Menilik Perusahaan di Berbagai Daerah yang Limbahnya Bikin Resah

Pemerintah bergerak lambat, masyarakat menggugat

Pada tahun 2021, Indonesia menghasilkan timbulan limbah B3 mencapai 60 juta ton yang banyak berasal dari sektor manufaktur.

Berdasarkan data Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK), sebanyak 2.897 industri sektor manufaktur menghasilkan limbah B3 pada tahun lalu. 

Kemudian, sektor prasarana menghasilkan limbah B3 yang berasal dari 2.406 industri. Lalu, sebanyak 2.103 industri sektor pertanian (agroindustri) menghasilkan limbah B3, dan sektor pertambangan energi dan migas menghasilkan limbah B3 sebanyak 947 industri.

KLHK mencatat dari 60 juta ton limbah B3 yang dihasilkan. Kata B3 merupakan akronim dari Bahan Beracun dan Berbahaya. 

Berdasarkan sumbernya, limbah B3 dibedakan menjadi 3 jenis yaitu Limbah B3 dari sumber tidak spesifik, yaitu tidak berasal dari proses utama, melainkan dari kegiatan pemeliharaan alat, inhibitor korosi, pelarutan kerak, pencucian, pengemasan dan lain-lain.

Limbah B3 dari sumber spesifik berasal dari proses suatu industri (kegiatan utama).
Limbah B3 dari sumber lain, yaitu berasal dari sumber yang tidak diduga, misalnya produk kedaluwarsa, sisa kemasan, tumpahan, dan buangan produk yang tidak memenuhi spesifikasi.

Melalui liputan kolaborasi, IDN Times merangkum sejumlah aktivitas perusahaan besar maupun kecil di berbagai daerah di Indonesia yang limbahnya pernah dipermasalahkan masyarakat. Namun hingga kini tetap eksis dan beroperasi.

Yuk simak:

1. Sungai Cirarab Tangerang bau oli busuk dan bikin mual

Menilik Perusahaan di Berbagai Daerah yang Limbahnya Bikin ResahIDN Times/Candra Irawan

Warga di Kampung Sarakan, Desa Pisangan Jaya, Kecamatan Sepatan, Kabupaten Tangerang mengeluhkan bau yang muncul dri Sungai Cirarab, dekat pemukiman mereka. Bau itu membuat warga pusing dan mual. 

"Bau oli yang busuk, kami berharap pemerintah bisa bergerak cepat," kata salah satu warga Pisangan yang tak disebutkan namanya, seperti dikutip Antara, Jumat (4/3/2022). 

Warga lainnya, Deden mengatakan, bau selalu tercium dari sungai itu memang seperti bau oli. "Bau oli yang sudah lama, dan aromanya itu membuat mual dan pusing," kata Deden yang tinggal di Gren Permata Sepatan.

Hal yang sama dikatakan Daman Huri warga kampung Sarakan, bahwa aroma bau oli itu sudah sejak dua bulan terakhir sering muncul.

Kepala Desa Pisangan Jaya, Muhamad Hotib memgaku, banyak aduan masyarakat yang mengeluhkan aroma bau oli tersebut. "Bahkan, semalam banyak sekali warga yang datang dan menelpon saya karena mengeluhkan aroma itu," kata dia. 

Warga yang mengeluh, imbuhnya, datang dari Kampung Sarakan, Perumahan Peramata Sepatan, Geriya Sepatan, Kampung Bubulak, dan Kampung Bendungan, Desa Pisangan Jaya.

Ia pun meminta, Pemerintah Kabupaten Tangerang bisa segera mengecek kondisi aliran sungai. Dan apabila nantinya ada yang terbukti melakukan pencemaran limbah, dia berharap pihak yang tidak bertanggung jawab diberi sanksi. 

"Saya rasa aroma itu ditimbulkan dari Sungai Cirarab, kemungkinan limbahnya dibuang ke sana," kata dia.

Dinas Lingkungan Hidup dan Kebersihan (DLHK) Kabupaten Tangerang lansung memantau adanya limbah oli di Sungai Cirarab.

"Tindak lanjut tim DLHK terhadap laporan masyarakat adanya aroma bau dan oli yang berceceran dilaksanakan pada Senin 7 Maret 2022, didampingi Kades Pisangan Jaya, Sepatan beserta jajaran," ujar Ahmad Taufik, Kepala DLHK Kabupaten Tangerang, Rabu (9/3/2022).

