Kisah Relawan Bencana Menerjang Bahaya, Panggilan Hati Tanpa Pamrih

Mereka pahlawan tanpa tanda jasa di lokasi bencana

Medan, IDN Times- Bencana selalu menyisakan air mata. Ada yang harus kehilangan orangtua, anak, pasangan hidup, hingga sahabat dan kerabat.

Tapi di setiap bencana selalu hadir simpati dan empati. Tak saling mengenal, bukan saudara, atau hubungan pertemanan, tapi ada saja orang-orang yang bersedia untuk berjibaku di lokasi bencana. Menerjang bahaya demi ikut membantu evakuasi hingga mendistribusikan bantuan dan menghibur para korban. Bukan untuk mengantar nyawa, tapi menyelamatkan nyawa.

Mereka hadir seperti pahlawan, di tengah suasana kalut dan duka. Mereka disebut relawan kemanusiaan. Tanpa pamrih, tanpa bayaran, tapi tulus menolong, meski harus berpeluh. Berkorban waktu, tenaga dan biaya.

Pentingnya peran relawan juga diakui Perserikatan Bangsa-bangsa (PBB). Setiap 5 Desember diperingati sebagai Hari Relawan Internasional atau International Volunteer Day dandiperingati di 80 negara di dunia. Ini adalah amanat Majelis Umum PBB pada tahun 1985.

IDN Times menyajikan kisah para relawan di lokasi bencana dari beberapa wilayah tanah air.

1. Menjadi relawan saat tsunami Aceh tak terlupakan bagi Herriansyah yang sudah 21 tahun terjun ke berbagai lokasi bencana

Kisah Relawan Bencana Menerjang Bahaya, Panggilan Hati Tanpa PamrihHerriansyah, 21 tahun menjadi relawan dalam kebencanaan dan musibah. (Saddam Husein for IDN Times)

Herriansyah seorang relawan Sumut yang terjun ke berbagai lokasi bencana. Sudah 21 tahun, Herri, sapaan akrabnya, berjibaku di lokasi bencana. 

Beberapa bencana besar seperti Tsunami Aceh 2004,  gempabumi dahsyat di Nias pada 2005. Kemudian gempa dan tsunami di Padang, Sumatra Barat pada 2009.

Selain itu, Herri juga terlibat dalam proses evakuasi kecelakaan  pesawat Mandala di Medan pada 2005, kecelakaan pesawat Hercules di Medan pada 2015 lalu dan bencana-bencana lainnya.

Tapi pengalaman saat relawan tsunami Aceh takkan pernah dilupakannya. Saat itu 26 Desember 2004, Herri baru usai pelatihan Palang Merah Indonesia (PMI) di Cibubur. Lelahnya belum hilang, tapi sebuah pesan masuk bertuliskan, “Aceh Gawat,” membuat letihnya seketika hilang. Herri langsung berangkat. Berbekal biskuit kalengan dan dua botol air mineral, Herri berangkat bersama enam anggota timnya. Mereka menumpang pesawat Hercules dari Medan dan diterbangkan ke Sibolga.

“Dari sana, kami kemudian menumpang kapal. Bersama personel TNI dan AL. Itu kapal juga bawa logistik untuk bencana. Saat itu kami tidak tahu, itu kapal mau berlabuh di mana,” kata Herri, Jumat (17/12/2021).

Ternyata kapal yang ditumpangi Herri berlabuh di Meulaboh, ibukota dari Kabupaten Aceh Barat. Herri langsung kaget melihat kondisi porak porandanya kawasan itu diterjang tsunami. “Sampai sana saya langsung terdetak, ini parah,” ungkapnya.

Hampir setiap hari, Herri dan timnya mengevakuasi jenazah. Mulai dari yang utuh hingga yang hanya bagian tubuh saja. Tidak ada rasa ngeri dalam diri mereka melihat tumpukan jenazah korban. Bagi mereka, itu sudah menjadi bagian tugas sebagai relawan.

“Kita kemudian langsung melakukan evakuasi jenazah. Kami bergabung dengan tim PMI di sana. Setiap hari evakuasi jenazah. Tidak habis-habis. Badan kami bau jenazah setiap hari,” ungkap Herri.

Begitu banyak cerita yang berkesan bagi Herri selama melakukan proses evakuasi di sana. Bahkan hingga soal-soal yang berbau mistis.

“Kami angkat jenazah pakai mobil Taft GT. Itu bukan mobil bak terbuka. Percaya gak percaya, kami bawa 15 jenazah sekali bawa. Kami susun rapi. Jenazah di dalam mobil. Kami duduk di atasnya. Itu terasa mudah setiap hari. Jadi ini saya kira cukup aneh juga. Kenapa kami rasanya banyak dimudahkan,” ungkapnya.

Cerita menarik lainnya saat melakukan evakuasi di Meulaboh, adalah saat Herri menemukan satu kaleng yang berisi perhiasan. Herri sempat kaget, karena awalnya dia mengira itu hanya kaleng biasa. Tapi dia merasa ada yang janggal, karena kaleng biskuit itu terasa berat. Saat dibuka, Herri kaget, karena isinya adalah perhiasan.Kaleng itu dia serahkan ke masjid. 

"Intinya, saat kita melakukan operasi menjadi relawan, luruskan dulu niatnya. Kita di sana untuk membantu orang yang terkena musibah. Bukan untuk aneh-aneh, apalagi mencari kesempatan dan keuntungan. Intinya adalah niat kita. Kalau niat kita bagus, insha Allah ada jalan. Ini juga mungkin yang membuat kami selalu dimudahkan,” terangnya.

Herri mulai terjun sebagai relawan sebenarnya sejak SMA Negeri 2 Medan 1990-an silam. Saat itu dia sudah tergabung di Palang  Merah Remaja (PMR).“Waktu itu saya berpikir supaya bisa ke mana-mana secara gratis. Makanya ikut PMR,” ungkapnya.

Tanpa dia sadari, dia terus menceburkan diri di dalam aktivitas relawan. “Ini menjadi seperti candu. Memang menjadi relawan itu harus dari hati. Luruskan niat ketika berada di lokasi evakuasi,” kata laki-laki 51 tahun itu.

Baca Juga: 21 Tahun Jadi Relawan, Pengalaman Berharga Herriansyah di Tsunami Aceh

2. Hambali sehari angkat sampai 7 jenazah di Semeru, Daniel jadi relawan sambil kuliah daring

Kisah Relawan Bencana Menerjang Bahaya, Panggilan Hati Tanpa PamrihRelawan mengamati kepulan asap yang berasal dari material guguran awan panas Gunung Semeru di Desa Sumber Wuluh, Lumajang, Jawa Timur, Minggu (5/12/2021). (ANTARA FOTO/Zabur Karuru)

Erupsi Gunung Semeru yang terjadi 4 Desember 2021 begitu menyentak. 48 orang meninggal dan 10 ribuan mengungsi. Relawan dari daerah setempat hingga berbagai daerah luar Lumajang terjun. Tak terkecuali Hambali, relawan lokal asal Desa Sumberwuluh, Kecamatan Candipuro Kabupaten Lumajang. Sejak pagi pukul 05.30 WIB, Hambali sudah ikut membantu mengevakuasi jenazah. Didasari rasa kemanusiaan, ia berangkat tanpa alat keamanan yang memadai. 

