Kisah Para Guru Inspiratif dan Rela Menerjang Bahaya Demi Siswa

Rela seberangi sungai, mendaki bukit, dan jauh dari keluarga

Pada 27 tahun lalu, Organisasi Pendidikan, Keilmuan, dan Kebudayaan Perserikatan Bangsa-Bangsa (United Nations Educational, Scientific and Cultural Organization, disingkat UNESCO) menetapkan 5 Oktober sebagai Hari Guru se-Dunia.

Menurut UNESCO, penetapan ini untuk mewakili sebuah kepedulian, pemahaman, dan apresiasi yang ditampilkan demi peran vital guru, yaitu mengajarkan ilmu pengetahuan dan membangun generasi.

Bahkan di Indonesia memiliki lagu Hymne Guru yang diciptakan oleh Sartono pada tahun 1980-an.

"Terpujilah wahai ibu bapak guru
Namamu akan selalu hidup dalam sanubariku
Semua baktimu akan ku ukir didalam hatiku
Sebagai prasasti terimakasihku tuk pengabdianmu"

Begitulah liriknya, yang menggambarkan betapa guru sangat berjasa, bahkan dijuluki sebagai Pahlawan Tanpa Tanda Jasa. 

Untuk memeringati Hari Guru se-Dunia yang jatuh pada 5 Oktober 2021, IDN Times merangkum kisah-kisah inspiratif para guru di berbagai daerah di Indonesia. Bahkan tak sedikit yang rela menerjang bahaya. Yuk simak kisah mereka:

1. Febby Pasaribu merasakan Tuhan mengarahkannya menjadi guru anak-anak berkebutuhan khusus

Kisah Para Guru Inspiratif dan Rela Menerjang Bahaya Demi SiswaFebby Pasaribu (Dok. IDN Times / Focus Learning Support Center)

Sebagaimana yang dialami oleh perempuan muda asal Jakarta jebolan kampus Ahli Gizi di Filipina tahun 2016, Febby Pasaribu.

Perjalanan perempuan 24 tahun ini menjadi guru di Sekolah Anak Berkebutuhan Khusus (ABK) Focus Learning Support Center di Kuta, Kabupaten Badung, penuh dengan lika-liku. Banyak tantangan yang ia hadapi, termasuk restu dari kedua orangtuanya yang hingga saat ini tak kunjung menyertainya.

Namun semangatnya untuk mengabdi sangatlah besar. Ia mengatakan tidak akan menyerah karena terus mendapatkan support dari teman-temannya di gereja. Baginya, menjadi guru bagi anak-anak tersebut adalah sebuah jawaban dari Tuhan atas doa-doanya. Febby sudah menjadi guru bagi anak-anak berkebutuhan khusus tersebut sejak Juli 2017 lalu.

Febby bercerita bahwa sebelum menjadi guru non formal, usai lulus, ia sempat ingin bekerja di sebuah rumah sakit di Jakarta. Namun bibinya malah menawari untuk bekerja dengan anak-anak yang berkebutuhan khusus di Bali. Ia sempat ragu menerima ajakan itu. 

Kebimbangannya terjawab setelah ia berdoa. Febby mengatakan pada dirinya sendiri, apabila ia bisa memainkan sebuah lagu dengan instrumen piano dengan sangat baik, berarti memang ia harus memilih jalan bekerja sebagai guru anak-anak berkebutuhan khusus di Bali. Ternyata ia berhasil memainkan lagu tersebut dan menganggap itulah jawaban Tuhan atas doanya.

“Karena bisa. Okay I take this job. Gitu,” ungkapnya.

Sebelum ke Bali, Febby terlebih dahulu mengikuti pelatihan selama dua bulan di Surabaya. Awalnya ia menganggap pekerjaan ini sebagai batu lompatan saja. Namun seiring berjalannya waktu, ia merasakan Tuhan semakin mengajarinya untuk memahami anak-anak yang berkebutuhan khusus ini.

“Tapi lama kelamaan kok Tuhan ngarahin ke sini terus. Memang sih lama-kelamaan merasa may be passion dari dulu gitu. Cuman ya karena dulu jurusannya apa, kemudian kerja di mana? Tapi kan kita belajar mengenal anak lebih dalam,” ungkapnya. 

“Lalu gimana bisa ke sini? Panggilan Tuhan juga kali. Gak ngerti juga,” imbuhnya.