Taufik mengungkapkan, limbah yang menyebabkan Sungai Cirarab berbau oli busuk berasal dari PT Cheng Kai Lie di kawasan Akong. Saat diperiksa petugas, pabrik sudah dalam keadaan bersih. 

"Bahkan Pak Kades juga sampai heran pabrik tersebut sudah baik dan lebih bersih," ujar Taufik. 

Taufik menjelaskan, pabrik tersebut telah mendapatkan teguran dan sanksi administrasi dari Kementerian Lingkungan Hidup. Sehingga, kemungkinan pabrik telah memperbaiki pengolahan limbahnya.

"Jadi Kementerian LHK meminta pabrik tersebut memperbaiki beberapa poin, salah satunya perihal pembuangan limbah, seperti yang kita cek, pabrik sudah melakukan perbaikan-perbaikan," jelasnya.

Kini, pihaknya pabrik pun telah mengirimkan laporan terkait perbaikan yang telah dilakukannya.

"Saat ini tinggal menunggu evaluasi dari Kementerian LHK," tuturnya.

Baca Juga: Cemari Sungai Cirarab, Pabrik Oli  Kena Tegur Kementerian LHK

2. Limbah warna hitam pekat menyerupai minyak oli di Pesisir Panjang Bandar Lampung

Menilik Perusahaan di Berbagai Daerah yang Limbahnya Bikin ResahPetugas memeriksa temuan limbah di bibir Pantai Sebalang (IDN Times/Tama Yudha Wiguna)

Temuan diduga limbah warna hitam pekat menyerupai minyak oli juga ditemukan di Pesisir Panjang tepatnya di Jalan Teluk Malaka, Kelurahan Panjang Selatan, Kecamatan Panjang, Kota Bandar Lampung.

Pelaku pencemaran lingkungan tersebut diduga dilakukan oleh 'perusahaan plat merah'. Berdasarkan catatan Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Eksekutif Daerah Lampung kejahatan serius ini, setidaknya sudah terjadi 3 tahun berturut-turut tepatnya 2020, 2021, dan 2022.

Teranyar limbah menyerupai oli itu ditemukan warga pertama kali, Jumat (4/3/2022) dengan sebaran di bibir pantai kurang lebih sepanjangan 2 Kilometer (Km) dan luas pencemaran dari tepian ke tengah laut sekitar 200 meter.

Direktur Walhi Lampung, Irfan Tri Musri mengatakan, kejahatan lingkungan berupa pencemaran limbah mirip oli di sejumlah wilayah Pesisir Laut Lampung tercatat telah berlangsung sejak 2020, 2021, dan saat ini 2022.

Kasus 2021 menurutnya, pencemaran lingkungan di pesisir pantai terjadi di Perairan Teluk Lampung, Teluk Semaka, dan Pantai Barat Lampung. Total material limbah berhasil diangkut sebanyak 18,5 barel.

Sementara kasus teranyar 2022 dalam hasil tinjauan lapangan Walhi Lampung pencemaran serupa juga ditemukan pada titik koordinat 5°28'50.3"S 105°19'09.8"E di RT 09 Kampung Rawa Laut, Panjang, Bandar Lampung.

Menurutnya, di dekat lokasi temuan limbah di Pantai Panjang itu juga berdekatan dengan dermaga milik PT Pertamina. Jaraknya, sekitar 500 meter dan diduga limbah tersebut berasal dari tempat tersebut.

"Di lokasi Pantai Panjang terlihat limbah menyerupai oli atau minyak menempel di sepanjang garis pantai, berwarna hitam dan berbau seperti minyak solar. Dari indikasi kita, limbah ini kiriman dari sana (dermaga Pertamina) bisa dari kapal atau memang sengaja di buang," jelas Irfan.

Sama halnya dengan pencemaran pada 2020 telah terjadi di Pesisir Pantai Lampung Timur, Irfan mengatakan, limbah berupa gumpalan hitam menyerupai oli tersebar dan ditemukan di bibir pantai setempat.

Meski diduga terjadinya pencemaran tersebut disebabkan oleh salah satu perusahaan plat merah di Tanah Air, Irfan menegaskan, tidak seharusnya label itu menjadi benteng penghalang bagi pemerintah daerah dan aparat penegak hukum untuk memberikan sanksi hukuman.