"Kemarin ketemu empat, sekarang tujuh. Saya sendiri yang bantu angkat. Kemarin saya angkat tiga, yang satu relawan lain," kata Hambali sepulang dari evakuasi, pukul 16.00 WIB, Senin (6/12/2021).

Sejak pagi, Hambali bergabung dengan para relawan untuk menyisir jenazah di kawasan Kampung Renteng. Ia naik motor ke atas bersama sejumlah relawan lokal lain. Meski begitu, ia selalu berkoordinasi dengan Pos Pengamatan Gunung Semeru.

"Saya selalu koordinasi, seperti tadi saat dapat informasi cuaca di atas mendung, ya harus turun," jelasnya. 

Hambali menyebut, kondisi jenazah rata-rata sudah cukup mengenaskan karena terkena abu panas. "Tadi saya angkat itu kondisinya ada yang masih panas. Kalau gak tengkurap ya telentang," ujarnya.

Hambali menyebut, dirinya mau menjadi relawan karena Desa Sumberwuluh merupakan tanah kelahirannya sendiri. "Panggilan hati saja, saya harus terlibat karena ini tanah kelahiran saya," ujarnya. "Intinya menolong," ia melanjutkan. Meski menjadi relawan, Hambali sebenarnya juga berstatus pengungsi. Saat ini, istri dan keempat anaknya sudah ia ungsikan ke tempat aman. 

Relawan di Semeru lainnya, Daniel Abdillah juga punya cerita menarik. Ia yang bertugas sebagai Ketua Korps Sukarelawan Kampus Universitas Jember  harus membagi waktu untuk menjalani aktivitas kuliah daring, sambil menjadi relawan SAR di Desa Sumbermujur, Kecamatan Candipuro.

Mahasiswa Program Studi Perencanaan Wilayah dan Kota Fakultas Teknik ini sesekali, kembali ke rumahnya untuk ikut kuliah daring. Di luar jadwal kuliah, ia kembali ke posko dan turut mencari korban.

"Yang tidak terlupakan, di lokasi Kampung Renteng, kami dan tim SAR SRU 3 menemukan jenazah balita yang kondisinya sudah tidak utuh. Juga menemukan bagian tubuh tertentu," katanya.

Baca Juga: Cerita Relawan Erupsi Gunung Semeru, Sehari Angkat 7 Jenazah

3. Susanto pernah nyaris diterkam buaya, hingga diinterogasi intejelen di Myanmar

Kisah Relawan Bencana Menerjang Bahaya, Panggilan Hati Tanpa PamrihSusanto saat berada di posko pengungsian di Myanmar. IDN Times/ dok pribadi

Menjadi seorang relawan bencana sudah menjadi jalan hidup bagi Susanto. Warga Kecamatan Ngunut, Kabupaten Tulungagung ini pernah terlibat dalam sejumlah misi bencana kemanusiaan di berbagai negara. Bahkan, dalam waktu seminggu, pria asal Jakarta ini hanya memiliki waktu dua hari saja di rumah. Sisanya digunakan untuk mengisi sejumlah kegiatan pelatihan relawan se-Indonesia.

Pengalaman pertama Susanto dalam dunia relawan berawal tahun 2004 lalu, saat terjadi bencana Tsunami di Aceh. Saat itu, melalui Lembaga Manajemen Infaq (LMI), Susanto berangkat ke Aceh untuk membantu proses evakuasi. Keinginan kuat dan kepedulian menjadi semangat Susanto untuk terjun ke lokasi bencana. Selain itu menjadi relawan dianggap sebagai jalur dakwahnya.

"Setelah itu setiap ada kejadian bencana saya pasti langsung berangkat, hampir semua bencana alam saya terlibat sebagai relawan," ujarnya, Sabtu (18/12/2021).

Tak hanya bencana alam saja, Susanto juga terlibat dalam penanganan bencana kemanusiaan di beberapa negara. Sejumlah wilayah konflik seperti Palestina, Syiria, Myanmar dan Banglades pernah dikunjunginya.

Di negara tersebut Susanto membantu menangani di shelter pengungsian. Selain itu, Susanto juga melakukan trauma healing kepada anak-anak yang menjadi korban bencana kemanusiaan. "Kita membantu mengurusi pengungsi mulai dari makanan dan kebutuhan lainnya, selain itu sempat juga kita membuatkan sekolah untuk anak di lokasi pengungsian," terangnya.

Beberapa peristiwa unik dialami oleh Susanto selama menjadi relawan. Salah satunya saat berusaha mengevakuasi korban bencana gempa bumi di Palu beberapa tahun lalu. Proses evakuasi korban saat itu diawasi oleh 4 ekor buaya yang siap menerkam. Selain itu, peristiwa yang nyaris merenggut nyawanya juga pernah dialami waktu di Myanmar.

Susanto yang sedang merekam aktivitas di sekolah pengungsi didatangi oleh intelejen Myanmar dan meminta untuk menghapus rekaman. "Kalau diancam-ancam seperti itu tidak takut saya, tapi kalau ancaman binatang masih takut, kan kalau manusia masih bisa diajak bicara, paling cukup bilang dont kill kita bisa selamat, tapi kalau binatang buas kan gak bisa," ucapnya.

Baca Juga: Mengenal Susanto, Relawan Asal Tulungagung yang Telah Keliling Dunia 

4. Bertugas di gempa Sulbar, Takdir belajar memulihkan diri dari trauma

Kisah Relawan Bencana Menerjang Bahaya, Panggilan Hati Tanpa PamrihTakdir, relawan kemanusiaan MRI-ACT Sulsel/Istimewa

Menjadi relawan juga panggilan jiwa bagi Takdir. Sejak lulus dari Fakultas Teknik Mesin Universitas Hasanuddin Makassar tahun 2020, Takdir memutuskan menjadi relawan kemanusiaan. Dia bergabung pada yayasan Aksi Cepat Tanggap (ACT).

"Saya bersedia jadi relawan karena pertama, panggilan jiwa. Kedua, di luar dari amanah lembaga, juga sudah menjadi habit setiap ada yang membutuhkan (saya) harus menjadi bagian di dalamnya," kata Takdir.

Pria 26 tahun ini sudah setahun resmi menceburkan dirinya menjadi relawan, Takdir sudah beberapa kali terjun membantu penanganan bencana alam. Baik itu evakuasi, pencarian, hingga memenuhi kebutuhan warga yang terdampak. Dia antara lain banjir bandang di Jeneponto, Sulawesi Selatan, serta gempa bumi di Sulawesi Barat.

Selama bergabung dan terjun ke lokasi bencana, dia mengaku telah menyaksikan banyak penderitaan pada korban atau masyarakat terdampak. 

"Saat di lapangan kita menghadapi berbagai macam karakter penyintas bencana, juga berbagai karakter relawan. Sehingga konsekuensinya adalah menyesuaikan dengan keadaan, baik manusianya maupun alamnya," dia menerangkan.

Takdir mengaku punya banyak pengalaman berkesan selama terjun di lokasi bencana. Salah satunya saat gempa di Sulbar. Selain turun langsung dalam proses pencarian dan evakuasi, dia juga ditugaskan sebagai penanggungjawab posko.