Akhirnya, pada tahun 2020 lalu, bersamaan dengan awal pandemik COVID-19, Febby semakin yakin dengan pilihannya mengabdi mendidik anak-anak ini. Ia memilih membatalkan rencananya melanjutkan sekolah di Malang. Padahal sudah dua kali ia sempat berencana untuk berhenti bekerja di sana.

May be ini kali. Tuhan mau ngarahin ke sini. Dan I am a teacher gitu. Biasanya sekarang orang-orang kerja cari uang gitu. Bukan lihat ke duitnya. Tapi this kids need me gitu,” jelasnya.

2. Andik Santoso rela terobos jalan berlumpur 11 kilometer dan menyeberangi 3 sungai untuk mengajar

Kisah Para Guru Inspiratif dan Rela Menerjang Bahaya Demi SiswaGuru honorer Andik Santoso berjalan di atas lumpur menuju SDN Jipurapah 2, Kabupaten Jombang. Dok Andik Santoso

Untuk menuju sekolah tempat mengajar, Andik Santoso, guru honorer yang berusia 33 tahun ini setiap harinya harus menempuh perjalanan sejauh 11 km dari rumahnya di Desa Kedungkumpul, Kecamatan Sukorame, Kabupaten Lamongan.

Perjalanan menuju SDN Jipurapah 2, Kabupaten Jombang tidaklah mudah, Andik harus menelusuri jalan setapak di tengah rimbunnya hutan mengunakan sepeda motor yang di modifikasi seperti motor trail.

Perjalanan menuju tempatnya mengajar, , kata Andik, sangat berat. Terlebih apabila sudah memasuki musim penghujan. Jalan tersebut nyaris tidak bisa dilalui karena kondisinya berlumpur. Bahkan, Andik mengaku pernah berjalan kaki pulang pergi menuju ke sekolah. 

"Kalau hujan ya berat mas medannya. Pernah saya paksakan naik motor tapi sampai di tengah perjalanan motor saya tidak bisa jalan. Akhirnya motor itu saya tinggal selama 3 hari di tengah hutan," kata Andik kepada IDN Times, Kamis (30/9/2021).

Selama mengajar, Andik sudah ganti motor sebanyak 10 unit lebih. Motor tersebut kerap mengalami kerusakan di bagian mesin karena keseringan terendam air yang bercampur dengan lumpur. Andik sendiri berangkat dari rumah ke sekolah sekitar pukul 06.00 pagi tiap hari. Kalau cuaca tengah bersahabat, biasanya ia akan tiba di sekolah pukul 07.00 WIB. Namun, jika kondisi jalan rusak, ia baru akan tiba 1,5 jam setelahnya.

"Sebenarnya ada jalan raya yang lebih bagus. Tetapi jarak tempuhnya sangat jauh. Saya harus mutar sejauh 50 kilometer. Dan ini sangat berat sekali mas," imbuhnya.

Lokasi sekolah Jipurapah 2 sendiri, kata Andik, berada di lembah perbukitan perbatasan antara Kabupaten Jombang dan Lamongan sekolah yang berada di kawasan terpencil tersebut juga dibelah oleh tiga sungai. Maka tak jarang jika saat musim hujan tiba sungai tersebut kerap meluap dan air sungai mengalir sangat deras.

"Pernah saya menyeberangi sungai kondisi airnya pasang. Saya sempat hanyut tapi Alhamdulillah masih beruntung bisa selamat setelah meraih batang kayu di samping sungai," jelasnya.

Andik mengaku sudah mengajar di sekolah tersebut sejak tahun 2006 silam. Awal mulanya ia mengajar di sana karena diberitahu oleh seseorang jika di SDN Jipurapah 2 masih kekurangan guru. Karena saat itu ia baru saja lulus SMA ia pun akhirnya mengabdikan diri.

3. Zairiah Lubis, guru difabel yang rela mendatangi rumah murid yang tidak memiliki gawai

Kisah Para Guru Inspiratif dan Rela Menerjang Bahaya Demi SiswaZairiah Lubis guru difabel di Lampung sudah 21 tahun mengajar (IDN Times/Istimewa)

Semangat, ceria dan inspiratif. Tiga kata itu pantas disematkan untuk sosok guru tak lelah berjuang meski pandemik COVID-19 melanda. Adalah Zairiah Lubis, guru Taman Kanak-Kanak (TK) Nursa di Komplek Yuka, Panjang, Bandar Lampung.

