Kota Tua Jangan Hanya Tinggal Cerita

Kawasan heritage punya potensi, pemerintah harus kolaborasi

Hampir di semua kota besar atau ibu kota provinsi di Indonesia memiliki peninggalan bangunan tua atau bangunan bersejarah warisan penjajahan Belanda.

Di Beberapa kota di beri nama Kota Tua, ada pula yang diberi nama Kawasan Heritage. Sebagian besar bangunan bersejarah ini sudah menjadi cagar budaya.

Namun untuk merawat bangunan bersejarah ini butuh anggaran yang tidak sedikit. Tak heran sejumlah bangunan sudah rusak atau tidak terurus. Padahal Kota Tua ini punya potensi wisata yang besar.

Orang Indonesia yang jalan-jalan ke Eropa selalu suka memamerkan potret di Kawasan Kota Tua atau berfoto di bangunan-bangunan tua yang memang sangat instagramable. Di Indonesia pun ada juga yang berhasil merevitalisasi Kota Tua, yaitu DKI Jakarta. Kawasan Kota Tua Jakarta ini tak pernah sepi pengunjung, bahkan tak sedikit juga yang berasal dari mancanegara.

Pada tahun 2022, anggaran revitalisasi Kawasan Kota Tua Jakarta menelan biaya Rp102 Miliar. Tetapi tidak semua Kawasan kota Tua di Indonesia kondisinya sama. Banyak yang terbengkalai dan tidak mengelola Kota Tua secara benar. Bahayanya, jika tidak bertindak, Kota Tua di Indonesia bisa jadi hanya tinggal cerita.

Berikut IDN Times merangkum kondisi kota-kota tua yang ada di Indonesia dan bagaimana strategi penanganan dan pengembangan kota tua agar menjadi potensi wisata.

1. Kayutangan Heritage menjadi role model bangkitkan wilayah bersejarah di Malang

Kota Tua Jangan Hanya Tinggal CeritaTrotoar di Kayutangan Heritage. (IDN Times/Rizal Adhi Pratama)

Kota Malang memiliki ratusan bangunan kuno peninggalan kolonial Belanda yang bersejarah. Namun baru 76 yang ditetapkan sebagai cagar budaya dan dilindungi keberadaannya. Itu pun tidak semuanya berbentuk bangunan, beberapa berupa arca, patung, hingga benda pusaka.

Pada 2021 setidaknya ada 31 cagar budaya yang telah ditetapkan. Lalu bertambah 47 cagar budaya pada 2022.

Pada 2021, kebanyakan cagar budaya ada di Kecamatan Klojen berupa jembatan sampai bangunan rumah dan sekolah, sementara terbanyak kedua ada di Kecamatan Lowokwaru seperti tandon air peninggalan kolonial Belanda.

"Kemudian di tahun 2022 ada penetapan lagi dari pemerintah melalui Dinas Pendidikan. Ada 47 yang sudah ditetapkan, jadi sekarang totalnya ada 76 cagar budaya yang sudah ditetapkan. Kebanyakan yang ditetapkan berupa benda seperti arca, patung, dan beberapa barang di museum," terang Agung Buana selaku Bagian Perencanaan Ekonomi Bappeda Kota Malang sekaligus mantan Sekretaris Tim Ahli Cagar Budaya (TACB) Kota Malang 2016-2021.

Agung juga menceritakan kalau pada 2018 hampir 95 persen yang ditetapkan sebagai cagar budaya adalah peninggalan kolonial Belanda berupa bangunan hingga struktur bangunan. Menurutnya penetapan ini sangat krusial dan perlu segera dilakukan.

Kepala Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Kota Malang, Suwarjana, membeberkan kalau tidak semua cagar budaya berada di bawah perawatan mereka. Misalnya bangunan milik pribadi tidak mereka cover untuk perawatannya.

"Kalau di Dinas Pendidikan kita melakukan perawatan untuk milik kita sendiri. Misalnya Gedung Kesenian Gajayana dan Museum Brawijaya, memang tidak banyak yang dipegang Dinas Pendidikan," beber Suwarjana saat dikonfirmasi pada Minggu (19/02/2023).

