilanjutkan. Ia mengklaim tidak ada lagi konflik di Aceh Singkil. Suasana di Tanah Batuah dianggapnya damai. Pihak-pihak yang sempat menyuarakan perdamaian itu, dianggap Azmi tidak pernah lagi mengungkit isu tersebut.

“Tidak adapun lagi yang mau menyuarakan itu,” tukas Azmi.

Ia mengatakan tahapan upaya perdamaian akan dilakukan melalui focus group discussion (FGD) yang digelar Pemuda Lintas Agama (Pelita). Diskusi itu pun hanya memperkuat kebersamaan dan kebhinekaan, seperti melalui program untuk meningkatkan kebersamaan melalui kegiatan budaya. Tidak ada pembahasan penyelesaian izin rumah ibadah.

“Memang sudah damai, apa yang mau dibicarakan lagi dari upaya damai? Siapa lagi yang berkelahi sekarang? Tidak ada,” imbuh dia.

Was-was Politik Identitas

Anak Muda Pembawa Pelita Damai di Aceh SingkilMuda-mudi di Aceh Singkil ketika hadir di pesta pernikahan, September 2022. (IDN Times/Mhd Saifullah)

Ikatan persaudaraan dari satu karuhun (leluhur) yang sama, meski memeluk agama dan marga berbeda dalam masyarakat Aceh Singkil terbilang kuat. Saat Natal, ada warga beragama Islam yang menyambangi saudaranya yang Kristen. Sebaliknya ketika Idulfitri pun demikian. Itu berlangsung sebelum peristiwa 2015 dan saat ini.

Tak heran, beberapa orang yang ditemui IDN Times selama di Tanah Batuah itu bersepakat, bahwa permasalahan yang terjadi di sana hanya karena pendirian rumah ibadah. Selebihnya, masyarakat hidup damai dan berdampingan antarumat beragama. 

Meski demikian, kekhawatiran tetap bersemayam di hati dan pikiran masyarakat, baik kalangan orang tua maupun pemuda, setiap menjelang gelaran Pemilihan Umum (Pemilu), terutama Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada). Mereka takut politik identitas dapat memicu kembali konflik saat mendekati pesta demokrasi itu. Tak terkecuali Pemilu 2024.

Setidaknya Dian Saputra pernah mengalaminya. Saat pemilihan Calon Bupati Aceh Singkil dalam Pilkada 2017, ada empat pasangan calon yang berlaga. Ada pasangan Dulmusrid-Sazali, Putra Ariyanto-Hendri Syahputra, Safriadi-Sariman serta pasangan Yakarim Munir-Roesman Hasmy.

Keluarga Dian sempat dikucilkan tetangga karena berbeda pilihan calon bupati. Pergerakannya selalu dipantau karena dituduh terlalu gencar berkampanye. Kampanye gelap mengatasnamakan agama, menurut pemuda muslim ini, masif terjadi meski bukan dieksekusi langsung oleh calon maupun timses inti.

“Atmosfer seperti itu memang masih terasa di Aceh Singkil ini. Pilkada itu memang lebih berat,” ungkap Dian.

Pengakuan serupa diutarakan Kevin Padang. Kuatnya politik identitas di Aceh Singkil seiring temuan laporan berupa provokasi dilakukan warga dengan mengatasnamakan agama tertentu.

Pemuda Kristen Protestan ini mengaku pernah menerima pengancaman secara verbal apabila tidak memilih caleg dari agama yang sama pada Pemilu 2019. Pengancam berdalih, calon dari agama yang sama akan memperjuangkan aspirasi suara mereka di legislatif. Kevin yang masih minim pemahaman akan keberagaman, hanya bisa mengikuti saja. Kenyataannya tidak seperti harapannya.

“Tapi itu dulu, sekarang sudah tidak ada lagi,” kata Kevin.