"Saya ditugaskan 20 hari di Sulbar sebagai Komandan Posko di Majene untuk posko induk daerah," jelasnya.

Takdir bercerita, di sana dia turut mencari dan mengangkut jenazah korban gempa dari puing reruntuhan. Selain pengalaman kelam itu, dia juga sering terharu saat berhadapan dengan penyintas.

"Saat memberikan bantuan kepada penyintas bencana dan mereka tersenyum serta terharu adalah suatu hal yang tak bisa ternilai yang kami dapatkan."

Dari bencana, Takdir juga belajar memulihkan kondisinya sendiri dari dampak trauma. Sebab trauma itu kadang menghampiri.

"Sampai beberapa hari pascapenarikan dari lokasi bencana gempa Sulbar, masih selalu menganggap berada di lokasi ketika ada getaran dirasakan. Padahal kadang itu cuma kendaraan besar yg lewat atau karena tiupan angin," ucapnya.

Syukurnya, Takdir tak pernah mendapat pengalaman buruk yang membahayakan diri dalam membantu korban terdampak. Apalagi ia kerap melengkapi diri dengan peralatan keselamatan.  "Alat-alat penting biasanya seperti helm, kacamata, kaos tangan, pakaian harus lengan panjang, dan memakai sepatu," ucapnya.

Proses evakuasi memang tak selamanya mudah. Takdir bilang, selalu saja ada hambatan atau rintangan yang mesti dilewati. "Kesulitan di lapangan biasanya jalur evakuasi kadang masih susah dilewati dan ekstrem sehingga perlu mencari jalan lain sebagai plan B-nya (rencana lain)," kata dia.

Takdir menambahkan, dengan niat yang tulus membantu sesama khususnya di lokasi bencana, tanggung jawab melaksanakan tugas tidak akan terasa berat. Dia yakin dan percaya, bahwa relawan kemanusiaan adalah jalan hidup yang dipilih untuk mendapatkan ladang pahala.

Baca Juga: Kisah Relawan Kemanusiaan Melawan Trauma di Lokasi Bencana

5. Regina pernah membantu seorang bayi yang berumur tiga hari di lokasi bencana Tsunami di Kalianda

Kisah Relawan Bencana Menerjang Bahaya, Panggilan Hati Tanpa PamrihPotret Regina saat bergerak menjadi relawan. (Instagram/@reginalopra)

Relawan memang harus mendekat ke lokasi bencana, saat orang lain menjauh. Regina Locita Pratiwi merasakan itu. Kepala Cabang Aksi Cepat Tanggap (ACT) Metro-Lampung Tengah juga merupakan salah satu dari segelintir orang yang menganggap jadi relawan itu asyik.

Regina turut serta ke Lumajang, Jawa  untuk membantu korban bencana letusan Gunung Semeru. Ia turut menyalurkan bantuan kemanusiaan berupa kebutuhan pokok dan dasar senilai Rp100 juta. Selama lima hari Regina berada di lokasi bencana sejak 12-17 Desember 2021. Regina turut mengalami beberapa momen saat banjir lahar dingin, guguran awan panas, hingga gempa susulan terjadi di Semeru.

"Paling parah daerah terdampak di Candipuro. Lokasi ini sempat ada awan panas disertai lahar dingin dan di sebagian wilayah, juga masih terkena lahar panas mengalir ke bawah," katanya.

Selama berada di lokasi bencana Gunung Semeru, Regina lebih banyak dan aktif guna menangani assesment dan distribusi bantuan. 

Regina sejak SMA memang sudah tertarik mengiktui sejumlah organisasi atau perkumpulan gerakan kemanusiaan sejak duduk di bangku SMA. Hingga akhirnya ia memfokuskan dirinya tahun 2012. Bagi Regina, ini murni panggilan hati demi bisa saling membantu dan memperdulikan antar sesama manusia.

"Saya pribadi memang dari dulu passion-nya di sana, kalau kita tidak punya jiwa kemanusiaan belum tentu orang mau. Ini panggilan hati dan ketika berada di lokasi punya rasa kepuasan tersendiri, bukan berarti senang melihat orang menderita tetapi bisa bahagia karena membantu orang lain secara langsung," jelasnya.

Salah satu momen tak terlupakan bagi Regina adalah saat tsunami menghantam Selat Sunda sehingga menerjang sejumlah lokasi di Provinsi Banten dan Lampung, khususnya Kalianda, Lampung Selatan Desember 2018. Tiga tahun berlalu, saat kembali ke Kalianda, seorang perempuan warga sekitar berterima kasih kepadanya. 

"Ketika kejadian itu saya menang intens ke sana (Kalianda) selama 2 bulan. Ibu itu bilang kalau 'mba ini dulu bayi saya, yang dibantu waktu masih berumur 3 hari itu'. Ini bukti, ternyata orang yang kita bantu itu terus mengingatkan kita," kata dia.

Kendati dari banyaknya pelajaran selama ini, Regina tak menampik pengalaman tersebut lebih meningkatkan rasa kewaspadaan dalam diri pribadi.

"Ketika orang takut, kita harus berusaha tidak takut untuk membantu orang. Ketika mereka berusaha kabur, kita harus lebih berani buat menolong mereka," tandas Regina.

Baca Juga: Kisah Regina, Relawan Lampung Bantu Korban Bencana Gunung Semeru

6. Lulu Jamaludin, membagi waktu antara menulis berita dan menjadi relawan

Lulu Jamaludin, seorang jurnalis lokal di Banten harus membagi waktunya antara mencari berita dan menjadi seorang relawan. Lulu selaku kordinator Relawan FBN telah berkecimpung menjadi relawan bencana dan pasien miskin selama belasan tahun.

Menurut Lulu, menjadi seorang relawan merupakan panggilan hati untuk membantu masyarakat yang sedang membutuhkan bantuan. Lulu bersama relawan lain selalu terjun membantu warga dengan membawa bantuan logistik dan bantuan tenaga untuk membersihkan rumah warga dan fasilitas umum yang terdampak bencana.

Ketika terjadi bencana, Lulu bersama Relawan FBN mendirikan posko bencana untuk menampung warga yang terdampak bencana serta membuka dapur umum. Tak heran jika ada bencana, Lulu akan tinggal di lokasi bencana hingga lima bulan. 

Misalnya saat banjir bandang di Lebak 2020 dan bencana tsunami di Pandeglang 2018.  "Di situ, berapa kali kita temukan sejumlah titik yang tidak tersentuh oleh aparat setempat. Contoh waktu banjir bandang di Lebak yang pertama kita datang," katanya.

"Tak dipungkiri ada juga mafia bencana ngaku korban lah, ternyata di rumahnya kaya toko sembako. Waktu tsunami kita temukan 30 posko bodong," katanya.

Untuk memaksimalkan kinerja relawan membantu masyarakat, kini Relawan FBN tengah membuat sebuah aplikasi darurat bencana yang diberi nama Tombol Bencan Banten. Aplikasi tersebut bisa diunduh di playstore.

"Ketika ditekan tombolnya tim akan langsung bergerak ke lokasi bencana. Aplikasi sudah buat tinggal launching," katanya.

Tak hanya bencana alam, Relawan FBN pun menangani bencana sosial yang dialami masyarakat. Membantu pasien miskin berobat hingga menyediakan rumah singgah dan ambulans gratis.