Salah satu revitalisasi Kota Tua yang berhasil dilakukan di Malang adalah Kayutangan Heritage. Ini menjadi role model membangkitkan wilayah bersejarah.

Sebelum periode 2020, kawasan di Jalan Basuki Rachmat, Kota Malang merupakan wilayah sepi dan hanya dipandang sebagai jalan protokol Malang-Lawang. Banyak bangunan mangkrak, meskipun terlihat banyak peninggalan kolonial Belanda berupa bangunan ruko hingga rumah.

Kemudian Wali Kota Malang, Sutiaji, memulai proyek ambisius untuk menjadikan wilayah yang dikenal sebagai Kayutangan Heritage ini menjadi Malioboro di Kota Malang. Dimulai dengan memasang batu andesit yang sempat jadi kontroversi di Pertigaan Patung Chairil Anwar, Perempatan Rajabali, dan Pertigaan PLN Kayutangan.

Tak berhenti sampai di situ, Sutiaji terus melakukan perubahan pada trotoar Jalan Basuki Rachmat. Terbaru dengan memasang lampu-lampu jalan untuk memperelok trotoar di sana.

Baca Juga: Upaya Menghidupkan Kembali Kayutangan Malang

2. Kota Tua Ampenan lakukan penataan zona PKL dan mitigasi bencana

Kota Tua Jangan Hanya Tinggal CeritaBangunan-bangunan tua di Kota Tua Ampenan. (IDN Times/Muhammad Nasir)

Di Kota Mataram, Nusa Tenggara Barat (NTB) ada Kota Tua Ampenan sebagai destinasi wisata andalan di Kota Mataram. Ampenan merupakan salah satu pusat kota di Lombok sejak Belanda membangun Pelabuhan Ampenan pada 1924.

Kota Ampenan dihuni oleh berbagai suku bangsa dan masih memiliki banyak bangunan-bangunan tua peninggalan Belanda. Sebagai salah satu kota bersejarah peninggalan Belanda, Pemerintah Kota Mataram mulai melakukan revitalisasi Kota Tua Ampenan.

"Kota Tua Ampenan tahun ini kita lakukan revitalisasi. Karena memang itu salah satu spot wisata yang akan menjadi andalan kita di Kota Mataram," kata Wali Kota Mataram Mohan Roliskana dikonfirmasi di Mataram, Jumat (17/2/2023).

Tahun 2023, Pemkot Matara mengalokasikan anggaran untuk penataan zona pedagang kaki lima (PKL) dan mitigasi bencana di Pantai Ampenan. Selama ini, abrasi menjadi ancaman di Pantai Ampenan ketika tiba musim angin barat. Untuk melindungi bibir pantai akan dibangun riprap di sepanjang pinggir Pantai Ampenan untuk menahan gelombang.

"Tahun ini kita intervensi anggaran Rp500 juta untuk penataan zona PKL dan juga untuk mitigasi bencana," jelas Mohan.

Sebagai kota tua yang potensial dikembangkan menjadi destinasi wisata, Mohan mengungkapkan Pemkot Mataram juga sudah mengajukan proposal ke Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif (Kemparekraf) supaya bisa dibantu untuk melakukan revitalisasi Kota Tua Ampenan. Revitalisasi atau penataan Kota Tua Ampenan akan dilakukan secara bertahap.

Untuk tahun ini, Pemkot Mataram melakukan penataan mulai dari zona pantai. Kemudian berikutnya ke bagian bangunan-bangunan tua yang berada di bagian tengah. "Sekarang kita sudah punya satu bangunan di situ yang kemarin kita beli dari masyarakat. Itu akan kita jadikan sebagai pilot project nanti," ujarnya.

Setelah zona pinggir pantai dilakukan penataan, selanjutnya Pemkot Mataram akan mempercantik bangunan-bangunan tua yang berada di Kota Tua Ampenan. Karena bangunan-bangunan tua di Ampenan bukan milik pemerintah, Pemkot Mataram sudah bersurat ke masing-masing pemilik supaya tidak mengubah bentuk bangunan.