Penjabat Bupati Aceh Singkil, Azmi menengarai dalamPemilu 2024 ini tidak ditemukan kelompok yang menggunakan agama sebagai isu untuk menarik suara calon pemilih. Meskipun beberapa tahun lalu, diakui Azmi, kejadian seperti itu kerap dimanfaatkan oleh para politisi. 

“Alhamdulillah -politik identitas Pemilu 2024- tidak ada. Saya melihat berjalan sebagaimana kami harapkan. Kondisi Aceh Singkil menjelang Pemilu sangat-sangat kondusif,” kata Azmi.

Ia menyampaikan pemerintah kabupaten beserta Forkopimda dan tokoh masyarakat telah memberikan pemahaman kepada warga untuk cerdas dalam berdemokrasi.

Edukasi Politik Identitas

Anak Muda Pembawa Pelita Damai di Aceh SingkilPemuda beserta tokoh lintas agama di Kabupaten Aceh Singkil menggelar dialog mengenai kerukunan umat beragama, November 2023. (Dokumentasi Pelita untuk IDN Times)

Robi Tumangger pun berharap kekhawatiran adanya politik identitas dalam Pemilu 2024 tak terbukti. Bila aroma konflik mulai terdeteksi, ia secara pribadi akan memberikan edukasi, terutama kepada orang-orang terdekat.

Bahwa pemilu yang baik adalah ketika tidak ada unsur paksaan untuk memilih seorang kandidat saat pesta demokrasi.

“Pemilih memiliki kebebasan untuk memilih, karena hak memilih adalah kedaulatan seseorang,” kata Robi memaparkan salah satu poin edukasinya.

Apabila memaksa orang lain untuk mengikuti pilihannya dapat mengakibatkan konflik baru. Ia pun mengingatkan untuk menghargai hak pilih orang lain.

Bagi Abdul Dawi Bancin, politik identitas bukanlah sesuatu yang tabu. Lantaran menjadi salah satu cara untuk menang atau mendapatkan sesuatu yang dikehendaki dalam politik atau kekuasaan. Asalkan, politik identitas harus disosialisasikan kepada masyarakat agar tidak digunakan untuk mendiskriminasi kaum minoritas.

“Menurut saya sah-sah saja sekelompok orang ingin pemimpinnya berasal dari golongannya, misal dari golongan marga, suku dan agama. Asalkan bukan mendiskriminasi minoritas,” kata Dawi.

Sementara menurut Ustaz Umma Abidin, politik identitas yang negatif harus dihindari. Mencari simpati dengan memanfaatkan politik identitas akan berdampak buruk bagi kualitas pembangunan.

Seperti banyak orang yang tiba-tiba berubah lebih religius, mengaku memiliki banyak saudara, dan sebagainya menjelang pemilu. Tindakan itu dilakukan hanya untuk menarik perhatian orang lain demi kepentingan tertentu.

“Artinya, berpura-pura dalam kebaikan atau kebaikan setengah-setengah yang mengajak orang seperti itu, tidak baik,” tegas Umma Abidin.

Bagi dia, pemilu adalah suatu kebutuhan. Sebab pemilu merupakan suatu proses penting untuk menentukan wakil dan pemimpin rakyat. Jika dijalankan sesuai kebutuhan, maka akan menghasilkan orang yang bagus pula.

Pendeta Protestan, Tigor Dalan L Padang juga mempunyai pendapat lain soal politik identitas dan pemilu. Tetua umat Kristen Protestan ini merasa heran terhadap orang yang siap maju sebagai peserta pemilu, tapi tidak mempersiapkan diri apabila kalah.

Kandidat yang berambisi menang namun kalah inilah, berpotensi membuat kerusuhan. Orang tersebut akan berusaha untuk menang.

“Sehingga dengan segala cara dan upaya dia, dilakukanlah agar bisa meraih kemenangan,” kata tokoh agama Kristen di Aceh Singkil itu.

Ia mengaku kerap menyampaikan kepada jemaatnya agar memilih secara demokrasi dengan memberikan suara kepada calon yang benar-benar mau membangun Aceh Singkil. Tentunya memilih yang sudah mengetahui bibit, bebet, dan bobotnya.