"Bencana sosial juga kita tangani. Susah berobat susah makan, susah sekolah dan rumah ambruk," katanya.

Baca Juga: Kisah Lulu Jamaludin, Belasan Tahun Jadi Relawan Bencana di Banten 

7. Sempat jadi lurah, Tomon pilih kembali mengabdi sebagai relawan SAR

Kisah Relawan Bencana Menerjang Bahaya, Panggilan Hati Tanpa PamrihTomon Haryo Wirosobo (kanan) saat menjalankan tugasnya menjadi relawan/ Dokumentasi istimewa

Salah satu alasan Tomon Haryo Wirosobo terjun sebagai relawan awalnya karena bergabung di organisasi pecinta alam. Ia kemudian memutuskan menjadi relawan Search and Rescue (SAR) sekitar tahun 2000.

Di beberapa bencana, ia turun langsung. Termasuk bencana gempa Yogyakarta pada tahun 2006 silam, orang hilang hingga hanyut di sungai dan Erupsi Merapi tahun 2010. Menariknya, Tomon dulunya adalah seorang lurah. 

"Saya sejak tahun 2000 jadi relawan, sampai sekarang masih aktif. Dulu sempat menjadi Lurah kemudian bergabung lagi ke relawan SAR," paparnya.

Bencana erupsi Gunung Merapi tahun 2010 adalah pengalaman tak terlupakan baginya.  Saat itu Tomon masih berusia 40 tahun. Tepat 5 Desember 2010, Merapi mengamuk tepatnya saat tengah malam ketika warga terlelap. 

"Semua berubah ketika Merapi mengubah skenarionya menjadi erupsi yang sangat dahsyat. Sebelumnya diawali guguran, tapi paling parah pada tengah malam ketika semua tidur. Begitu ada petir, gelap dan hujan, diikuti material turun, dan wilayah Cangkringan itu paling parah," ungkapnya pada Rabu (15/12/2021).

Tomon yang saat itu ditugaskan di wilayah Turi, langsung bergegas untuk mengondisikan warga. Pada saat listrik mati dan lahar mulai turun, semuanya seakan gelap tak terkendali. Bahkan hingga pagi hari, dirinya bersama relawan lainnya masih melakukan pendataan  agar semua warga dapat turun ke pengungsian.

Kemudian Tomon pindah ke wilayah Cangkringan.Ratusan orang meninggal dunia. Tomon mengungkapkan banyak korban yang terjebak di rumah saat sedang tidur. Bahkan terdapat 11 orang dalam satu rumah yang terjebak dan menjadi korban erupsi Merapi. 

"Jadi di Cangkringan itu hampir terdampak semua. Mulai dari Glagaharjp, Kepuharjo, Umbulharjo, Wukirsari, Argomulyo rata-rata kena semua. Pembangunan huntap itu dilakukan sekitar tahun 2012," katanya.

Kini Tomon sudah 20 tahun terjun sebagai relawan SAR. Tidak hanya bencana besar, ia juga selalu turut membantu pencarian orang hilang. 

Baca Juga: Panggilan Hati, Selama 20 Tahun Tomon Mengabdi Menjadi Relawan 

8. Budi Laksono, dokter dengan berbagai program kreatif di lokasi bencana dan pernah ajak anak istrinya terjun langsung

Kisah Relawan Bencana Menerjang Bahaya, Panggilan Hati Tanpa PamrihDr dokter Budi Laksono, relawan kemanusiaan dari Kota Semarang. (Dok. Dr Budi Laksono)

Menjadi seorang dokter, Budi Laksono bukan sekadar mengobati pasien sakit. Pria 58 tahun ini juga kerap terjun ke lokasi bencana. Bahkan ia selalu melahirkan ide-ide kreatif di lokasi bencana. 

Teranyar ia turut serta ke lokasi bencana erupsi Gunung Semeru di Lumajang. Dokter Budi mendirikan Yayasan Wahana Bakti yang menaungi para relawan. Berbagai program mereka buat. Seperti membangun hunian sementara (huntara), mendirikan Toko Free, melatih warga membuat bata ringan, hingga membuat stasiun air minum bergerak.

‘’Memang banyak yang diperlukan warga yang terdampak erupsi Semeru baik moril maupun materil. Untuk bantuan seperti makanan minuman sudah melimpah. Namun, yang menjadi masalah lain bagaimana mengelola bantuan itu dan membangun kembali tempat tinggal warga yang terdampak,’’ jelasnya.

Huntara menjadi tempat tinggal sementara yang membuat warga tak kedinginan. Sementara Toko Free sebagai upaya untuk mendistribusikan bantuan pakaian kepada pengungsi dengan cara yang lebih humanis.

‘’Sebab, selama ini bantuan pakaian hanya diberikan pakai karung-karung gitu. Maka, kami membuat Toko Free dengan memanfaatkan serambi rumah warga dan menggantung pakaian-pakaian tersebut. Sehingga, warga lebih mudah mengakses dan memilih apa yang mereka butuhkan, tidak lempar sana lempar sini,’’ jelas Budi.

Begitu juga dengan pengelolaan bantuan air minum kepada pengungsi dengan mobil keliling. Upaya ini agar para pengungsi bisa minum tanpa memperbanyak sampah botol plastik. Warga lokal juga dilatih membuat bata ringan pasir erupsi Semeru.

Budi turun berbekal pengalamannya sebagai anggota PMR. Beberapa pengalaman berkesannya saat bencana tsunami Aceh tahun 2004, Dokter Budi tinggal selama tiga bulan bersama pengungsi menikmati kehidupan di sana dan membangkitkan mereka untuk berdaya melalui 23 program yang digagasnya mulai dari huntara, ekonomi, pendidikan hingga keagamaan.

Kemudian, saat gempa bumi di Bantul Yogyakarta tahun 2006, Budi bahkan mengajak istri dan anak-anaknya membantu di sana.

‘’Anak saya waktu itu masih menjadi dokter kecil. Dengan pakai seragam dokter kecil ia turut melayani para pengungsi. Sampai sekarang pun ia juga selalu ikut jadi relawan membantu saya sebagai sopir sekaligus trauma healer. Sedangkan, anak saya yang lain juga kadang turut terjun sebagai farmasi dan istri saya juga berperan sebagai trauma healer,’’ jelas lelaki asal Semarang itu.

Selain terjun di lokasi bencana di dalam negeri, Budi juga pernah menjadi relawan saat ada bencana topan Haiyan di Filipina tahun 2013.

‘’Dulu saat ketika miskin saya pikir orang yang paling bahagia adalah orang kaya. Namun, sekarang ketika saya sudah hidup berkecukupan, ternyata kaya itu tidak sekadar apa yang kita miliki secara materi. Kekayaan adalah yang bisa memberikan kebahagiaan dan bisa berbagi dengan orang lain. Berbagi apa itu, ya bisa waktu, ilmu, atau materi. Namun, tujuan saya saat ini tidak hanya membuat orang lain bahagia, tapi juga membuat saya bahagia. Ini adalah pelayanan untuk diri sendiri dan jiwa saya,’’ tandasnya.