"Mungkin nanti pada saatnya kita lakukan intervensi pemerintah untuk membantu memperbaiki ornamen-ornamen yang khusus untuk di luar. Cuma memang bangunan tua di Ampenan ini statusnya beda. Kalau di kota lain bangunan tua itu lebih banyak milik pemerintah. Kalau di Kota Tua Ampenan milik pribadi. Repotnya di sana. Makanya intervensinya tidak mudah," ucap Mohan.

3. Teluk Betung Selatan butuh revitalisasi

Kota Tua Jangan Hanya Tinggal CeritaKota Tua di Teluk Betung Selatan. (IDN Times/Rohmah Mustaurida)

Salah satu Kota Tua di Lampung berada di Kota Bandar Lampung tepatnya di Kecamatan Teluk Betung Selatan. 

Menurut Jurnal Ilmiah Arsitektur, Kota dan Permukiman Losari, Wilayah Teluk Betung Selatan ini telah ada sejak 1838, sebelum Kota Bandar Lampung lahir. Banyak bangunan-bangunan tua hingga kini masih berdiri hingga sekarang. Termasuk vihara tua Thay Hin Bio dan masjid tertua di Lampung yakni Masjid Jami’ Al Anwar.

Maski dipenuhi bangunan tua, nyatanya daerah ini masih aktif menjadi pusat perdagangan warga setempat. Seperti pasar tradisional Gudang Lelang, pusat oleh-oleh terkenal Lampung Aneka Sari Rasa, ruko-ruko, dan kafe.

Tim Ahli Cagar Budaya Lampung, Oki Hajiansyah mengatakan, Teluk Betung Selatan merupakan salah satu kota tua di Lampung dengan potensi wisata besar di dalamnya. Namun sayangnya, kota-kota tua di Lampung ini belum mendapat sentuhan revitalisasi.

“Kalau di Bandar Lampung kan ada di Teluk Betung ya, Tulang Bawang ada Menggala, dan Lampung Timur di Sukadana, itu yang saya tahu. Jadi memang kota-kota tua di Lampung itu belum direvitalisasi. Belum seperti di Semarang atau Jakarta di mana mereka memanfaatkan bangunan tua untuk industri kreatif seperti fashion dan kuliner dengan konsep kekinian,” katanya.

Oki juga mengatakan hal seperti ini sebenarnya perlu didorong lebih. Itu karena saat ini sudah tidak zamannya lagi sesuatu hanya diurus pemerintah seorang. Ia menjelaskan di daerah dengan wisata kota tuanya sudah memiliki kolaborasi antara pemerintah, BUMN, hingga swasta untuk menciptakan pariwisata lokal dan menarik tersebut.

“Nah yang kurang di Lampung ini kemampuan kerja samanya antar stakeholder dalam mendorong wisata kota tua. Makanya kota-kota di Jawa itu sudah menggandeng BUMN dan swasta untuk terlibat bersama-sama membuat ruang kreatif tadi,” imbuhnya.

Berdasarkan data dari Kemendikbud, Provinsi Lampung memiliki 7 cagar budaya resmi. Di antaranya, Situs Pugung Raharjo Kecamatan Sekampung Udik Lampung Timur, Situs Megalitik Batu Bedil Kecamatan Pulau Panggung Tanggamus, Situs Megalitik Baru Berak Kecamatan Sumber Jaya Lampung Barat, Situs Megalitik Batu Gajah Uli Belu Tanggamus, Prasasti Palas Pasemah Kecamatan Palas Lampung Selatan dan Situs Megalitik Batu Jagur Kecamatan Sumber Jaya Lampung Barat.

Sub Koordinator Perencanaan Sekretariat Dinas Pariwisata dan Ekonomi Kreatif Provinsi Lampung, Heri Budi Santoso mengatakan Masjid Jami Al Anwar sebagai masjid tertua di Lampung ternyata telah didaftarkan sebagai cagar budaya oleh Pemerintah Provinsi Lampung.