"Ini memang baru indikasi, maka dari itu kejahatan seperti ini harus diusut tuntas. Kalaupun plat merah jangan dijadikan alasan dong, jangan sampai hukum tumpul ke dia (Pertamina). Justru bagaimana pemerintah bertindak tegas, memberi contoh tidak segan menindak pelaku-pelaku kejahatan lingkungan, termasuk perusahaan BUMN," tegas dia.

Walhi Lampung juga menuntut, supaya pemerintah daerah bersikap tegas dan harus berpihak kepada masyarakat serta lingkungan hidup. Menurutnya, bagaimana Lampung akan berjaya, jika pemerintah saja mengabaikan pencemaran lingkungan hidup terus terjadi dan mengabaikan masyarakat tinggal di pesisir Provinsi Lampung.

Baca Juga: Pencemaran Limbah Diduga Oli Kian Hantui Masyarakat Pesisir Lampung

3. Cemari Lingkungan, PT Pajitex Pekalongan malah Kriminalisasi Warga

Menilik Perusahaan di Berbagai Daerah yang Limbahnya Bikin ResahWarga Desa Watusalam, Kecamatan Buaran Kabupaten Pekalongan melakukan unjuk rasa terkait penangkapan warga yang memperjuangkan lingkungan hidup atas pencemaran yang dilakukan PT Pajitex. (dok. Walhi Jateng)

Warga Desa Watusalam, Kecamatan Buaran, Kabupaten Pekalongan harus menanggung dampak pencemaran lingkungan dari aktivitas produksi PT Panggung Jaya Indah Textile (Pajitex).

Sejak tahun 2006, tidak hanya gangguan kesehatan yang mengancam tapi warga setempat juga mengalami kriminalisasi saat memperjuangkan asa dalam menjaga lingkungannya. 

Berdasarkan catatan Walhi Jateng, aktivitas produksi PT Pajitex--yang merupakan perusahaan tekstil produsen sarung itu--menimbulkan pencemaran lingkungan. Asap dan debu batu bara yang keluar dari cerobong perusahaan, ditambah dengan suara bising mesin, telah mengotori rumah serta mengancam kesehatan warga setempat.

Mereka mengeluhkan gatal-gatal dan ISPA. Lebih dari itu, air sungai di sekitar permukiman warga ikut terdampak limbah sehingga berwarna pekat dan berbau busuk.

Manajer Advokasi dan Kampanye Walhi Jateng, Iqbal Al Ghofani mengatakan, dampak pencemaran lingkungan itu memicu reaksi warga karena setiap hari harus menghirup udara kotor. Bahkan, atap rumah warga dilaporkan rusak dampak dari getaran mesin boiler yang beroperasi di pabrik tersebut.

"Berkali-kali warga menyampaikan keberatannya, tapi pemerintah dan PT Pajitex tidak pernah mendengarkan. Berbagai upaya mediasi sudah diusahakan oleh warga, tapi perusahaan tersebut malah memperparah pencemaran dengan menambah cerobong asap," ungkapnya saat dikonfirmasi IDN Times, Sabtu (12/3/2022).

Bukannya memperbaiki proses produksi yang merusak hidup warga, PT Pajitex malah menambah beban warga dengan melaporkan dua warga yang terus berjuang keras melindungi lingkungan hidupnya.

Iqbal menjelaskan, kriminalisasi terhadap dua warga tersebut merupakan bentuk perbuatan strategic lawsuit against public participation (SLAPP) atau upaya litigasi untuk membungkam perjuangan warga. Kriminalisasi itu bertentangan dengan Pasal 66 Undang-Undang (UU) Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup.

"Dalam undang-undang tersebut menyebutkan, setiap orang yang memperjuangkan hak atas lingkungan hidup yang baik dan sehat tidak dapat dituntut secara pidana maupun perdata. Ketentuan ini bertujuan untuk memberikan perlindungan secara khusus kepada pejuang lingkungan hidup," tuturnya.

Dari kriminalisasi itu, Walhi Jateng dan LBH Semarang pada Agustus 2021 menyurati Kepala Kepolisian Resor (Kapolres) Pekalongan Kota untuk segera menghentikan proses penyidikan kepada dua warga tersebut.

Tim Advokasi Melawan Pencemaran Lingkungan Pekalongan juga sempat mengajukan permohonan praperadilan ke Pengadilan Negeri Pekalongan. Mereka menuntut menerima permohonan, memeriksa, mengadili, memutuskan dan menyatakan tidak sah penetapan tersangka kepada dua warga pejuang lingkungan yang melawan pencemaran PT Pajitex.