Baca Juga: Dokter Relawan Budi Laksono, Biasa Ajak Keluarga Terjun ke Lokasi Bencana

9. Kisah mistis Arindi saat selamatkan pendaki di kawah Gunung Dempo

Kisah Relawan Bencana Menerjang Bahaya, Panggilan Hati Tanpa PamrihCerita relawan kebencanaan di Sumsel dalam Proses evakuasi (IDN Times/Foto Narsum:Arindi)

Jika kalian masih ingat kecelakaan lalu lintas PO Bus Sriwijaya di liku Lematang, jelang Natal 2019 lalu yang mengakibatkan puluhan orang tewas, Arindi ada di sana. Ya, dia adalah seorang relawan asal Sumatera Selatan yang selalu terjun di setiap bencana. Pemuda 30 tahun itu ikut mengevakuasi kecelakaan itu. 

Bus yang berangkat dari Bengkulu tujuan Palembang itu terjun bebas ke jurang Liku Lematang. Korban meninggal dunia mencapai 35 orang, dan menjadi kecelakaan bus dengan jumlah terbesar di Pagar Alam.

Evakuasi memakan waktu selama tiga hari untuk memastikan semua penumpang yang jatuh ke dalam jurang berhasil dievakuasi. Baru beberapa jam evakuasi, pihaknya sudah menemukan banyak jenazah yang meninggal dunia di dalam jurang.

"Karena jurangnya sungai, kita harus berpacu waktu juga agar jenazah tidak terbawa arus. Terakhir ada jenazah yang hanyut sampai dua kilometer. Kita harus mengarungi sungai yang deras untuk mencari korban," beber dia.

Arindi juga masih mengingat saat dirinya turun ke kawah aktif gunung Dempo di Pagar Alam. Ia melakukan penyelamatan pendaki gunung yang jatuh ke area bibir kawah usai swafoto di puncak gunung setinggi 3.159 meter dari permukaan laut (MDPL).

Dirinya bergerak bersama tim SAR untuk melakukan penyelamatan. Arindi mencatat proses evakuasi harus memakan waktu tiga hari. Hari pertama evakuasi mengharuskan tim turun sekitar 150 meter ke kawah hanya untuk mengobservasi titik korban terjatuh. Timnya pun harus menambah tali tambahan 200 meter menjadi 300 meter.

"Pada hari kedua ini yang sedikit mistis, tetapi mungkin hanya perasaan saya saja. Saat saya panggil namanya (korban) sempat melihat ke saya, setelah itu 15 kali saya panggil dia sudah tidak menanggapi. Saya pikir apa dia kerasukan. Sehingga saya meminta satu orang dari puncak untuk turun menemani saya di bawah," kenang Arindi.

Korban berucap kepada para relawan jika dirinya ditemani tiga orang pendaki selama menunggu tim relawan. Padahal menurut Arindi, hanya ada korban di dalam kawah tersebut. "Setelah korban kita berikan pertolongan pertama, kita beri makan. Kita mulai ajak untuk naik. Korban menyodorkan rokok, katanya diberi teman yang bersamanya di bawah. Saya kaget secara logika tidak mungkin ada orang di bawah kawah, tapi rokoknya ada," ujar dia.

Mereka semakin kaget karena air yang dikonsumsi pendaki tersebut selama terjebak di kawah adalah air belerang. "Setelah kita lihat ternyata air belerang. Kita makin merasa mistis, karena korban bilang itu air yang diambil bersama teman-temannya selama di kawah," ungkap pria yang kini ditunjuk sebagai Ketua Balai Registrasi Gunung Merapi Dempo (Brigade) tersebut.

Arindi selalu hadir di setiap kebencanaan. Menurutnya, menjadi relawan merupakan panggilan hati. Ia merasa memiliki keahlian yang bermanfaat untuk orang banyak di saat sulit. Dari pengalamannya jadi relawan ia pun bergabung dengan BPBD Pagar Alam.

"Saya sudah akrab dengan kegiatan pecinta alam sejak belasan tahun silam. Bahkan sejak SMP mulai akrab dengan pecinta alam. Sudah banyak proses evakuasi yang saya lakukan saat terjadi kebencanaan di Sumsel. Saya pun dikontrak BPBD Pagar Alam karena merasa passion-nya di sini," ungkap Arindi.

Baca Juga: Kisah Relawan Kebencanaan Sumsel Berpacu Waktu Selamatkan Nyawa 

10. Kisah Andreanus bersama Banda Rescue Balikpapan ikut bantu evakuasi Mbah Marijan

Kisah Relawan Bencana Menerjang Bahaya, Panggilan Hati Tanpa PamrihAndreanus Pamuji saat kegiatan Latsarda 2021. (dok. Pribadi Andreanus Pamuji)

Di Balikpapan, Kalimantan Timur, Andreanus Pamuji menjadi salah satu sosok yang selalu terlibat dalam kebencanaan. Ia turut andil membentuk Banda Rescue di Balikpapan pada tahun 2008 bersama rekan-rekannya. Organisasi relawan ini terlibat dalam sederet bencana di Balikpapan seperti banjir, tanah longsor, dan kebakaran. 

"Misal banjir, kami evakuasi korban. Tanah longsor kami membantu evakuasi jika ada korban. Kalau kebakaran kami tetap turun, namun porsi kami di ring kedua dan ketiga. Jika ada korban, baru kami masuk," jelasnya. 

Apalagi tak hanya di Balikpapan, Banda juga kerap ikut serta dalam pertolongan korban bencana di luar daerah.  "Kami juga terlibat di rescue korban letusan Gunung Merapi tahun 2010. Dengan keterbatasan yang ada kami evakuasi. Termasuk bagaimana evakuasi Mbah Marijan itu," kata Andre. 

Tentu saja banyak juga suka dan duka yang dialami Andre, sapaan Andreanus, sebagai relawan bencana. Selain kejadian Merapi di 2010, ia juga terlibat dalam pertolongan korban gempa di Palu 2018. Selain itu juga saat runtuhnya jembatan Kukar tahun 2011. Ia menceritakan, saat sebelum evakuasi jembatan Kukar, ketika itu ada seorang rekannya fotografer yang sedang hunting di Tenggarong, Kabupaten Kukar. Ia ditelepon dan rekannya memberi kabar tentang jembatan yang runtuh. Ia sempat mengiranya bercanda karena memang informasi belum secepat sekarang. 

Mereka lalu turun melakukan pencarian hingga 14 hari ke lokasi bencana."Belum banyak bantuan dari luar daerah. Paling TNI, Polri, dan Basarnas. Kami juga dan beberapa relawan lain. Kami terjun langsung ke air melakukan pencarian," ungkapnya. 

Ia juga menceritakan saat melakukan pertolongan untuk korban gempa di Kota Palu, banyak terjadi kekurangan bahan makanan. Ini ia rasakan juga karena biasanya Tim Banda menginap di lokasi bencana.

Andre berharap, makin banyak anak muda yang mau terlibat dalam kegiatan sosial seperti menjadi relawan bencana. "Tidak hanya menghabiskan waktu untuk hura-hura. Ayo kita isi dengan kegiatan kemanusiaan, seperti menolong yang membutuhkan," katanya.

Sedikit kilas balik ke belakang, Andre sudah aktif menjadi relawan sejak tahun 1994, semasa ia berkuliah. Ia aktif di organisasi pecinta alam sehingga tak asing dengan rescue. Sebelum akhirnya bergabung bersama Banda yang kini sudah melebarkan sayap hingga Samarinda, Jogja, Makassar dan Papua. Saat berada di Banda, pertolongan benar-benar dilakukan secara profesional. 