Selama 21 tahun Zairiah mengabdikan diri sebagai guru honorer. Keterbatasan fisik sebagai difabel tak membatasi aktivitasnya. Ia bahkan dikenal sebagai perempuan percaya diri, mudah bergaul tanpa merasa minder dengan keterbatasannya.

Zairiah menceritakan keinginan besarnya menjadi guru sudah tertanam sejak usia remaja. Sayangnya, perempuan kelahiran Medan, Sumatera Utara ini tak kuasa menolak permintaan sang ayah untuk menjadi seorang pengacara.

"Jadi awalnya dulu di Medan saya ambil jurusan Ilmu Hukum ngikutin kemauan orangtua," ceritanya.

Namun setelah lulus 1986 Zairiah tak melanjutkan menjadi pengacara. Ia justru mengajar anak-anak korban narkotika di lingkungan pondok sosial Medan.

Menurutnya itu pengalaman tersulit karena yang dihadapi bukan anak biasa. Sejak itu ayahnya akhirnya mengizinkan Zairiah menjadi guru.

“Saya juga dulu sempat mengajar pemberantasan buta huruf di Palembang. Dari situlah saya kenal dengan suami dan ikut ke Lampung karena suami saya dari Lampung,” kata Zairiah kepada IDN Times, Selasa (28/9/2021).

Di Lampung, Zairiah semakin mengembangkan kemampuannya mengajar. Bahkan kuliah Sarjana S1 Pendidikan Anak Usia Dini. Namun, setelah memiliki dua orang anak, suaminya meninggal dunia. Zairiah akhirnya secara mandiri menjadi ibu sekaligus kepala keluarga.

Pada saat itu, Zairiah menjadi guru di Taman Pendidikan Al-Quran (TPA) Panjang. Melihat kemampuan Zairiah sangat bagus dalam mengajar, pihak yayasan memintanya mengajar di Taman Kanak-Kanak (TK).

Bahkan di tahun 2015, Zairiah menjadi pemenang sebagai guru TK Multitalent se-Kota Bandar Lampung dan mendapat hadiah umrah gratis dari wali kota Bandar Lampung saat itu.

“Anak-anak bisa akrab dan menerima saya. Kebetulan teman-teman ada yang tamat SMA aja dan gak ngerti kurikulum jadi mereka belajar dari ibu,” kata perempuan akrab disapa Bu Lubis ini.

Saat mengajar Zairiah tak pernah menggunakan jasa ojek untuk bisa sampai ke sekolah. Dia menempuh sekitar 3 kilometer berjalan kaki.

Menurutnya jika menggunakan jasa ojek tidak sesuai honor dia terima. Bahkan selama pandemik ini pun dia rela mendatangi rumah muridnya lantaran ada beberapa murid tidak memiliki gawai untuk belajar online.

“Kalau online kan muridnya menengah ke bawah apalagi di masa pandemik ada bapaknya yang gak kerja gak punya uang buat beli kuota. Gak papa capek sedikit yang penting bisa mengajar langsung bertemu anak-anak dengan protokol kesehatan,” ungkapnya.

4. Kisah Taufik memutar otak mengajar secara online tanpa akses internet

Kisah Para Guru Inspiratif dan Rela Menerjang Bahaya Demi SiswaAnak pelajar di Desa Muara Enggelam di Kutai Kartanegara Kalimantan Timur yang sedang menunggu jemputan perahu. (IDN Times/Nina)

Desa Muara Enggelam adalah salah satu desa terisolasi di Kecamatan Muara Wis Kabupaten Kutai Kartanegara (Kukar) Kalimantan Timur (Kaltim).

Jangankan akses internet, sarana infrastruktur jalan desa pun tak tersedia di situ. Tantangan berat bagi seluruh tenaga pendidik Sekolah Dasar Negeri (SDN) 011 Muara Wis dalam menjalankan tugasnya di samping pelbagai kendala di masa pandemik COVID-19 melanda Kaltim. 

Seperti dialami salah seorang guru tenaga harian lepas (THL) di SDN ini bernama Taufik mengaku, butuh kerja keras dan kreativitas mengajar di sekolah pedalaman. Dalam mengakali keterbatasan infrastruktur agar proses belajar mengajar tetap berjalan.

