Duka Warga Kampung Tua Rempang: Tali Pusar Kami Tertanam di Sini

Warga tegas menolak relokasi karena proyek Rempang Eco-City

Batam, IDN Times - “Di mana bumi dipijak, Di situ langit dijunjung” peribahasa ini memiliki makna mendalam bagi masyarakat suku Melayu. Mereka sangat menjunjung tinggi adat istiadat mereka, juga atas tanah dan alam sekitar yang mereka huni.

Sikap mereka tegas atas rencana relokasi 16 kampung tua di Pulau Rempang, Kecamatan Galang, Kepulauan Riau menyusul mega proyek Rempang Eco-City berlabelkan Proyek Strategis Nasional (PSN). 

Mereka dipaksa pindah dari tanah yang mereka tempat turun-temurun sejak dari leluhur. Konon mereka sudah ada di situ sejak 1834, jauh sebelum Soekarno dan Hatta memproklamirkan kemerdekaan Indonesia. Jejak sejarah juga menyebut mereka sudah ada jauh sebelum 1834 yakni Kerajaan Riau Lingga.

Namun pembangunan yang digarap PT Makmur Elok Graha (MEG) memaksa sekitar 7.500 warga angkat kaki dari lahan seluas 7.572 hektare yang jadi denah proyek itu. Iming-iming nilai investasi Rp381 triliun hingga tahun 2080 ini disebutkan akan mendatangkan keuntungan besar untuk ekonomi Indonesia. Selain itu ada klaim soal penarikan 35 ribu lebih tenaga kerja jika proyek pabrik kaca terbesar dari perusahaan Xinyi asal China itu terbangun di Rempang.

Tapi masyarakat tak butuh hitung-hitungan di atas kertas itu. Mereka pun berjuang memertahankan hak atas tanah yang fisiknya mereka kuasai, tapi tidak dengan administrasinya. Bahkan diklaim sebagai kawasan hutan.

Ada 16 kampung tua yang terkena dampak dari pembangunan itu. Rempang Cate, Tebing Tinggi, Tanjung Kertang, Blongkeng, Monggak, Pasir Panjang, Pantai Melayu, Tanjung Kelingking, Sembulang, Dapur Enam, Tanjung Banun, Sungai Raya, Sijantung, Air Lingka, Kampung Baru dan Tanjung Pengapit.

Warga berjuang memertahankan tanahnya. Saat akan datang petugas mematok lahan, mereka tak bersedia. Jembatan Barelang IV, jadi tempat warga mengadang petugas dari BP Batam yang datang bersama aparat. Bentrokan pecah 7 September 2023 antara warga dan aparat, bahkan sampai ada tembakan gas air mata di sekitar sekolah. Dibuktikan dengan temuan Komnas HAM soal adanya selongsong gas air mata di atap salah satu sekolah di Rempang. Delapan warga ditangkap dan kemudian dijadikan tersangka.

Bentrokan pecah lagi 11 September 2023, saat warga memprotes Badan Pengusahaan (BP) Batam yang juga dipimpin Wali Kota Batam Muhammad Rudi. Mereka juga menuntut rekan mereka dibebaskan. Namun dengan alasan pengrusakan dan pembuat onar, 43 orang ditahan. 

“Kalau di dalam dada sebenarnya ada rasa marah, ada rasa sedih. Nah, kata kami orang Melayu, tembuni (tali pusar) kami sudah tertanam di sini,” ucap Husaimi dari Kepemudaan Pantai Melayu, 15 September 2023.

Duka Warga Kampung Tua Rempang: Tali Pusar Kami Tertanam di SiniSuasana di jalan Trans Barelang yang dipenuhi sejumlah spanduk (IDN Times/Indah Permata Sari)

Pantai Melayu berlokasi di Desa Rempang Cate, Kecamatan Galang, Batam, Kepulauan Riau. Wilayah ini adalah satu destinasi wisata di Kota Batam. Selain itu juga termasuk satu dari 16 kampung tua yang ditempati masyarakat lokal.

Diperkirakan sekitar 30-an rumah, dengan 60-an keluarga yang menggantungkan hidup di wilayah ini. Mereka rata-rata bermata pencarian menjadi nelayan dan berkebun.

IDN Times datang ke sana dan melihat suasana pascabentrok warga dan aparat. Di sepanjang jalan Trans Barelang, terdapat banyak spanduk. Intinya menyerukan pendaftaran relokasi. Pantai tampak sepi. Warga-warga memilih berdiam di rumah. Banyak yang memilih tidak melaut.

"Ibaratnya, jaga kampung kita yang mau diambil maling. Kami siang malam begadang karena ini, tapi Insyallah ada saja rezeki itu,” kata Husaimi.