"Ketika di Banda kami tidak asal menolong. Apalagi di tempat bencana. Jangan sampai kita yang mau menolong malah ditolong," katanya. 

Kini usianya 51 tahun, tak lagi muda. Namun ia masih kerap terlibat dalam operasi kebencanaan, meski tak lagi sesering dahulu.

Baca Juga: Pelopor Banda Rescue, Kumpulan Relawan Bencana dari Balikpapan 

11. Kisah Mudi mengevakuasi mayat wisatawan asing di Gunung Batur dengan menuruni kawah berkedalaman 250 meter sendirian

Kisah Relawan Bencana Menerjang Bahaya, Panggilan Hati Tanpa PamrihI Ketut Mudiada (instagram/7summitsbali)

Cerita evakuasi pendaki di kawah juga pernah dialami I Ketut Mudiada (47). Pemuda Bali ini tak pernah melupakan bagaimana harus berjam-jam sendirian di bawah kawah berkedalaman 250 meter di Gunung Batur, Kecamatan Kintamani, Kabupaten Bangli. Saat harus mengevakuasi jasad seorang wisatawan asing. Ia sudah berpengalaman mendaki, tapi jadi kali pertama baginya turun ke kawah sendirian  dengan menggunakan tali tambang.

Ketika itu 1 Maret 2010, Mudi dan temannya berangkat dengan dua orang wisatawan mendaki Gunung Batur. Mudi adalah seorang pemandu wisata di gunung itu. Ia bertemu dengan pemandu lain bernama Komang yang membawa tiga orang pendaki muda asal Swedia. Salah satu bernama Erick Daniel Peterson (25), yang akhirnya jatuh ke kawah berkedalaman 250 meter. 

Mudi lalu menghubungi Kantor Basarnas Denpasar untuk melakukan permintaan bantuan evakuasi wisatawan yang hilang di Gunung Batur. Jarak dari lokasi awal pendakian diperkirakan 1 sampai 1,5 jam. Sembari menunggu rombongan Tim SAR dari Denpasar, Mudi memutuskan harus melakukan sesuatu. Estimasi rombongan SAR baru sampai pukul 13.00 Wita, sementara kejadiannya pukul 07.30 Wita.

“Saya memimpin untuk melakukan pencarian dengan teknik yang saya dapatkan di pelatihan-pelatihan,” ungkapnya.

Mudi mengasumsikan korban jatuh ke kawah. Ia harus rappelling (menuruni ketinggian dengan menggunakan tali). Ia mendapat tali tambang yang didapat dari penjual minuman. Mudi memutuskan untuk turun ke kawah sendiri karena pemandu lain tak berani.

“Nah, sekitar jarak 100 meter turun dari tempat saya itu kelihatanlah ada orang terbaring di situ. Setelah kelihatan orang terbaring, saya sendiri ke situ turun. Nah terbaring, saya lapor ke teman di atas bahwa saya sudah lihat orang. Saya minta disediakan tali tambahan, akan saya perkirakan itu 100 meter turunnya,” jelasnya.

Wisatawan itu ditemukan sudah tak bernyawa. Kemudian satu orang personel Basarnas yang sudah tiba turun ke dasar kawah Gunung Batur membantu Mudi yang sudah sejak lama sendirian bersama jenazah pria asing itu. Mayat korban ditandu dan diikat dengan tali webbing untuk diangkat menuju ke pinggir kawah. Hal itu susah dilakukan karena tempatnya berbatu tajam dan miring.

Setelah beberapa jam dengan berbagai teknik dan tingkat kesulitan, mayat berhasil dievakuasi pukul 18.00 Wita dan sampai di bawah Gunung Batur pukul 19.30 Wita. Usai evakuasi, Mudi basah kuyup dan menahan rasa lapar. Mudi tiba di rumahnya pukul 23.30 Wita.

“Saya dari pagi belum makan. Belum makan kita. Ya karena kan pada waktu saya di bawah kan sebelum Basarnas datang itu kan ada teman mau membawa nasi turun nih ceritanya. Karena saya lapar di bawah. Baru dia rappelling 1 meter aja itu dia nggak berani. Jadi nyangkut di karung,” jelasnya.

Saat ditanya IDN Times, mengapa Mudi ketika itu nekat sendirian menuruni kawah sedalam 250 meter untuk mencari korban tanpa peralatan yang cukup? Ia mengungkapkan bahwa setiap orang memiliki kelebihan dan kekurangan yang berbeda-beda, termasuk dirinya.

“Saya orangnya jiwanya begitulah. Bukannya untuk mencari nama atau ndak. Memang itulah jiwa saya sebenarnya. Saya punya insting seperti itu. Bahwa saya mesti melakukan sesuatu jika saya bertemu sesuatu saat saya beraktivitas gitu. Tapi tetap mengondisikan tanggung jawab saya,” ungkapnya

Seringkali saat pendakian ia juga membantu orang lain, baik mereka yang pingsan, tersesat, dan mengalami kendala lainnya. Mudi mengaku selama 27 tahun menjadi pemandu naik gunung, pengalaman menuruni kawah hingga 250 meter tersebut merupakan pertama kalinya dan paling berharga.

“Saya ndak mau orang terulang jatuh ke kawah. Kami kan nggak ada program rappelling itu turun kawah. Saya bukan panjat tebing, bukan pemanjat tebing. Saya tidak punya keahlian panjat tebing. Tapi saya punya niat untuk bisa melakukan itu untuk tujuan pencarian, gitu intinya. Tapi tetap yang menjadi patokan saya adalah safety is priority,” ungkapnya.

Baca Juga: Kisah Relawan di Bali, Evakuasi Korban di Kawah Sedalam 250 Meter

12. Wisnu, difabel yang aktif bantu bencana di NTB nyaris jatuh ke jurang saat distribusikan bantuan

Kisah Relawan Bencana Menerjang Bahaya, Panggilan Hati Tanpa PamrihWisnu difabel asal Lombok aktif membantu korban bencana IDN Times/Ahmad Viqi

Mengalami keterbatasan karena kondisi fisik tak sempurna tak menghalangi Wisnu pradipta (46) untuk menjadi seorang relawan bencana. Pria asal Provinsi Nusa Tenggara Barat (NTB) ini selalu bergerak ketika mendengar ada bencana di NTB.

Meski difabel, semangat Wisnu untuk membantu korban bencana tak pernah surut. Dia bergerak mengikuti kata hatinya untuk membantu korban bencana yang membutuhkan.

Wisnu menderita penyakit bawaan saat memasuki usia 13 tahun lalu. Wisnu divonis mengalami tulang keropos dan pembengkakan pada kedua lututnya. Kedua lutut Wisnu tak berfungsi sempurna. “Saya enggak mau orang menderita seperti saya,” kata Wisnu kepada IDN Times, Selasa (14/12/2021) kemarin.

Wisnu aktif pada kegiatan-kegiatan relawan difabel yang tergabung dalam sebuah organisasi bernama Lombok Independen Difabel Indonesia (LIDI).