Kepada PT Pajitex, tim advokasi juga menuntut perusahaan untuk segera menghentikan pencemaran lingkungan baik pencemaran air, udara, maupun suara.

Tim ikut meminta kepada Bupati Pekalongan untuk segera memberikan sanksi kepada PT Pajitex dengan mencabut izin lingkungan. Kemudian, kepada Kepolisian Negara Republik Indonesia (Polri), tim advokasi meminta untuk segera menghentikan proses kriminalisasi kepada warga Pekalongan yang melawan pencemaran lingkungan.

Mereka turut mendesak polisi untuk menyelidiki dan menyidik dugaan tindak pidana pencemaran lingkungan yang dilakukan oleh PT Pajitex di Pekalongan.

"Pak Muhammad Abdul Afif dan Pak Kurohman, warga Desa Watusalam adalah pejuang lingkungan hidup. Hal ini dapat dilihat jelas dari runtutan upaya perlindungan lingkungan hidup yang dilakukan sejak tahun 2006. Mulai dari penyampaian keberatan sampai kepada berbagai audiensi. Negara seharusnya hadir menjalankan fungsinya melindungi lingkungan hidup warga, bukan justru menambah beban warga dengan melanjutkan proses kriminalisasi terhadap warga," jelasnya.

Baca Juga: Pencemaran Lingkungan PT Pajitex Pekalongan, Dari Gangguan Kesehatan hingga Kriminalisasi Warga

4. Aturan tak tegas melegitimasi korporasi merusak lingkungan

Menilik Perusahaan di Berbagai Daerah yang Limbahnya Bikin ResahANTARA FOTO/Wahdi Septiawan

Selain limbahnya yang bikin masalah, operasional perusahaan ternyata bisa berdampak merusak lingkungan. Seperti yang terjadi di Sumatera Selatan.

Pemberian izin konsesi terhadap HTI dan perkebunan di Sumsel menjadi pemicu kebakaran hutan dan lahan dalam beberapa tahun terakhir. Dua kebakaran hutan dan lahan (Karhutla) besar di Sumatra Selatan (Sumsel) dalam satu dekade terakhir, mengakibatkan kerusakan ekosistem lahan gambut.

Walhi Sumsel mengatakan, gambut di wilayah konsesi hampir seluas gambut Sumsel. Dari total 1,2 juta ha gambut, sekitar 900.000 ha berada di wilayah konsesi.

Tidak ada perusahaan HTI dan perkebunan yang dapat menjamin wilayah gambut di dalam peta konsesinya dapat terjaga. Padahal dua karhutla besar di satu dekade terakhir, menunjukan andil besar perusahaan terhadap karhutla.

"Kalau mau memulihkan gambut yang rusak di wilayah konsesi seharusnya bukan lagi tugas pemerintah, melainkan perusahaan secara langsung. Mereka harus bertanggung jawab, karena kerusakan gambut selama ini disebabkan oleh mereka secara sistematis," jelas dia.

Negara kata Hairul harusnya berperan penting untuk mencegah kerusakan lingkungan dengan menekan korporasi yang terlibat. Hairul mengungkapkan, pemerintah lebih memilih memberikan izin konsesi ke perusahaan secara masif dalam beberapa tahun terakhir.

"Pemerintah bertanggung jawab mengkaji ulang izin. Kalau perusahaan tersebut tak mampu, harusnya izin dicabut bukan justru menambah," jelas dia.

erusakan gambut secara nyata akan berdampak kepada masyarakat lokal. Mereka kehilangan mata pencarian setelah tak bisa lagi memanfaatkan kawasan gambut. Kerusakan lingkungan akibat gambut juga menimbulkan bencana ekologis, salah satunya banjir, kekurangan air, kerusakan tanah, hingga pencemaran kualitas udara.

"Sanksi yang diberikan tidak menunjukkan negara ini berdaya di atas hukumnya sendiri. Sepanjang 10 tahun ini tidak ada izin perusahaan yang dicabut meski terbukti melakukan pengerusakan secara sistematis," jelas dia.

Beberapa perusahaan bahkan telah dihukum secara perdata akibat pengerusakan lingkungan. Dalam karhutla hebat pada 2015 lalu, Presiden Joko 'Jokowi' Widodo telah menginstruksikan perusahaan yang lalai hingga menimbulkan kebakaran 200 ha lahan di OKI, izinnya harus dicabut. Seperti PT Tempirai Palm Resource. Namun hingga hari ini perusahaan tersebut tetap eksis tanpa tersentuh sanksi.