“Jadi ada 23 bangunan milik kota (Bandar Lampung) yang sudah didaftarkan untuk menjadi cagar budaya, salah satunya rumah di komplek Masjid Jami’ Al Anwar. Itu pendaftaran dari 11 Agustus 2016 tapi sayangnya sampai sekarang belum ditetapkan sebagai cagar budaya,” katanya.

Sehingga baru 7 bangunan atau situs saja yang terdaftar sebagai cagar budaya Lampung. Ia menjelaskan, mendaftarkan bangunan atau tempat bersejarah sebagai cagar budaya memang tidak semudah itu.

“Karena ditetapkannya oleh pusat. Jadi pertama kabupaten/kota mengusulkan bangunan cagar budayanya pada pemprov. Nanti oleh pemprov melalui tim ahli cagar budaya akan dinilai atau dikurasi barulah disampaikan ke pusat,” paparnya.

Berbicara soal kota tua di Teluk Betung Selatan, Heri mengatakan kawasan tersebut memang perlu dikemas sedemikian rupa dan ditata agar memiliki daya tarik lebih untuk dikunjungi wisatawan. Namun ia mengaku pemerintah provinsi tidak bisa bergerak karena wilayah tersebut milik Pemerintah Kota Bandar Lampung.

Baca Juga: Teluk Betung Selatan, Potensi Wisata Kota Tua Butuh Revitalisasi

4. Kota lama Banjarmasin tersapu modernisasi

Kota Tua Jangan Hanya Tinggal CeritaSketsa benteng Tatas di Banjarmasin tahun 1843.

Majunya kembangnya kota tak lepas dari sejarah dan peninggalan masa lalu. Kota Banjarmasin di Kalimantan Selatan (Kalsel) pun memiliki sejarah cikal bakal modernisasi kota Seribu Sungai ini.  Kalau bicara soal modernisasi, kota Banjarmasin ini dimulai dari Tatas berada di kawasan Masjid Raya Sabilah Muhtadin.

Dosen Arsitektur Lanskap Institut Pertanian Bogor (IPB) Vera D Damayanti menyebutkan, bangunan bersejarah di Banjarmasin sudah banyak yang hilang "dimakan" zaman. 

Meskipun begitu, seni tata ruang pusat kota dan jaringan jalan, kanal dari masa lalu masih dapat dirasakan keberadaannya. Menjadi elemen sejarah kota sebagai dasar perkembangan Banjarmasin. 

"Berpijak dari konsep tersebut, maka pengembangan area Tatas dan sekitarnya diharapkan dapat memanfaatkan nilai kesejarahan setempat," katanya

Vera mengatakan, perkembangan pembangunan Banjarmasin tergolong lambat di zaman kolonial pemerintah Hindia Belanda. Sebagaimana tersirat dalam notulens rapat-rapat Dewan Kota (stadsgemeenteraad) Banjarmasin kala itu.

Kondisi ini disebabkan lingkungan rawa dan pasang surut yang memerlukan teknik khusus dalam konstruksi sehingga menyebabkan biaya pembangunan kota menjadi sangat mahal. Sementara itu sumber pendanaan yang bergantung pada anggaran dan subsidi dari pemerintah pusat di Batavia sangat terbatas.

Sementara itu, dosen sejarah Universitas Lambung Mangkurat (ULM) Mansyur menyebutkan, Banjarmasin mulai berkembang menjadi pusat ekonomi di Kalimantan pada tahun 1898. 

Seperti pembangunan jalan di nol kilometer Benteng Tatas Banjarmasin sebagai pusat pertahanan tentara Hindia Belanda di Kalimantan. Di mana sekarang lokasinya berada di Jalan Jenderal Sudirman depan Masjid Sabilal Muhtadin (Masjid Raya)  Banjarmasin. Masyarakat Banjarmasin bertransisi dari budaya pemanfaatan jalur transportasi sungai menjadi daratan. 