Salah satu pengalaman Wisnu di lokasi bencana adalah saat Lombok diguncang gempa 7,0 SR yang berpusat di Lombok Utara Agustus 2018 silam. Bersama sembilan orang relawan difabel lainnya, dia ikut melakukan pendataan korban bencana gempa di Lombok Utara dan Lombok Timur.

Usai berhasil merangkul sembilan anggota yang aktif membantu korban bencana Lombok, Wisnu kemudian berinisiatif merakit kendaraan khusus untuk orang difabel. Total kendaraan yang sudah dirakit sejak tahun 2018 sebanyak 4 unit kendaran matik.

"Itu untuk menjangkau korban yang jauh dari lokasi bencana. Yang belum tersentuh bantuan. Itu di Desa Leong Utara, Kecamatan Tanjung," kata pria kelahiran Rakam Kecamatan Kantor Lombok Timur ini.

Saat menyuplai obat-obatan di sebuah desa Terdampak bencana Gempa Lombok di atas lereng Desa Leong kata Wisnu, dia pernah mengalami insiden terjatuh dari kendaraan. Saat itu dia bersama sembilan rekannya menyuplai obat-obatan dan kebutuhan bayi korban bencana.

"Kondisi fisik ini memang menjadi tantangan karena tentu beda kan sama relawan yang non-difabel. Waktu itu juga pernah hampir jatuh ke jurang," cerita Wisnu.

Wisnu juga pernah mengalami hal lain. Saat akan membantu korban bencana Banjir dengan membawa obat-obatan di salah satu desa di Kabupaten Dompu. Malam hari berangkat dari Pelabuhan Poto Tano, motor matik yang dirakit Wisnu mengalami putus vanbelt. Insiden itu memaksa Wisnu menginap di tengah hutan di salah satu wilayah di Kabupaten Sumbawa.

Meski mengalami beberapa insiden, akhirnya dia berhasil menuju lokasi bencana. Dia kemudian memberikan bantuan kepada korban bencana di lokasi itu. Dia berusaha melakukan yang bisa dia lakukan."Tapi itu menjadi kebanggaan tersendiri. Itu tidak bisa saya lupakan," ujar Wisnu. 

Wisnu mengatakan bahwa dia tidak bisa terjun secara langsung mencari korban bencana di tengah hujan atau di tengah lumpur akibat banjir. Namun dia masih bisa membantu korban dengan memberikan sejumlah kebutuhan mereka. Sebab Wisnu yakin, meskipun bantuan yang diberikan tidak banyak, namun itu sangat berarti bagi korban bencana.

Dia berharap tidak ada bencana di NTB. Dia mengajak semua pihak untuk menjaga alam dan tidak merusaknya. Sehingga bencana seperti banjir dan longsor tidak terjadi lagi di NTB.

"Kami minta dengan sangat agar masyarakat di NTB secara umumnya menjaga lingkungan masing-masing dan tidak menyalahkan hujan. Apa yang terjadi saat ini banjir di mana-mana. Ini akibat penebangan pohon yang terlalu berlebihan. Mari menjaga lingkungan kita bersama," ujar Wisnu.

Baca Juga: Kisah Wisnu, Seorang Difabel yang Sigap Membantu saat Bencana di NTB

13. Kisah dosen akpol yang ahli tangani trauma korban

Kisah Relawan Bencana Menerjang Bahaya, Panggilan Hati Tanpa PamrihIndra Dwi Purnomo, Dosen Psikolog Unika Soegijapranata yang ahli tangani trauma korban bencana gunung berapi. (Dok Humas Polda Jateng)

Dokter tidak hanya bertugas sebagai tim medis di lokasi bencana. Tapi juga mengobati trauma. Indra Dwi Purnomo M.Psi Psikolog adalah salah seorang ahli pemulihan trauma korban bencana gunung berapi.

Ia yang punya pengalaman panjang memulihkan mental para pengungsi Gunung Merapi dan Gunung Sinabung tersebut berkata dukungan moriil antar sesama umat manusia menjadi jurus yang ampuh agar proses recovery korban bencana bisa dilakukan dengan cepat.

Menurutnya apa yang dilakukan orang-orang yang berfoto ria di jalur erupsi Semeru malah menghambat proses recovery tersebut. Orang yang gemar selfie, kata Indra juga menjadi sosok yang egois dan hanya sekedar mementingkan kebahagiannya sendiri.

"Maka saya sarankan, kita sebagai manusia yang terlahir dengan kecerdasan intelektual dan emosional mestinya bisa memakai dua hal itu. Kan kita gak tahu kalau tiba-tiba muncul lahar di situ, yang rugi malah mereka sendiri. Hentikan menonton lokasi bencana karena di situ bukan tempat wisata," tegas pelatih tim reaksi cepat PB BNPB Wilayah Barat dan Timur ini.

Menurut Indra pemulihan mental bagi korban bencana harus cepat dilakukan agar kondisi psikologis korban tidak makin parah. Misalnya pada erupsi Semeru, para korban berada pada tingkat acute stress traumatic disorder atau gangguan stres akut akibat trauma. Indra menambahkan, korban bencana biasanya rentan akan suara gemuruh atau sirine. 

"Pemulihan trauma secara cepat bisa menghindarkan mereka agar terkena gangguan stress pasca trauma. Pertolongan pertama psikologis ini dilakukan untuk menstabilkan kondisi psikologis warga terdampak bencana khususnya wanita dan anak-anak," bebernya.

"Recovery yang perlu dilakukan paling penting yaitu kita harus berusaha maksimal memberikan rasa aman bagi korban bencana agar bisa beraktivitas lagi. Jika proses itu bisa dilewati maka pemulihan mentalnya akan cepat sekali. Tapi kita musti mewaspadai jangan sampai muncul gangguan stres pasca trauma. Dan saat ini dukungan pemerintah lewat BNPB sudah sangat cepat," tambahnya.

14. Para driver ojol relawan pengawal setia ambulans agar tak terhambat kemacetan demi selamatkan nyawa

Kisah Relawan Bencana Menerjang Bahaya, Panggilan Hati Tanpa PamrihRelawan Ambulan Bandung (istimewa)

Menjadi relawan kemanusiaan memang tak hanya harus di lokasi bencana. Soalnya hal terdekat di sekitar kita bisa berubah jadi bencana. Seperti ambulans yang gagal sampai ke rumah sakit karena terhalang kemacetan lalu lintas. 

Untuk itu sejumlah driver ojek online (ojol) di Kota Bandung membentuk komunitas relawan pengawalan ambulans. Mereka melakukan pengawalan terhadap semua ambulans yang melintas di Kota Bandung untuk mendapatkan jalan cepat tanpa hambatan. Sebab, ambulans membawa pasien yang perlu mendapatkan pertolongan dan kemanusiaan.

Salah satu anggota Relawan Ambulan Kota Bandung, Iqbal Muhamad Armadan alias Babang mengatakan, masyarakat Bandung masih banyak yang belum paham dan mengerti mengenai aturan jika melihat ambulans melintas di jalan. Apalagi, ketika kondisi macet, terkadang ambulans sulit diberikan ruang untuk lewat.

"Seperti di sekitar Jalan Pasteur, itu kan macet, terkadang ambulans harus diberikan pengawalan agar pasien yang di bawa bisa mendapatkan pertolongan dengan selamat di rumah sakit," ujar Babang, Kamis (16/12/2021).