Memang proyek relokasi ini samar bagi mereka. Gambaran hunian baru yang akan mereka tempati di Pulau Galang nanti hanya mereka lihat dari brosur-brosur sosialisasi yang dibagikan. 

"Rumahnya (yang dijanjikan) belum ada. Berarti ini sekedar janji-janji Pilkada. Sedangkan, proyek ini lama bahkan bisa sampai bertahun-tahun baru kelar rumah. Kalau hanya omongan, habis jabatan Pak Jokowi, habis jabatan Pak Rudi (Wali Kota Batam) kami mau menuntut ke siapa. Siapa yang mau tanggung jawab,” kata Husaimi.

Petugas memang gencar mengajak warga untuk mendaftar relokasi. Meskipun banyak warga tak menggubrisnya.

“Kayak (seperti) berjualan keliling, teriak pakai toa (pengeras suara). Ini yang mau daftar silakan,” ucapnya sambil memperagakan.

Husaimi tak memungkiri ada juga warga yang mau. Tapi mereka disebutnya bukan warga asli. Melainkan pendatang, ataupun hanya punya gubuk di kampung ini.

Husaimi mengatakan ini bukan persoalan ganti rugi. Bukan juga soal menolak proyek negara.

“Di sini itu tanah para leluhur dan para pejuang kami. Kami gak pernah menolak pembangunan tersebut. Orang-orang berpikiran bodoh saja kalau mau menolak kampungnya maju. Kita minta itu ada suatu tempat yang memang bagi kami sangat sakral, di mana itu tempat tembuni orangtua kami, tembuni kami, saudara kami dan lain-lain tertanam. Bagi kami tidak bisa dinilai dengan uang,” ucapnya.

Duka Warga Kampung Tua Rempang: Tali Pusar Kami Tertanam di SiniRohimah, salah satu warga Pulau Rempang (IDN Times/Indah Permata Sari)

Di tempat berbeda, keresahan yang sama diungkap Rohimah. Kelurahan Sijantung, Kecamatan Galang Baru, Kota Batam juga salah satu dari 16 kampung tua yang terancam rata dengan tanah karena mega proyek tersebut. 

“Kami ini semuanya bakal dipindah paksa. Kami merasa tidak bisa menerima dengan Pemerintah. Kami ingin tempat kami sendiri, kami tidak mau dipindahkan kemana-mana ke tempat yang lain,” ujarnya menahan tangis.

Rohimah sehari-hari selain ibu rumah tangga juga punya usaha laundri atau cuci pakaian. Ada hal yang menjadi alasan kuat mereka untuk tak pergi dari kampungnya.

“Jika kami dipaksa pindah, kebudayaan kami di sini akan hilang, harga diri dan marwah nenek moyang kami yang berjuang selama ratusan tahun lalu itu bakal hilang,” tambahnya.

Rohimah mengatakan, investasi atau pembangunan yang direncanakan pemerintah diharapkan tak menyentuh kampung tua.

“Janganlah kami yang di sini dihilangkan, mau kemana kami dipindahkan ke tempat yang baru. Bagaimana kehidupan anak cucu kami ke depannya, kalau hak kami sekarang ini diambil,” tuturnya.

Duka Warga Kampung Tua Rempang: Tali Pusar Kami Tertanam di SiniNek Cu, warga Pasir Panjang di Pulau Rempang (IDN Times/Indah Permata Sari)

Dibanding Husaimi dan Rohimah, Nek Amlah atau yang akrab disapa Nek Cu sudah lebih dulu menghuni rempang. Dia tinggal di Kelurahan Pasir Panjang, Rempang Cate, Galang, Batam.

Bayangkan saja, sang nenek ini sudah berusia 105 tahun saat ini dan sejak kecil sudah menghuni kampung ini. Artinya 30 tahun sebelum Indonesia merdeka, Nek Cu sudah ada di Rempang. Bahkan Nek Cu mengaku dia yang menanam pohon-pohon kelapa yang ada di wilayah itu.

Tentu saja, tekad Nek Cu sama seperti warga Rempang lainnya, yakn menolak pindah. “Banyak datang ke sini, minta tandatangan ke anak-anak yang belum ngasih. Aku gitu juga,” ucap Nek Cu.

Usianya memang sudah sepuh, tapi amarah terlihat jelas dari matanya. “Badan dan niat tak hendak. Cobalah kalian yang merasakan, kalau diusir dari kampung sendiri, marah tidak?” tanyanya balik.

Komisi Nasional (Komnas) Hak Azasi Manusia (HAM) yang datang ke Rempang menjadi tempat warga mengadu. Mereka selama ini merasa terancam dan tertekan. “Kami tak ingin direlokasi pak. Jangan pisahkan kami dengan kampung kami,” teriak Ibu-ibu.

Mereka merasa terancam karena sejumlah aparat datang ke rumah masyarakat. Mereka disuruh tanda tangan.