FKUB Aceh Singkil tidak jauh berbeda mendefinisikan politik identitas. Mustafa menyebut politik identitas menjadi buruk karena menggunakan sarana agama yang negatif untuk meraih simpati masyarakat.

Meskipun Tanah Batuah pernah bergejolak, tetapi isu politik identitas menjelang pemilu, menurut Mustafa tidak pernah bergaung. Tidak ada tim sukses calon maupun kelompok yang menggunakannya.

“Sampai hari ini masih berjalan dengan baik. Umat beragama pun kami melihat sangat terjaga keharmonisannya,” kata Mustafa.

Dia berharap pesta demokrasi menjadi momentum untuk memperkuat kerukunan dan bukan pemecah belah. Berbeda warna dan pilihan tidak bisa dikaitkan dengan rumah ibadah maupun isu agama.

“Ini kesalahan dan bisa merusak keberagaman,” imbuh Mustafa.

Caleg DPR Kabupaten Aceh Singkil dari Partai Hanura, Boas Tumangger mengaku menggunakan tim sukses dari agama yang berbeda. Meskipun sebagai seorang Kristiani, ia mengklaim juga mendapat dukungan maju sebagai caleg atas dorongan rekan-rekan muslimnya.

“Kalau timses saya 50 persen nonmuslim dan 50 persen muslim. Tidak kita pandang perbedaan,” kata Boas yang sepakat menjalankan Pemilu damai.

Ia pun tidak ingin isu-isu agama dipolitisasi pihak tertentu hanya untuk mencari suara. Ia menyarankan kepada aparat penegak hukum untuk langsung mengambil tindakan apabila melihat politisasi politik identitas.

Frida Siska Sihombing, salah seorang Caleg DPRK Aceh Singkil dari Partai Kebangkitam Bangsa (PKB) mengatakan kecil sekali potensi kampanye yang menggunakan politik identitas untuk pemilihan legislatif (pileg). Sebab konsentrasi tiap-tiap partai saat ini terpecah.

Rasa kekhawatiran baru timbul ketika pilkada nanti. Kondisi ini harus segera diantisipasi agar tidak ada politik identitas yang menguntungkan sebelah pihak. Oleh karena itu, sosialisasi sangat perlu dilakukan.

“Apalagi kalau calon-calon kita, pileg yang sekarang ini sangat menghindari politik identitas, baik itu agama maupun ras. Karena ada kekhawatiran tidak akan memilih,” kata Frida.

Di tubuh PKB sendiri, Frida mengungkapkan, tidak perlu ada kesepakatan untuk menumbuhkan rasa saling menghargai. Sebab partai yang didirikan Abdurrahman Wahid alias Gus Dur itu diklaim telah mengayomi minoritas.

Firda pun mengaku saat ini tim sukses yang turut membantunya tidak hanya berasal dari simpatisan beragama Islam saja, namun juga ada dari Kristen.

Memupus Bara dengan Toleransi

Anak Muda Pembawa Pelita Damai di Aceh SingkilPara ibu-ibu terlihat saling berbincang di tengah acara pernikahan di Kabupaten Aceh Singkil, September 2022. (IDN Times/Mhd Saifullah)

Meski sempat terlibat konflik, keempat pemuda Kristen dan Islam, baik Robi Tumengger, Kevin Padang, Abdul Dwi Bancin dan Dian Saputra bersepakat, benang merah penyebab konflik antarumat beragama di Aceh Singkil harus diputus. Setiap kelompok yang bertikai harus mengurangi ego dan mengutamakan untuk merawat persaudaraan. 

Selain itu, harus ada aturan tegas mengenai pendirian rumah ibadah. Syarat dan jumlahnya disepakati kedua pihak yang bertikai dan tidak kaku terhadap perkembangan zaman maupun pertumbuhan penduduk. 

