Tradisi Sembahyang Tebu di Hari Kesembilan, Ini Maknanya

Medan, IDN Times - Tradisi sembahyang tebu yang selalu digelar dalam Hudaya etnis Tionghoa merupakan perayaan Imlek yang dilakukan kesembilan Imlek setiap tahunnya.
Jud Ang sebagai budayawan Tionghoa dan juga pakar metafisika muda Kota Medan menjelaskan makna dari tradisi sembahyang tebu yang sering dilakukan umat Buddha.
Menurutnya, dari tradisi ini menjadi tradisi rakyat tionghoa setiap tanggal 9 bulan pertama lunar (bulan) pada hari perayaan imlek ataupun chinese new year bagi suku Hokkien yang terpisah dan bersembunyi akibat peperangan.
"Mereka bersembunyi di hutan bambu sampai hari ke-9 karena mendengarkan keramaian dan ada petasan, mereka coba keluar, ternyata orang-orang sudah merdeka dan bersorak," ujarnya.
1. Momen spesial ini juga diperingati hari kelahiran Raja Para Dewa yaitu Yu Huang Shang Ti

Pada tanggal 9 bulan pertama ini juga memperingati momen spesial yakni, hari kelahiran Raja Para Dewa yaitu Yu Huang Shang Ti (atau yang sering disebut sebagai Thi Kong).
"Jadi suku hokkien yang bersembunyi tersebut keluar, melihat bahwa banyak rakyat sedang memuja Raja Para Dewa. Maka mereka juga menetapkan hari tersebut sebagai hari raya imlek mereka (walau sudah telat 9 hari)," jelasnya.
2. Sembahyang tebu digelar sebagai wujud untuk berterimakasih dan menghargai pohon tebu

Alasan orang hokkien menggelar sembahyang tebu dikarenakan wujud untuk berterimakasih dan menghargai pohon tebu.
"Karena mereka tertolong oleh rindangnya hutan tebu. Sehingga sulit untuk akses masuk oleh orang luar. Mereka aman di dalam dan juga memperingati kelahiran Raja para Dewa-dewi, yaitu kaisar dewa yu huang shang di (atau sering disebut Thi Kong)," jelas Jud Ang.
3. Tebu menjadi simbolik dari kecukupan atau bersyukur atas segala rezeki

Sembahyang tebu juga diambil dari pelafalan atau fonetik kata zhu ( bambu ) yang mirip dengan pelafalan zu (berkecukupan).
"Sehingga tebu menjadi simbolik dari berkecukupan atau bersyukur atas segala rezeki dan keberuntungan," tutupnya.