"Sekarang, aparat ini datang ke rumah-rumah. Orang tak ada, difoto, dikasih beras, nanti disuruh tanda tangan. Jadi kami tertekan, petugas ramai di atas itu nanti siang ramai berkeliaran datang ke rumah-rumah,” jelasnya.

Selama ini tim terpadu datang ke rumah masyarakat dari pintu satu ke pintu yang lain untuk memaksa daftar relokasi.

“Sementara kantor Camat sudah berubah fungsi, jadi markas Brimob yang membuat masyarakat tertekan,” ucap salah seorang warga.

Duka Warga Kampung Tua Rempang: Tali Pusar Kami Tertanam di SiniSuasana di sekolah yang terdampak tembakan gas air mata (IDN Times/Indah Permata Sari)

Dilema juga dialami seorang guru yang bertugas di salah satu sekolah di Rempang. Dia adalah seorang abdi negara. Tapi dia juga tak ingin direlokasi.

“Kami bagaikan buah simalakama. Tempat makan di pegawai, tapi tempat tinggal saya di masyarakat,” kata guru yang tak ingin disebutkan namanya itu.

Masyarakat juga sempat meminta kepada guru, agar tak berkomentar apapun jika mereka melakukan sesuatu.

“Serba salah, nak (kalau) marah tak mungkin kan. Sementara periuk nasi kita di situ, nanti kita bela masyarakat juga salah,” katanya.

Bentrok yang terjadi 7 September hingga ke lingkungan sekolah menyisakan trauma. Tidak hanya untuk orang dewasa, tapi juga anak-anak.

Salah satu murid SD Negeri 024 Galang, Salwa mengakui ia trauma akibat dampak dari tembakan gas air mata.

"(Terkena) hidungnya, sakit dada seperti ditusuk-tusuk. Tolong jangan digusur sekolah kami, kasihan warga Rempang,” harap Salwa.

Peristiwa di Rempang kemudian jadi sorotan nasional. Bahkan media internasional tak luput menyorotnya. Aksi solidaritas terjadi di berbagai provinsi. Termasuk di Jakarta.

Duka Warga Kampung Tua Rempang: Tali Pusar Kami Tertanam di SiniKonferensi pers terkait relokasi Pulau Rempang (IDN Times/Indah Permata Sari)

Presiden Joko 'Jokowi' Widodo angkat bicara. Orang nomor satu republik ini menyebut hanya persoalan komunikasi yang mampet ke masyarakat. Ia kemudian mengutus Menteri Investasi/Kepala Badan Penanaman Modal, Bahlil Lahadalia datang langsung ke Rempang dan berkomunikasi dengan warga.

Bahlil akhirnya datang pada 17 September 2023. Tak sendiri, dia ditemani Menteri Agraria dan Tata Ruang (ATR)/Badan Pertanahan Nasional Hadi Tjahjanto serta Menteri Dalam Negeri Tito Karnavian. Mereka menjanjikan penanganan Rempang dilakukan dengan soft (lembut) dan baik pascabentrok.

“Ini menciptakan lapangan pekerjaan, meningkatkan pendapatan. Masyarakat yang digeser itu akan diberikan haknya,” ucap Bahlil di Batam Marriot Hotel Harbour Bay.

Hak yang dimaksudnya adalah tanah 500 meter persegi, rumah tipe 45, dan diberi uang sampai rumah jadi, sebesar Rp1,2 juta per jiwa juga per KK. Ditambah Rp1,2 juta untuk sewa rumah bagi masyarakat yang menolak untuk pindah ke rusun. Rumah yang dimaksud dijanjikan selesai 6-7 bulan ke depan.

Disebutkan Bahlil bahwa saat ini APBD Provinsi Kepri mencapai Rp4,1 triliun, sehingga, dengan peningkatan PAD-nya besar sehingga harus di investasi.

“Masa kita kalah dengan negara tetangga,” kata Bahlil.

Bahlil mengatakan bukan tak mau memertahankan kampung di Rempang. Menurutnya dari 17 ribu hektare lahan di sana, 10 ribu hektare di antaranya kawasan hutan lindung. Artinya hanya 7 ribu ini yang bisa dibangun. 

Menurut Bahlil deadline yang diberikan untuk pengosongan hingga 28 September 2023 merupakan tanggal yang ditentukan dari awal.

Bahlil juga menjanjikan tak akan mengganggu makam leluhur. Ia mengatakan kawasan makam dipercantik, dengan dilakukan pemugaran hingga pemasanagan tembok.

"Sehingga bapak-ibu saat berziarah dapat lebih nyaman, serta makam tua, akan menjadi penanda," paparnya.