Mengingat aturan yang ada selama ini dinilai terlalu kaku dan tidak sesuai lagi dengan pertumbuhan jumlah penduduk di Aceh Singkil, khususnya pemeluk agama Kristen.

Di sisi lain, para pemuda itu pun mengakui, hubungan antara pemeluk Islam maupun Kristen di sana mulai tampak harmonis kembali, khususnya ketika acara adat berlangsung. Masyarakat kedua agama itu saling bahu membahu tanpa perbedaan, selain soal hidangan makanan.

Namun mereka mengingatkan, penyelesaian konflik yang tak kunjung tuntas akan memunculkan beragam dugaan. Ada dugaan konflik yang terjadi bukanlah murni timbul dari masyarakat. Ada dugaan konflik itu sengaja dipelihara elit politik tertentu. Pun dugaan konflik sengaja dibangun untuk dimanfaatkan, terutama menjelang tahun-tahun politik.

Memelihara konflik bak mendiamkan bara dalam sekam. Para pemuda itu berkaca dari bentrokan yang pernah meletus Oktober 2015 silam.

“Takutnya kami ini dimanfaatkan elit-elit politik di Singkil. Jadi imbas dari konflik ya menjadi gorengan yang asik untuk meraup suara,” duga Dawi.

Lantaran itu pula, para pemuda ini ingin menciptakan perdamaian untuk mengakhiri konflik sebelum pesta demokrasi, baik pemilu maupun pilkada bergulir di tanah kelahirannya.

“Ini memang PR bersama, baik itu kalangan anak muda ataupun kaum tua,” ucap Dawi.

Keempat pemuda ini memiliki banyak ide untuk memutus benang merah konflik dan membangun kembali persaudaraan antarumat beragama.

Dawi misalnya, sejak 2017 telah menggelar kegiatan kepemudaan bersama di kampung asalnya, Gampong Siompin. Seperti memperingati Hari Kemerdekaan 17 Agustus maupun memeriahkan hari besar keagamaan dengan melibatkan pemuda Islam maupun Kristen.

“Bahkan sampai sekarang masih sering main bola bersama. Ikut turnamen juga, baik yang Kristen dan Islam, gabung dalam klubnya,” ujar Dawi.

Menyatukan persaudaraan dengan berlatar belakang satu keturunan (karuhun), yakni satu nenek moyang meski berbeda marga dan agama, menurut Dawi menjadi modal menyelesaikan konflik di Aceh Singkil. Jika telah dilakukan, maka upaya menyatukan suara untuk penyusunan regulasi pendirian rumah ibadah akan lebih mudah.

Kemudian pemahaman mengenai kerukunan hidup antarumat beragama harus gencar disosialisasikan dan dikampanyekan kepada masyarakat. Biar masyarakat tidak mudah terprovokasi dengan isu-isu mengatasnamakan agama tertentu. 

Pendekatan secara psikologi dan manusiawi melalui komunikasi yang baik dengan bertemu langsung masyarakat penyintas konflik dari kedua belah pihak, juga dinilai lebih efektif daripada hanya sekadar berdialog.

Juga melibatkan pemuda dalam upaya perdamaian, bukanlah hal terlarang. Termasuk dalam berdialog menentukan kebijakan bersama. Sebab, anak mudalah yang menentukan nasib daerahnya masa mendatang. 

“Hal seperti ini sebenarnya memang harus dilakukan, itu perlu. Bagaimana seharusnya anak muda itu menyatu dalam sebuah konsep keberagaman,” ujar Dawi yang aktif dalam berbagai organisasi.

Bagi Robi Tumangger, toleransi adalah saling mengenal, menghargai, dan menjalin kerukunan antarumat beragama. Ia sadar, diskriminasi dialami pemeluk agamanya delapan tahun silam. 