Sejak zaman dahulu, Suku Banjar memang punya kebiasaan menjalankan seluruh aktivitasnya di sungai, dari mandi, masak transaksi jual beli, berdagang, dan lainnya. 

"Tahun 1898 Banjarmasin baru mulai dibangun jalan oleh kolonial Belanda. Itu awal-awal ada jalan darat yang dibangun di nol kilometer hingga Lambung Mangkurat dan kota madya," katanya.  

Baca Juga: Cikal Bakal Berdirinya Kota Banjarmasin Dimulai dari Sini

5. Situs Pemedal Agung saksi bisu Perang Puputan perlu restorasi

Kota Tua Jangan Hanya Tinggal CeritaSitus Pemedal Agung Klungkung. (IDN Times/Wayan Antara)

Kabupaten Klungkung merupakan wilayah dengan jejak masa lalu yang panjang di Pulau Bali. Kabupaten yang terletak di Timur Pulau Bali ini menjadi lokasi Pemerintahan Kerajaan Gelgel yang merupakan pusat kerajaan di Bali.

Kerajaan Gelgel yang dalam perkembangannya menjadi Kerajaan Klungkung, terus berkuasa di Bali sampai hancur pada saat berjuang melawan penjajahan Belanda tahun 1908.

Dengan memiliki sejarah panjang, Kabupaten Klungkung layak menjadi kota tua di Bali. Beberapa peninggalan bersejarah masih tersisa, seperti Kerta Gosa, dan Pemedal Agung.

Kedua bangunan itu merupakan bangunan bersejarah, yang menjadi saksi bisu kebesaran Kerajaan Klungkung, serta bangunan yang tersisa dari Perang Puputan Klungkung pada 28 April 1908. Lalu bagaimana kondisi bangunan bersejarah tersebut?

Kerta Gosa terletak di pusat kota Semarapura. Kerta Gosa terdiri dari dua bangunan yang pada masa lalu dimanfaatkan sebagai tempat pengadilan, diskusi, dan musyawarah untuk membahas situasi keamanan, keadilan, setiap kemakmuran setiap kerajaan di Bali. Bangunan Kerta Gosa ini didirikan pada tahun 1686.

Sampai saat ini Kerta Gosa masih berdiri kokoh, sempat restorasi sekitar tahun 1960-an, dan menjadi destinasi wisata unggulan di Kabupaten Klungkung. Kerta Gosa juga menjadi jadi ikon pariwisata di Kota Semarapura. Sehingga kawasannya mendapat perawatan rutin.

"Kerta Gosa masih menjadi destinasi wisata unggulan di Klungkung. Setiap hari selalu ramai dikunjungi wisatawan," ujar Kadis Kebudayaan Klungkung, Ida Bagus Jumpung Gede Oka Wedhana, Sabtu (18/2/2023).

Berbeda halnya dengan situs Pemedal Agung yang lokasinya berada di sisi barat Kerta Gosa. Bangunan yang dulunya adalah pintu masuk Keraton Kerajaan Klungkung ini sudah dalam keadaan retak. Pemedal Agung merupakan saksi bisu Perang Puputan Klungkung pada tahun 1908 silam.

Konon kala itu, hanya bangunan Pemedal Agung yang tidak mampu diluluhlantakkan oleh Belanda. 

Wedhana menyebutkan, kondisi Pemedal Agung mulai agak miring. Bahkan kata dia, beberapa bulan lalu selama musim hujan deras disertai angin kencang, Wedhana mengaku sangat khawatir dengan kondisi bangunan tersebut karena beberapa bagian bangunannya retak-retak.

“Kondisi bangunan sudah tua. Bangunan sudah miring, ada retak-retak. Dalam cuaca seperti ini (hujan disertai angin kencang) jujur saya khawatir,” kata Wedhana.

Bahkan pada Januari 2021 lalu, beberapa bagian dari Pemedal Agung sempat berjatuhan. Hal ini membuat Dinas Kebudayaan Klungkung berkoordinasi dengan pihak Balai Pelestarian Cagar Budaya (BPCB) untuk melakukan pengecekan.