"Negara kita masih lemah dengan penjahat lingkungan. Kita berharap negara kuat. Penataan yang gagal harus diimbangi evaluasi dan penataan pengolahan SDA," jelas dia.

Baca Juga: Tata Kelola Gambut: Izin Korporasi dan Ketegasan Pemerintah 

5. Limbah domestik dan industri rumah tangga di Kota Mataram sudah meresahkan

Menilik Perusahaan di Berbagai Daerah yang Limbahnya Bikin ResahLimbah tahu masih dibuang ke Sungai Ancar dan selokan (IDN Times/Muhammad Nasir)

Limbah domestik dan industri rumah tangga juga menjadi persoalan serius di Kota Mataram. Seperti limbah industri rumah tangga dari pabrik pengolahan tahu dan tempe di Kelurahan Kekalik Jaya Kecamatan Sekarbela Kota Mataram Provinsi Nusa Tenggara Barat (NTB).

Pengolahan tahu menghasilkan limbah cair, sisa pembakaran dan polusi udara. Selama ini, limbah tahu masih dibuang ke selokan dan Sungai Ancar yang berada di daerah tersebut.

Sehingga menurut penuturan Lurah Kekalik Jaya Kecamatan Sekarbela Kota Mataram, Safrudin mengatakan masyarakat sekitar sudah terbiasa mencium bau yang tidak sedap dari limbah cair industri tahu dan tempe.

"Kalau yang masalah bau, sudah biasa," kata Safrudin dikonfirmasi IDN Times di Mataram, Jumat (11/3/2022).

Safrudin mengatakan warga di Kelurahan Kekalik Jaya sudah terbiasa dengan bau tidak sedap dari limbah cair pengolahan tahu. Justru warga setempat meminta kepada pemerintah daerah untuk mengatasi polusi udara dari aktivitas pembakaran pengolahan tahu dan tempe.

Dalam Musyawarah Pembangunan Bermitra Masyarakat (MPBM), warga mengusulkan agar cerobong asap dari aktivitas pengolahan tahu dan tempe agar ditinggikan. Sehingga warga yang berada di daerah padat penduduk tersebut tidak terganggu asap pembakaran dari pengolahan tahu dan tempe.

"Hasil MPBM diusulkan buat cerobong asap ditinggikan. Di sini polusi udara yang banyak dikeluhkan. Apakah swadaya, atau bisa difasilitasi oleh pemerintah untuk cerobong asapnya agar ditinggikan," kata Safrudin yang menuturkan harapan warga setempat.

Safrudin mengungkapkan sampai saat ini belum ada solusi untuk mengatasi limbah pengolahan tahu dan tempe. Dengan padatnya penduduk maka cukup sulit untuk membangun Instalasi Pengolahan Air Limbah (IPAL) komunal di daerah tersebut.

Sebelumnya, Dinas Lingkungan Hidup (DLH) Kota Mataram juga pernah membangun penampungan untuk mengatasi persoalan limbah cair dari hasil pengolahan tahu dan tempe. Namun belum bisa menyelesaikan masalah. Karena bau masih keluar dan mesin pompa yang digunakan tidak berfungsi dengan baik.

Ia menyebut jumlah perajin tahu dan tempe di Kelurahan Kekalik Jaya puluhan orang. Di lingkungan Kekalik Barat saja jumlah perajin mencapai 30-an orang. "Limbah masih dibuang ke sungai. Tapi gak berbahaya karena limbah organik," katanya.

Camat Sekarbela Kota Mataram Cahya Samudra mengatakan Pemerintah telah merancang pembangunan Sistem Pengolahan Air Limbah Domestik Terpada (SPALD-T) di Tanjung Karang. Pembangunan SPALD-T akan dilakukan Kementerian PUPR, sementara Pemkot Mataram menyiapkan lahan seluas 3,5 hektare.

SPALD-T adalah sistem pengelolaan yang dilakukan dengan mengalirkan air limbah domestik dari sumber secara kolektif ke sub sistem pengolahan terpusat sebelum akhirnya dibuang ke badan air permukaan. Upaya ini diperlukan untuk mengurangi tingkat pencemaran lingkungan oleh air limbah dari berbagai tempat produksi di Kota Mataram.