Salah satunya seperti sekarang ini, di mana pemerintah mewajibkan pembelajaran secara online guna memutus mata rantai penyebaran virus COVID-19. Di sisi lain, jaringan internet masih menjadi barang yang langka bagi mayoritas masyarakat Muara Enggelam.

Belum lagi permasalahan minimnya jumlah warganya yang memiliki gadget ponsel pintar dan laptop yang mumpuni.  

Ia harus memutar otak agar proses belajar mengajar tetap lancar. 

“Kami di sini kendalanya sinyal ya. Kalau di Mueng ini, kekuatan sinyal cuma di satu tempat. Sisanya pasti hilang sinyal," paparnya. 

Guru sekaligus nelayan air di Danau Semayang harus kreatif agar anak didiknya tetap aktif belajar. 

“Selama pandemik kan, semua sekolah diwajibkan untuk melakukan belajar online. Di sini kami tidak bisa. Akhirnya saya setiap keluar dari desa, suka muncul ide-ide bagus untuk memecahkan masalah kami di desa,” terangnya.

Salah satunya, Taufik berinisiatif merekam video materi pelajaran mempergunakan gawainya. Setelah itu, ia mendatangi satu per satu rumah anak didiknya untuk membagikan rekaman video tersebut. 

Prosesnya lumayan jadul dengan mempergunakan sarana jaringan bluetooth ponsel.

“Saya ke rumah rumah anak didik saya, untuk videonya bisa saya kirim dan dipelajari oleh anak-anak di rumah. Mau virtual, tapi masih sulit akses internet di sini,” tuturnya.

5. Tantangan Yanti mengajar siswa down syndrome

Kisah Para Guru Inspiratif dan Rela Menerjang Bahaya Demi SiswaSiswa berkebutuhan khusus di SLB Surya Gemilang Kendal Jawa Tengah mengikuti simulasi belajar tatap muka. (dok. pribadi/Yuliyanti)

 Yuliyanti, guru Sekolah Luar Biasa (SLB) Surya Gemilang di Kabupaten Kendal, Jawa Tengah rela menemui siswa dan menempuh jarak yang cukup jauh semata-mata hanya ingin memberikan mengajar mata pelajaran yang diampu.

Upaya itu dilakukan karena mengajar secara daring tidak memungkinkan bagi siswa difabel. Dengan terpaksa, mereka harus bertatap muka atau belajar secara luring agar pelajaran dapat dimengerti oleh siswa difabel.

Yuliyanti yang mengajar siswa berkebutuhan khusus down syndrome di jenjang SMA kelas 12 di SLB Surya Gemilang harus meluangkan waktu seminggu dua kali untuk bertemu mereka. Ia menempuh jarak sekitar 10 sampai 20 kilometer dari rumahnya di Desa Margosari Kecamatan Limbangan ke Desa Cacaban Kecamatan Singorojo.

"Selama pandemik ketika sekolah tatap muka dilarang dan berganti daring agak susah untuk memberikan pelajaran apalagi bagi siswa berkebutuhan khusus. Sebab, siswa SLB butuh penanganan ekstra dan harus didampingi. Maka, agar mereka bisa tetap belajar saya mengambil risiko menemui siswa dan mengajar secara langsung," ungkapnya saat dihubungi IDN Times, Jumat (1/10/2021).

Perempuan berusia 31 tahun berinisiatif membuat kelompok belajar bagi sembilan anak didiknya untuk belajar bersama. Terkadang jika ada orangtua siswa yang tidak bisa mengantar anaknya, juga rela menjemput siswa tersebut untuk bisa ikut belajar.

‘’Kalau ada siswa yang tidak ada yang mengantar ke lokasi belajar ya saya juga ngalahi tak jemput. Jadi nanti berangkat sama saya. Namun, dengan usaha ini pun juga tidak selalu semua siswa hadir untuk menerima pelajaran, paling yang datang lima sampai enam siswa saja,’’ tuturnya.

Perempuan yang akrab disapa Yanti ini selalu dengan sabar memberikan pelajaran kepada siswa down syndrome tersebut. Diakuinya, memang tidak mudah dan selalu banyak tantangan, sebab kemampuan mereka menyerap pelajaran berbeda-beda satu sama lain.