Wedhana mengatakan, petugas BPCB selain mengecek, juga melakukan penelitian dan kajian terhadap bangunan Pemedal Agung. Hasilnya, karena usia bangunan sudah cukup tua, mama pada bagian-bagian tertentu dipandang perlu adanya restorasi.

“Dulu pernah ada petugas BPCB hendak merestorasi yang sifatnya kecil-kecil," ungkap Wedhana.

Hanya saja restorasi urung dilaksanakan karena adanya kendala status aset lahan. Sampai saat ini status lahan tempat berdirinya Pemedal Agung belum jelas.

Baca Juga: Saksi Perang Puputan, Situs Pemedal Agung Perlu Restorasi

6. Perlu Badan Khusus untuk Optimalkan Kawasan Heritage

Kota Tua Jangan Hanya Tinggal Ceritahttps://pixabay.com/users/bin_suyardi

Salah satu kota yang juga berhasil memaksimalkan potensi Kawasan kota tua adalah Bandung. Braga, Alun-alun Bandung, Cipaganti, hingga kawasan Jalan ABC menjadi daerah yang kerap disambangi para pecinta sejarah bangunan lama.

Founder Sahabat Heritage Indonesia Rizky Syahfitri Nasution menuturkan, kawasan haritage atau bangunan lama di Kota Bandung saat ini sudah banyak yang digunakan untuk perekonomian termasuk kawasan wisata. Kondisi ini berbeda dengan 10 tahun lalu di mana intensitas masyarakat yang menyambangi kawasan kota tua masih sedikit.

Alhasil, pengemasan kawasan kota tua di Bandung sekarang lebih banyak berorientasi pada ekonomi lebih dulu ketimbang aspek sejarahnya.

"Jadi dari awal bukan haritagenya dulu yang dikemas. Yang ada sekarang karena banyak orang datang ke kawasan kota tua, pemerintah kemudian memberikan perhatian lebih seperti di Braga atau Gedung Merdeka," ujar Rizky saat berbincang dengan IDN Times, Jumat (17/2/2023).

Dia menuturkan, dulu sebelum ada perbaikan kawasan Masjid Raya Bandung dan Braga, tidak banyak kegiatan yang hidup di daerah ini. Namun, setelah ada revitalisasi barulah masyarakat berbondong-bondong berwisata ke kawasan ini.

Dengan banyaknya wisatawan yang mulai datang dan menikmati tempat-tempat bersejarah di Bandung, tidak sedikit bangunan yang masuk sebagai cagar budaya kemudian diubah menjadi tempat yang bisa menghasilkan uang. Meskipun mayoritas tidak mengubah bentuk bangunan agar kesan bangunan lamanya masih nampak.

Meski demikian, Rizky sangat berharap pemerintah daerah bisa lebih fokus untuk menjaga bangunan-bangunan bersejarah di Kota Bandung agar tidak rusak tergerus jaman. Tidak bisa dipungkiri bahwa banyak bangunan kemudian beralih fungsi dan penampakannya karena dipakai untuk aktivitas lain.

"Memang harus ada badan atau apapun bentuknya yang bisa menjembatani bagaimana kawasan heritage dan pariwisata bisa berjalan beriringan," kata dia.

Melalui badan ini, Pemkot Bandung bisa mengajak masyarakat agar tidak hanya menikmati kawasan bersejarah, tapi juga belajar sejarahnya. Terlebih Bandung selama ini menjadi salah satu kawasan tua dengan berbagai aktivitas ekonomi di jamannya.

Badan tersebut juga harus bisa menampung semua kalangan baik dari sejarawan, komunitas pecinta sejarah, hingga warga lokal yang ada di kawasan tersebut. Sehingga kemajuan masyarakat di daerah itu akan sejalan dengan ramainya kawasan heritage yang dikunjungi wisatawan.

Menurutnya, secara teori bangunan heritage memang tidak bisa dijadikan tempat wisata massal karena bisa merusak kondisi tempat tersebut. Namun, perkembangan media sosial di mana wisatawan tahu banyak tempat sejarah yang unik dan menarik untuk dikunjungi membuat tempat heritage pasti terjamah.