Baca Juga: Solusi Atasi Pencemaran Limbah Tahu di Kota Mataram Sangat Mendesak 

6. PT SMGP di Madina bermasalah, Bupati minta perusahaan direlokasi agar tak makan korban lagi

Menilik Perusahaan di Berbagai Daerah yang Limbahnya Bikin ResahWarga yang menjadi korban kebocoran gas di Madina diboyong ke rumah sakit, Minggu (6/3/2022) petang. (Istimewa)

Kasus perusahaan bermasalah juga ada di Sumatera Utara juga terjadi. Bahkan sudah memakan korban jiwa akibat bocornya pipa saluran gas. 

Kebocoran gas terjadi di PT SMGP pernah terjadi Senin (25/1/2021) sekitar pukul 11.00 WIB. Kebocoran gas itu memakan korban. Lima orang meninggal dunia di RSUD Panyabungan dan seorang meninggal dunia di Puskesmas Puncak Sorik Marapi. Selain korban tewas, puluhan orang lainnya terpaksa dirawat di rumah sakit.

Kebocoran pipa saluran gas kembali terjadi, Minggu (6/3/2022) petang. Lebih dari 50 orang keracunan gas dan dilarikan ke rumah sakit.

Green Justice Indonesia (GJI) menganggap PT SMGP telah membuat sesat pikir dengan memberikan klarifikasi yang terkesan menyalahkan  masyarakat.

“Sudah menjadi hak masyarakat untuk mendapatkan lingkungan yang sehat. Itu  sudah diamanatkan undang-undang. Sudah sewajarnya jika ada yang menolak keberadaan SMGP beroperasi dan membuat kerugian masyarakat,” ujar Direktur GJI, Dana Prima Tarigan, Selasa (8/3/2022).

Dana masih ingat betul kejadian pada Januari 2021. Di mana,  lima orang tewas dan lainnya terpaksa dilarikan ke rumah sakit karena keracunan. Insiden berulang ini, bagi Dana adalah pelanggaran Hak Asasi Manusia. Karena dengan keberadaan SMGP dengan dalih pemenuhan kebutuhan energi listrik, malah justru masyarakat yang menjadi korbannya.

“Kalau saya bilang, PT SMGP ini yang sudah ‘meracuni’ masyarakat. Sehingga, sebaiknya harus ditutup. Jadi tidak ada lagi potensi akan terjadinya korban berulang di masa mendatang. Tidak hanya ditutup, diselidiki juga terkait izin-izinnya. Apalagi lokasinya sangat dekat dengan pemukiman. Kenapa izinnya tetap diberikan? Bagaimana analisis mengenai dampak lingkungannya? Jangan-jangan ada korupsi saat penerbitan izinnya,” imbuhnya.

Bupati Mandailingnatal Muhammad Jafar Sukhairi Nasution sependapat dengan Dana. Ia meminta PT SMGP bertanggung jawab penuh atas insiden yang terjadi. Apalagi kejadian ini bukan hanya sekali. Relokasi warga menjadi pilihan solusi.

“Kalau kami dari pemerintah daerah barangkali  perlu dipertimbangkan juga bahwa relokasi warga sehingga insiden itu akan terjadi tidak makan korban lagi,” kata Jafar.

Baca Juga: Gas SMGP Diduga Bocor, Bupati Madina Minta Perusahaan Relokasi Warga

7. Tak mau tinggal diam, Warga Blitar Gugat PT Greenfields Indonesia

Menilik Perusahaan di Berbagai Daerah yang Limbahnya Bikin ResahPeternakan sapi milik PT Greenfields Indonesia. Greenfieldsdiary.com

Warga Kabupaten Blitar melakukan gugatan class action kepada PT Greenfields Indonesia dan berhasil memenangkan gugatan pada putusan yang digelar Senin (07/03/2022) lalu.

Pengadilan Negeri (PN) Blitar memutuskan, PT Greenfields terbukti melanggar hukum dengan mencemari lingkungan. Peternakan mereka yang berada di Desa Ngadirenggo, Kecamatan Wlingi, dinyatakan bersalah karena membuang limbah kotoran sapi ke sungai.

Akibatnya sungai yang digunakan untuk ragam kebutuhan rumah tangga menjadi keruh dan berbau. Warga tidak bisa menggunakan sungai tersebut guna mencukupi kebutuhan sehari-hari.

Kinan, salah seorang penggugat menerangkan PT Greenfields Indonesia membuka peternakan kedua di kawasan tersebut sejak 6 Maret 2018. Selama proses pembangunan tidak ada sosialisasi kepada masyarakat yang dilakukan oleh pihak perusahaan. Mereka tidak mengetahui rencana pembangunan di lokasi lahan bekas perkebunan ini. Warga baru tahu jika di lokasi tersebut digunakan untuk peternakan sapi setelah proses pembangunan selesai.