Kini ia memilih bergerak untuk membangun perdamaian. Ia tak ingin sendiri. Pengalaman pelatihan tentang toleransi keberagaman yang pernah ia dapatkan ketika di Medan, ingin disebar kepada pemuda dari berbagai agama di Aceh Singkil. Ia juga mengasah diri dengan menambah keilmuan serupa untuk memperkuat wawasan dan pemahaman tentang toleransi serta menambah relasi penanganan konflik.

Komunitas persaudaraan lintas agama pun mulai dirintis. Upayanya sederhana, bertemu serta bertukar pikiran dengan para pemuda dan membuat kegiatan bersama. Tentunya tanpa menyenggol unsur agama.

“Robi rasa, apabila tindakan itu berhasil, mampulah mempersatukan umat beragama terkhusus di sini,” harap dia yang menjadi anggota Pelita Aceh Singkil.

Berdamai dengan perbedaan antarumat beragama adalah impian terbesar bagi Robi, Dawi, Kevin, dan Dian. Meski memiliki sudut pandang tersendiri mengenai konflik, namun mereka mempunyai satu perspektif, spirit, dan niat dalam berjuang damai di tanah kelahiran. 

Kelahiran Pemuda Lintas Agama

Anak Muda Pembawa Pelita Damai di Aceh SingkilPemuda Lintas Agama (Pelita) Aceh Singkil menggelar diskusi, Januari 2024. (Dokumentasi Pelita Aceh Singkil untuk IDN Times)

Kelahiran Pemuda Lintas Agama (Pelita) telah digaungkan di Tanah Batuah sejak Januari 2023. Pembentukan komunitas yang berisi anak-anak muda itu diinisiasi FKUB Aceh Singkil untuk menjadi wadah perkumpulan kaum muda di sana.

Pelita disahkan pemerintah melalui FKUB Aceh Singkil pada 22 September 2023 menjadi mitra FKUB. Anak-anak muda dipilih karena dinilai memiliki peran strategis dalam membantu menyuarakan serta menjaga kerukunan umat beragama.

“Selama ini, kami melihat (anak muda) memang salah satu ujung tombak memberikan informasi, kemudian memberikan pendapat. Tentu peran pemuda sangat diperlukan,” kata Wakil Sekretaris FKUB Aceh Singkil, Mustafa.

Sejak dibentuk, Pelita diberi ruang untuk berdialog dan berdiskusi mengenai isu-isu kerukunan beragama. Komunitas tersebut juga berperan untuk mengumpulkan aspirasi pemuda lain lintas agama. Hasil diskusi, dialog, dan aspirasi yang dikumpulkan, selanjutnya akan diteruskan ke pemerintah kabupaten setempat.

Sementara itu, menurut Ketua Pelita Aceh Singkil, Dian Saputra, latar belakang pendirian komunitas yang kini beranggota puluhan pemuda tersebut beranjak dari berbagai kekhawatiran maupun persoalan di Aceh Singkil. 

Pertama, pemuda jarang dilibatkan dalam membicarakan kerukunan, keberagaman, maupun hal lain. Pertemuan dan pengambil keputusan kerap hanya melibatkan kaum tua. Seperti upaya perdamaian dari konflik yang pernah terjadi di Aceh Singkil.

Kedua, membentuk wadah sebagai tempat mempererat silaturahmi antarpemuda lintas agama. Wadah yang kemudian diisi sejumlah pemuda iulah yang menjadi benteng pemicu konflik.

“Gol kami dalam waktu dekat adalah memitigasi hal-hal buruk yang kemungkinan terjadi dan setidaknya kami tidak ikut,” kata Dian.

Mitigasi yang dimaksud adalah anggota Pelita bisa membentengi diri sendiri terlebih dahulu ketika ada isu liar yang dapat mengakibatkan gesekan dalam masyarakat. Anggota Pelita yang mulai paham akan keberagaman diharapkan tidak mudah terprovokasi.

Selanjutnya, salah satu target jangka panjang Pelita adalah berkolaborasi. Komunitas ini ingin membangun rasa kebersamaan antarpemuda lintas agama di Aceh Singkil tanpa memandang latar belakang.