Untuk itu harus ada konsep khusus yang dilakukan pemerintah daerah dalam menjaga tempat bersejarah, tanpa mengesampingkan dampak ekonomi yang didapat.

Rizky pun berharap Pemkot Bandung bisa meniru Semarang atau Jakarta, di mana kawasan kota tua penggunaannya diatur oleh badan khusus.

Baca Juga: Perlu Badan Khusus untuk Optimalkan Kawasan Heritage Bandung

7. Siapkan anggaran Rp32 miliar untuk Revitalisasi Warenhius

Kota Tua Jangan Hanya Tinggal CeritaIDN Times/Prayugo Utomo

Jika Kota Bandung di Jawa Barat dijuluki Paris Van Java, maka Kota Medan disebut sebagai Paris Van Sumatra. Julukan ini diberikan oleh orang-orang Belanda di era kolonial sebagai penguasa perkebunan tembakau Deli, Sumatera Timur di akhir abad ke-19 sampai pertengahan abad Ke-20.

Seorang sejarawan, Dr. Phil. Ichwan Azhari menceritakan bahwa dahulunya kawasan tersebut merupakan kawasan perdagangan dan perkantoran, tempat berlangsung interaksi antara komunitas internasional maupun asing (Eropa, Amerika, Jepang, Cina, India, hingga Arab) pengusaha perkebunan, tenaga ahli, bankir, birokrat kota, pengusaha hotel,  pedagang termasuk pecah belah atau supermarket (warenhuis) juga pengusaha Indonesia, pedagang batik, kain, kelontong, jurnalis (kantor pewarta deli), komunitas keagamaan Islam (mesjid gang bengkok), Hindu (kawasan.jalan Hindu), dan lainnya.

Selain revitalisasi Lapangan Merdeka, Pemerintah Kota  berencana melakukan perombakan  satu diantara  bangunan  heritage  di Kota Medan  yakni Gedung Warenhuis Jalan Hindu, Kesawan, Kecamatan Medan Barat.

Hal tersebut dikatakan Kepala Dinas Perumahan Permukiman Cipta Karya Penata Ruang Kota Medan Endar Sutan Lubis.

Endar menjelaskan Gedung Warenhuis akan dirombak menjadi pusat expo di  Kota Medan untuk kegiatan para pelaku Usaha Mikro Kecil  Menengah (UMKM) dan anak-anak muda kreatif.

“Sesuai arahan Wali Kota Medan gedung bersejarah ini akan direvitalisasi menjadi Pusat Expo," ucapnya.

Diterangkan Endar proses pelelangan tender pekerjaan revitalisasi ini akan mulai dilakukan pada akhir Februari 2023 mendatang. Perombakan Gedung bersejarah bekas Supermarket pertama di Kota Medan ini, diprediksi akan menghabiskan anggaran sebesar Rp32 miliar.

"Kami akan menentukan pemenang tender yang profesional untuk menangani revitalisasi ini. Karena bangunan ini bersejarah sehingga harus berhati-hati," jelasnya.

Endar menegaskan bahwa proses revitalisasi Gedung Warenhuis ini tidak akan merubah hal-hal yang  memang sudah ditetapkan sebagai bangunan heritage.

"Dalam proses revitalisasi kita hadirkan para  seni dan juga  ahli cagar budaya, karena tidak boleh ada yang berubah disitu. Karena itu kita perhitungkan waktu kerjanya lebih dari satu tahun, jadi kita buat multiyears,” terangnya.

Untuk mendukung kegiatan UMKM dan anak muda kreatif di Pusat Expo nanti,  Pemko Medan juga telah membeli lahan di samping Gedung Warenhuis tersebut.

"Lahan yang kita beli di samping bangunan itu nantinya dijadikan tempat kuliner untuk masyarakat yang berkunjung ke Pusat Expo Pemko Medan,"jelasnya.