"Tidak ada undangan sosialisasi apapun, kita hanya mendengar dari kabar bahwa perusahaan akan mempekerjakan warga lokal, sosialisasi terkait dampak dan lainya tidak pernah ada," ujarnya, Jumat (11/03/2022).

Setelah peternakan tersebut beroperasi, warga mulai resah karena sungai yang biasanya bersih berubah warna menjadi kotor dan keruh. Sungai juga penuh dengan kotoran sapi sehingga warga tidak lagi bisa menggunakan airnya untuk kebutuhan sehari-hari.

Tidak hanya itu kotoran sapi juga dibuang ke area perkebunan dan mencemari sejumlah sumber mata air.

"Warga disini banyak yang tidak menggunakan sumur dan langsung mengambil air dari sungai atau sumber mata air dengan mengalirkan langsung lewat pipa ke dalam rumah," tuturnya.

Warga kemudian menemukan PT Greenfields melakukan pembuangan limbah kotoran sapi ke sungai. Pihak perusahaan menggunakan modus pembungan malam hari sehingga warga tidak ada yang tahu secara langsung.

Selain itu mereka juga memanfaatkan situasi saat turun hujan deras, untuk membuang limbah tersebut ke sungai. Mengetahui hal tersebut warga kemudian melakukan protes ke perusahaan. Namul hal tersebut tidak mendapatkan tanggapan serius dari PT Greensfields.

"Kita juga melaporkan ke Dinas Lingkungan Hidup Provinsi Jatim, namun tidak ada tanggapan serius dan perusahaan masih melakukan hal yang sama," jelasnya.

Karena merasa tidak mendapatkan respon, Pada bulan Juli 2021 lalu, sebanyak 242 KK dari Kecamatan Doko dan Wlingi, Kabupaten Blitar melakukan gugatan class action pada PT Greenfields Indonesia, serta Gubernur Jatim dan Dinas Lingkungan Hidup (DLH) Provinsi Jatim sebagai turut tergugat 1 dan 2.

Dalam gugatan itu, mereka menuntut ganti rugi materiil dan immateriil dengan total miliaran rupiah, akibat kerugian yang mereka derita sebagai dampak yang ditimbulkan dari pencemaran di lingkungannya.

Besarnya gugatan materiil bervariasi. Mulai dari Rp 2,4 juta – Rp 40 juta per 2 tahun. Dan gugatan immateriil sebesar Rp 100 juta/KK yang jumlah totalnya mencapai miliaran rupiah. Gugatan didaftarkan ke Pengadilan Negeri (PN) Blitar, Senin (5/7/2021), dengan no perkara :77/Pdt.G/LH/2021/PNBlt dan jadwal sidang pertama pada 21 Juli 2021.

"Ini merupakan langkah kita untuk membuktikan bahwa yang dilakukan oleh PT Greensfields ini salah," ungkapnya.

PT Greenfield Indonesia akhirnya kalah dalam sidang gugatan class action. Peternakan mereka yang berada di Desa Ngadirenggo, Kecamatan Wlingi dinyatakan bersalah dan melakukan pencemaran lingkungan.

Kuasa Hukum PT Greenfields, Michael Jhon Amalo Sipet akan menunggu dan mempelajari dulu salinan putusan PN Blitar tersebut. Karena masih ada 14 hari untuk menentukan sikap, apakah banding atau menerima putusan tersebut.

"Kami masih sebatas membaca amar putusan saja. Belum menerima salinan putusan dan pertimbangan majelis hakim. Jadi belum tahu pertimbangannya." ujarnya, Sabtu (12/03/2022).

Baca Juga: Warga Blitar Menang Gugatan Class Action Atas PT Greenfields Indonesia

8. Ada 9 perusahaan di Jabar yang dikenakan sanksi oleh pemerintah karena mencemari lingkungan

Menilik Perusahaan di Berbagai Daerah yang Limbahnya Bikin ResahANTARA FOTO/Raisan Al Farisi

Pada beberapa kasus di atas pemerintah terkesan diam dan enggan bertindak. Namun beda dengan Pemprov Jawa Barat. Dinas Lingkungan Hidup (DLH) Jabar mencatat ada sembilan perusahaan yang dikenakan sanksi sepanjang 2021 karena membuang limbah tanpa aturan

Prima Mayaningtias, Kepala DLH Jabar mengatakan, perusahaan yang membuang limbah tanpa aturan masih banyak ditemui di wilayah Jabar. Padahal, Pemprov Jabar sendiri sudah sering melakukan tindakan tegas pada pencemar lingkungan.