Semisal, membuat kegiatan diskusi maupun pelatihan dengan melibatkan pemuda dari berbagai agama. Jumlah forum pemuda harus sama setiap agama agar tidak ada perbedaan.

Kemudian membangun rasa kebersamaan melalui gotong royong sehingga ketika terjadi bencana, pemuda akan langsung turun membantu tanpa memandang latar belakang agama.

“Itu tujuan jangka panjang. Meleburkan anak mudah Aceh Singkil tanpa memandang latar belakang,” kata Dian.

Tak heran, anggota Pelita beranggotakan para pemuda lintas agama. Ada yang beragama Islam, Kristen Protestan, dan Katolik. Mereka melebur dalam struktur kepengurusan agar tak ada lagi pengelompokan.

Pelita berencana menggunakan cara persuasif untuk meyakinkan para pemuda lain. Seperti duduk serta diskusi bersama untuk saling tukar pendapat dan meminta saran dari pemuda lain. 

“Saya akan berbagi pengalaman saat mendapatkan pelatihan tentang keberagaman di Medan. Termasuk gagasan-gagasan yang mendorong upaya perdamaian terlaksana,” kata Wakil Ketua Pelita Aceh Singkil, Kevin Padang yang juga aktif dalam Persekutuan Pemuda dan Pemudi Asal Aceh Singkil (Persada).

Pendeta Protestan Tigor Dalan L. Padang berharap kehadiran Pelita bakal mempermudah menyebarkan informasi mengenai pemahaman tentang keberagaman. Para pemuda yang memiliki pandangan luas akan mempermudah penyebaran pemahaman keberagaman.

Penjabat Bupati Aceh Singkil, Azmi pun mengaku turut mendukung kehadiran Pelita sebagai komunitas pemuda yang bisa menjaga perdamaian. Sebab para anak muda disebut selalu bersama dan mengaku sama, mulai dari budaya dan adat.

Para pemuda yang sering berdiskusi dan bertukar pikiran diharapkan menjadi lebih kuat dalan menangkal isu-isu perpecahan.

“Jadi kalaupun ada hasutan dari luar, tidak ada lagi pemerintah yang menghalau, melainkan mereka sendiri yang langsung. Misalnya menyampaikan tidak usah memecah belah kami,” kata Azmi.

Sementara politisi Partai Hanura, Boas Tumangger menilai kehadiran Pelita merupakan salah satu upaya menyatukan Aceh Singkil melalui generasi muda. Ia sangat mendukung kegiatan positif yang diselenggarakan Pelita dengan membaur antara satu dengan lainnya.

“Itulah harapan kita yang melalui pendekatan persuasif, mendamaikan salah satunya itu,” kata Boas.

Bagi politisi PKB, Frida Siska Sihombing, Aceh Singkil memang perlu kehadiran para pemuda yang fokus terhadap pembangunan bersama. Ia pun mendukung kehadiran Pelita di Aceh Singkil dalam upaya merajut perdamaian.

“Jadi bisa dikombinasikan mereka untuk satu persepsi, satu tujuan untuk menjaga perdamaian ini,” ujar dia.

Di luar, langit Rimo perlahan menghitam. Laga antara tim sepak bola dari Aceh Singkil melawan Subulussalam masih berlangsung di Lapangan Mariam Sipoli. Wasit sesekali melihat jam yang ada di pergelangan tangan. 

Prit! Priiiiit! Peluit panjang tanda berakhir pertandingan ditiup. Para pemain Aceh Singkil sujud syukur usai menang dengan skor 3-0 dari Subulussalam. Laga yang sempat panas selama lebih kurang 90 menit itu, lepas dengan pelukan dan jabatan tangan meski mereka berbeda ras dan agama. Begitu pun anak-anak muda Aceh Singkil, ingin bara api bertahun-tahun itu pupus. ***

Topik:

  • Arifin Al Alamudi

Berita Terkini Lainnya