Relawan Ambulans Bandung beranggotakan kurang lebih 300 orang. Seluruhnya hampir dari ojek online (Ojol). Babang mengungkapkan, selama menjadi relawan sudah banyak cerita yang didapatkan. Tidak hanya mengawal pasien yang berada di dalam ambulans, kelompok relawan ini juga terkadang ikut mengawal jenazah.

Selain turut menyelamatkan pasien, kenangan pilu sering dilalui. Menurutnya, ada juga pasien yang akhirnya tidak mendapatkan pertolongan dan meninggal dalam kondisi perjalanan menuju rumah sakit. Tak jarang mereka harus menghadapi risiko tertabrak pengendara lain.

"Kalau mau ketabrak pasti ada, tapi kisah pahitnya pas kita ngawal ada pasien kehabisan oksigen dan kami merasa gagal karena pertolongan kurang cepat dan gimana lagi, itu kejadian saya pas di Pasteur," katanya.

Babang juga memiliki motivasi sendiri mengapa dirinya mau menjadi relawan ambulans. Ia mengatakan, salah satu anggota keluarganya pernah meninggal dalam kondisi di dalam ambulans. Dari kejadian itu ia tergerak agar peristiwa itu tidak menimpa pada keluarga lainnya.

Selain menjadi relawan pengawal ambulans yang mengantar pasien ke rumah sakit. Babang juga pernah mengawal jenazah hingga luar daerah di Jabar. "Dari Cimahi menuju Jogjakarta mengantar jenazah, itu pakai motor pulang pergi pengawalan ambulans, tanpa jalur tol," katanya.

Ia berharap, ketika ambulans lewat dengan kondisi mendesak, ada baiknya masyarakat memberikan ruang khusus agar bisa melintas dengan mudah dan pasien mendapatkan penanganan.

"Saya berharap masyarakat bisa mengerikan ketika ambulan lewat di jalanan yang macet," kata dia.

Baca Juga: Kisah Perjuangan Driver Ojol Bandung Bentuk Kelompok Relawan Ambulans

15. Salah satu yang terpenting sebelum menyelamatkan orang lain adalah keselamatan diri, relawan juga harus dibekali keahlian dan pengetahuan

Kisah Relawan Bencana Menerjang Bahaya, Panggilan Hati Tanpa PamrihEvakuasi korban banjir Samarinda oleh Relawan Banda Balikpapan. (Dok. Pribadi Andreanus Pamuji)

Seorang relawan tak semata-mata bermodalkan keinginan, namun sudah seharusnya turut dibekali kondisi fisik prima serta kemampuan sesuai bidang masing-masing. Mulai dari bidang rescue, medis, psikolog, logistik, assesment dan lainnya. 

Hal itu amat penting disadari dan dikuasai seorang relawan, sehingga dapat benar-benar bermanfaat tatkala diterjunkan langsung ke medan bencana.

"Jangan sampai ketika di sana, justru relawan tersebut malah menjadi korban dan harus ikut dievakuasi. Intinya, jangan jadikan alasan menyelamatkan korban untuk jadi korban," beber Regina dari Lampung.

Selain itu, ia turut menginginkan sejatinya menjadi relawan punya kesulitan dan tantangan. Itu lantaran masing-masing lokasi bencana memiliki kondisi dan situasi berbeda-beda. "Jangan pernah angap pukul rata semua bencana sama, karena tiap daerah ada cerita sendiri-sendiri," lanjut Regina.

Relawan tak hanya hadir saat kecelakaan di gunung, namun membantu proses evakuasi banjir, tenggelam di sungai, kebakaran, hingga kecelakaan di jurang.Dokter Budi Laksono dari Jawa Tengah menyebut setiap medan berbeda-beda. Persiapan untuk terlibat dalam setiap evakuasi tidak pernah sama. Dirinya harus berjibaku dengan kondisi alam yang ganas untuk menyelamatkan orang.

"Setidaknya setiap relawan memerlukan tali webbing pribadi 10 meter. Bisa digunakan untuk pengikat badan hingga membuat tanduh evakuasi. Selebihnya, perlengkapan pribadi seperti jas hujan, sepatu, dan peralatan masak," ungkap  Dokter Budi.

Dalam proses evakuasi, dirinya tak sendiri. Apalagi medan yang ditempuh begitu berat. Menurutnya, proses evakuasi akan memakan waktu panjang jika medan yang ditempuh jauh dan sulit dijangkau.

Tak hanya medan, dirinya harus memperhitungkan waktu evakuasi agar berjalan dengan cepat. Mereka yang selamat dalam evakuasi kerap dalam kondisi yang lemah dan membutuhkan pertolongan cepat.

"Ini suka dukanya. Kalau di jurang atau sungai yang sulit dalam proses evakuasi jenazah, kita harus memikirkan bagaimana jenazah sampai ke atas. Ini hanya bisa dilakukan lewat kerja sama tim," jelas dia.

Evakuasi kecelakaan pendaki gunung pun tak jauh berbeda. Jika sang pendaki selamat, dirinya akan mempercepat langkah agar sampai di bawah dengan cepat.

"Karena di gunung itu kita kerap terjebak badai. Kalau pendaki ditemukan meninggal dunia, maka kita memilih berteduh terlebih dahulu hingga cuaca membaik. Sedangkan jika selamat, badai pun harus kita tembus dengan cepat. Kita berbicara nyawa," jelas dia.

Sementara menurut Andreanus dari Banda Rescure, relawan tak hanya soal kemauan untuk menolong. Tapi sangat diperlukan keahlian. Relawan Banda dengan masing-masing keahlian ditugaskan sesuai kemampuan masing-masing. 

Menurutnya, banyak sebenarnya orang yang ingin membantu atau menjadi relawan, namun tak memiliki wadah. Sebenarnya tak hanya yang memiliki keahlian, mereka yang memiliki niat untuk membantu pun sudah cukup. Pada dasarnya, keahlian para anggota ini malah bisa jadi nilai plus.

Sementara Susanto dari Jawa Timur menyebut terdapat 26 kecakapan yang harus dimiliki oleh relawan. Diantaranya perencanaan, logistik, pencarian dan penyelamatan serta pengelolaan posko. Susanto sendiri terus meningkatkat kecakapan yang dimilikinya melalui sejumlah pelatihan. "Menjadi seorang relawan harus ada ilmunya," tutur Susanto.

Baca Juga: Cerita Pilu Relawan Erupsi Gunung Semeru Temukan Jenazah Tak Utuh

Itulah sederet kisah para relawan kemanusiaan di berbagai lokasi bencana tanah air. Mereka hanya segelintir dari banyak orang yang mengabdikan dirinya untuk membantu orang yang tertimpa musibah. Viva la Volunteer!

Artikel ini merupakan kolaborasi dari hyperlocal IDN Times yang ditulis oleh Bramanta Putra, Sahrul Ramadan, Tama Wiguna, Siti Umaiyah, Anggun Puspitoningrum, Rangga Erfizal, Prayugo Utomo, Mohamad Ulil Albab, Azzis Zulkhairil, Ayu Afria Ulita Ermalia, Fatmawati, Ahmad Viqi, Khaerul Anwar, Fariz Fardianto

Topik:

  • Doni Hermawan

Berita Terkini Lainnya