Duka Warga Kampung Tua Rempang: Tali Pusar Kami Tertanam di SiniSuasana di Pulau Rempang (IDN Times/Indah Permata Sari)

Anggota DPRD Kepulauan Riau Taba Iskandar salah satu yang cukup vokal bersuara soal kasus Rempang ini. Dia juga sempat dipanggil Polda Kepulauan Riau terkait lahan yang dimilikinya di Kelurahan Sembulang.Pada akhirnya lahan seluas 1.800 m2 itu sudah bersedia diserahkannya ke negara karena ia mengaku tak ingin lantang bersuara karena dianggap hanya untuk memertahankan lahan pribadinya itu.

Taba heran pemerintah masih mengutamakan deadline akhir bulan ini, sementara sosialisasi gagal.

"Suasana hati masyarakat sekarang resah gelisah dan ketakutan. Tanggal 28 September harus bersih. Orang sudah melakukan pengukuran, diberi deadline tanggal 28 harus clear and clean. Ada apa? kayak ada orderan tgl 28 harus bersih. Masalah ini harus dibicarakan tuntaslah," kata Taba kepada IDN Times, Kamis (14/9/2023). 

Menurutnya PSN Rempang Eco-City yang dikerjakan PT Makmur Elok Graha beda dengan izin yang dikeluarkan saat dirinya menjabat Ketua DPRD Batam. Saat itu pada tahun 2004 MEG bekerja sama dengan Pemkot  Batam dan Badan Otorita Batam (BOB) untuk menggarap proyek KWTE. 

"Sejauh mana (proyek Rempang Eco-City), saya gak tahu apa-apa. Saya wakil rakyat saja tidak tahu ada masalah ini. Tahu-tahu ada PSN, yang muncul di media, di publik seakan-akan ini sudah disetujui Taba Iskandar Ketua DPRD Batam bersama teman-temannya. Padahal kan beda. Yang saya setujui Kawasan Wisata Terpadu Ekslusif (KWTE) dan tidak jalan. Perdanya sudah tidak berlaku dan tak ada landasan hukum. sekarang proyek strategis nasional, diputuskan pusat. Itu namanya lempar batu sembunyi tangan," ungkap Taba.

Selain itu relokasi yang dimaksud juga masih belum jelas gambarannya bagi warga meski berulang kali dijelaskan. Solusi terbaik adalah melibatkan masyarakat dalam proyek itu tanpa memindahkan mereka. Pembangunan tak mesti soal penggusuran, tapi juga bisa disandingkan.

"Kenapa mesti relokasi. Proyek itu kan bisa mengintegrasikan masyarakat tempatan. Kenapa mereka harus terusir dari tanah kelahiran mereka. Kita sesama WNI. Ini republik kita. Bukankah rakyat selalu ditekankan dengan slogan NKRI harga mati, atau tidak ada NKRI-nya matinya aja untuk rakyat. Itu yang saya tidak terima," kata Taba.

Dia juga meminta aparat untuk tidak represif dalam penanganan warga yang melakukan penolakan. Dia juga meminta warga tak terpancing.

"Jadi masyarakat Rempang harus bersabar menahan diri. Kita masih berjuang. Mudah-mudahan Allah membukakan hati ke para penguasa mencari kebijakan ini. Aparat juga tolong menahan diri. Atas nama perintah undang-undang karnea deadline. Pisahkan menertibkan, menegakkan hukum dengan rasa keadilan. Bicara kamtibmas jangan masyarakat saja yang ditertibkan pemerintah juga harus tahu yang dilakukannya benar atau tidak," ucapnya.

Tapi warga Rempang kini tak sendirian berjuang. Mereka didukung kehadiran Solidaritas Nasional untuk Rempang yang kemudian membuka posko bantuan hukum untuk masyarakat Pulau Rempang di Kampung Sembulang Hulu, Kelurahan Sembulang, Kecamatan Galang, Batam mulai 21 September 2023.

Solidaritas ini terdiri dari Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI), YLBHI-LBH Pekanbaru, Eksekutif Nasional WALHI, Eksekutif Daerah WALHI Riau, LBH Mawar Saron Batam PBH Peradi Batam PP Man, Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA), Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS) dan Trend Asia. Mereka berjanji ikut berjuang bersama masyarakat Rempang. 

“Posko bantuan hukum ini terbuka untuk umum. Masyarakat bebas datang dan bisa mengadukan apapun yang mereka alami dan akan kami dampingi,” kata Direktur LBH Pekanbaru Andi.

Pengacara PBH Peradi Batam, Sopandi meminta warga untuk tidak takut untuk memperjuangkan hak mereka. "Kami tim pengacara akan membantu warga yang membutuhkan bantuan hukum," pungkasnya.

Baca Juga: Solidaritas Nasional untuk Rempang Buka Posko Bantuan Hukum

Topik:

  • Doni Hermawan

Berita Terkini Lainnya