Untuk itu Endar berharap agar kiranya pembangunan berjalan lancar dan selesai sesuai dengan waktu yang ditetapkan.

"Mudah-mudahan ini selesai tanpa ada halangan apapun," tukasnya.

Baca Juga: Revitalisasi Paris Van Sumatra, Bakal Jadi Pusat Expo Medan

8. Belajar dari Yogyakarta, Pemda gaet warga lokal untuk melestarikan Cagar Budaya

Kota Tua Jangan Hanya Tinggal CeritaIlustrasi Malioboro (ANTARA FOTO/Andreas Fitri Atmoko)

Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) menyimpan berbagai peninggalan sejarah yang masih dilestarikan hingga saat ini. Mulai dari penampilan seni budaya hingga berbagai bangunan yang menyimpan nilai sejarah (bangunan cagar budaya) masih banyak yang berdiri kokoh hingga saat ini. Bisa dibilang, DIY juga berhasil melakukan revitalisasi kawasan heritage dan menjadikannya sebagai ikon pariwisata.

Kepala Dinas Kebudayaan (Kundha Kabudayan) DIY, Dian Lakshmi Pratiwi mengatakan jumlah cagar budaya di wilayah DIY sangat banyak, mulai dari level benda, bangunan, struktur, situs, hingga kawasan. Jika berbicara tentang wilayah seperti kota tua, DIY berangkat dari sebuah historis yang panjang.

"Kalau di DIY berangkatnya dari Kotagede, kawasan historis bekas Keraton Yogyakarta. Kalau kami sekarang menyebut programnya Poros Mataram, bukan nama sejarah atau yang lainnya. Untuk memudahkan pengaturan program saja," kata Dian, Jumat (17/2/2023).

Dian mengatakan dalam tiga tahun terakhir, Dinas Kebudayaan selain melakukan upaya perlindungan dan pemeliharaan cagar budaya, juga fokus mengembangkan cagar budaya agar semakin meningkatkan kemanfaatannya, sehingga lebih bisa dirasakan oleh masyarakat.

"Kami ingin mengarahkan dalam tanda kutip ekonomi budaya. Ketika masyarakat bisa mendapat manfaat dan kemanfaatan dari keberadaan bangunan cagar budaya, otomatis masyarakat tanpa khwatir dan ragu ikut melestarikan," kata Dian.

Selain itu dinas juga menyiapkan badan pengelolaan yang lahir dari masyarakat, sehingga warga bisa memanfaatkan bangunan cagar budaya itu untuk pemberdayaan ekonomi. Hal ini berkaitan dengan desa budaya atau desa wisata, menjadi bagian dari menghidupkan ekonomi kreatif di masyarakat.

"SDM kami terbatas juga, jadi kami langsung bekerja sama dengan masyarakat. Baik tingkat desa maupun kecamatan, melalui badan pengelola. Misal di kawasan Kotagede mereka yang kemudian menggerakan satu program living Museum Kotagede. Kerto Pleret sedang proses open site museum," kata Dian.

Dian meyakini bahwa bangunan cagar budaya yang ada di DIY masih menjadi daya tarik tersendiri bagi masyarakat maupun wisatawan. Baik orangtua, maupun para generasi muda yang masuk Gen Z maupun milenial. Dikatakannya banyak komunitas yang berisi anak muda, maupun para individu yang turut mengenalkan cagar budaya di DIY melalui media sosial.

Itu lah kondisi sejumlah kota tua di Indonesia dan upaya revitalisasi yang dilakukan. Semoga Pemda di Indonesia menaruh perhatian lebih dan memaksimalkan kota tua dan kawasan heritage menjadi potensi wisata.

Baca Juga: Pemda DIY Gaet Warga untuk Melestarikan Cagar Budaya di Jogja    

Tim Kolaborasi Hyperlocal: Rizal Adhi Pratama, Muhammad Nasir, Rohmah Mustaurida, Wayan Antara, Hamdani, Debby Sutrisno, Herlambang Jati Kusumo, Indah Permata Sari

Topik:

  • Arifin Al Alamudi

Berita Terkini Lainnya