"Banyak banget (perusahaan tidak taat), kemarin kita temuin banyak limbah B3 tanpa izin, dari situ juga kita proses, dan sudah banyak perusahaan yang kita tutup untuk soal itu," ujar Prima, Sabtu (12/3/2022).

Menurut Prima, dalam kondisi saat ini pencemaran lingkungan oleh perusahaan perlu pengawasan ketat bersama stakeholder di 27 kabupaten dan kota di wilayah Jabar. Pengawasan maksimal, kata dia, bisa turut meminimalisir terjadinya pencemaran lingkungan.

"Jadi memang yang namanya perusahan nakal masih banyak, itu dia akhirnya saya pikir benar harus ada pengawasan insentif bekerja sama dengan teman kabupaten dan kota," ucapnya.

Perusahaan yang melakukan pencemaran lingkungan sepanjang 2021 diketahui berada di beberapa kabupaten dan kota di Jabar. Prima bilang, perusahaan di daerah Bandung Raya, Bekasi dan Karawang, banyak yang sudah diberikan sanksi karena pencemaran lingkungan.

Menurutnya, semua industri yang melakukan pencemaran lingkungan harus teridentifikasi. DLH sendiri dalam melakukan identifikasi pelanggan tidak bisa sekilas, perlu pengawasan maksimal.

"Kita itu detail, jadi pengawas datang ambil sampelnya masuk ke lab, baru kita tahu hasilnya mencemari. Jadi untuk tahu itu kita perlu waktu sampai menunggu hasil lab. Di wilayah Cilamaya kita lakukan pengawasan di 18 industri disungai Cilamaya," katanya.

Soal sanksi, Pemprov Jabar sudah memberikan tindakan tegas. Prima mengatakan, banyak Instalasi Pengelolaan Air Limbah (IPAL) milik perusahaan yang ditutup karena terbukti melakukan pencemaran lingkungan di wilayah sungai secara langsung.

Kemudian, DLH juga menggunakan aturan yang kuat dalam pemberian sanksi. Prima bilang, penegakkan aturan sudah berdasarkan aturan UU bukan lagi peraturan daerah.

"Ditutup (IPAL) sudah dilakukan dan tidak boleh operasional sampai dia melakukan pembenahan, pemulihan, perbaikan yang kita tetapkan. Penengakan lingkungan pakai UU 32, jadi masuk pidana dan perdata, jadi sesuai kasus," kata dia.

Langkah tegas Pemprov Jabar pada pencemaran lingkungan juga dibuktikan langsung oleh Wakil Gubernur Jawa Barat Uu Ruzhanul Ulum. Ia menghentikan sementara operasional pabrik tepung tapioka dan pemanis di Desa Tegalwaru, Kecamatan Cilamaya Wetan, Kabupaten Karawang, Senin (4/10/21).

Operasional pabrik skala besar tersebut dihentikan karena dinilai mencemari Daerah Aliran Sungai (DAS) Cilamaya.

"Hasil komunikasi kami dengan Dinas Lingkungan Hidup, Polisi Lingkungan Hidup, juga dengan dinas kabupaten setempat, bersepakat untuk menghentikan sementara operasional (pabrik). Bukan ditutup atau dicabut, tapi hentikan sementara," ujar Uu.

Akibat pencemaran oleh pabrik tepung tapioka tersebut, Sungai Cilamaya menjadi berwarna hitam dan berbau. Bisa disimpulkan sementara, kondisi itu mengganggu ekosistem makhluk hidup juga mengganggu masyarakat sekitar.

"Masyarakat meminta, sampai ‘ceuk orang Sunda mah ngalengis’ atau menangis. Karena memang bau, air tidak bisa dimanfaatkan," ucapnya.

Baca Juga: Sepanjang 2021 Masih Ada Perusahaan Jabar Cemari Lingkungan

Tim Penulis: Prayugo Utomo, Anggun Puspitoningrum, Maya Aulia Aprilianti, Tama Wiguna, Azzis Zulkhairil, Bramanta Putra, Muhammad Rangga Erfizal, Muhammad Nasir, dan Ita Malau.

Topik:

  • Arifin Al Alamudi

Berita Terkini Lainnya