‘’Walaupun siswa duduk di SMA kelas 12 mereka mengenal angka masih susah, nulis saja butuh bimbingan dan harus dituntun. Kalau saya kasih materi sesuai dengan kelasnya tidak bisa, sehingga saya kasih pelajaran yang paling mudah seperti mencontoh dan meniru biar mereka lebih memahami,’’ ujarnya yang mengampu semua pelajaran dan merangkap sebagai wali kelas juga.

Menurut Yanti, sama-sama memiliki kebutuhan khusus down syndrome, tapi kemampuan setiap siswa berbeda-beda. Ada yang menghafal angka 1 sampai 10 sudah bisa, tapi ada yang mengucap masih sulit atau bicara tidak lancar.

Sebagai guru SLB juga banyak sekali suka duka yang dialami Yanti yang sejak kecil bercita-cita menjadi guru itu. Ia harus bisa mengendalikan atau mengontrol emosi.

‘’Kalau mau marah tuh saya malah senyum sendiri, ngapain marah sama anak-anak ini. Walaupun kadang juga sedih sudah berusaha semaksimal mungkin agar mereka paham dengan pelajaran tapi tetap gagal,’’ ujarnya.

6. Mardimpu Sihombing terpaksa belajar Tiktok untuk mengajar geografi

Kisah Para Guru Inspiratif dan Rela Menerjang Bahaya Demi SiswaMardimpu Sihombing guru yang mengajar dengan TikTok (Dok.IDN Times/istimewa)

Mardimpu Sihombing, seorang guru muda pelajaran geografi di SMA Santa Maria Medan punya cara unik untuk mengajari siswa-siswinya. Yakni dengan aplikasi TikTok yang populer di kalangan anak muda. 

Mardimpu memanfaatkan dunia digital selama sekolah daring pada masa pandemik COVID-19.

"Pertama sekali jujur awalnya gak suka sama sekali aplikasi Tiktok ini. Karena dulu saya melihat ini kayaknya aplikasi untuk goyang-goyang atau joget-joget doang. Bukan tidak berfaedah tapi lebih ke arah bakat," ucap Mardimpu yang sudah 11 tahun menjadi guru.

Setelah diperhatikan, aplikasi TikTok tersebut ternyata dapat mengubah paradigma negatif menjadi sebuah hal positif yang tentunya bermanfaat dari gabungan kreatifitas dan inovatif. "Dengan konyol saya download aplikasi tiktok, dan pertama sekali saya tanya (pelajari) dari siswa konten tiktok. Lalu, mereka ajak joget meskipun saya gak pandai joget," ujarnya.

Dengan akun Tiktoknya @mardimpusihombing, ia mulai mempelajari dan punya ide untuk mengajar dengan cara baru. Pola pikirnya berubah, ia merasa aplikasi TikTok dapat membantunya untuk menerapkan pelajaran kepada siswa dan bisa menjadi solusi ketika seorang guru jenuh. Maka hal yang dilakukan salah satunya berjoget bersama dengan murid.

"Saya coba beberapa hari saya pakai TikTok, dapat respon dari generasi Z terutama siswa bilang 'Wah, kalau begini mengajarnya, gurunya seru'. Artinya banyak respon baik dari siswa, dan bukan hanya dari respon siswa saya tapi sampai media sosial dan media online merepost terkait TikTok itu," jelas Mardimpu.

Saat itu juga, ia berpikir panjang untuk dapat manfaatkannya. Diakui oleh Mardimpu bahwa, awal pelajari aplikasi Tiktok tersebut mengalami kesusahan untuk menerapkan pemberlakuan pembelajaran kepada siswanya.

"Agak sulit karena apa yang bisa saya lakukan dengan ini. Tapi pertama saya pelajari dulu, lihat fitur di dalam. Bisa begini begitu. Semenjak itu saya mengajar lewat TikTok. Ulangan lewat TikTok. Tapi sebelumnya memang sudah saya petakan dulu siswa mau tidak? Baik perempuan maupun laki-laki," tambahnya.

Karena biasanya TikTok didominasi oleh kaum perempuan daripada laki-laki. Namun, ia tak pantang menyerah untuk mendalami lagi aplikasi Tiktok agar berguna untuk siswanya.

"Saya berkelana lagi cari-cari. Biasa banyak travel membuat konten mengenai objek wisata dan saya kan mengajar geografi. Mau pelajaran apa saja bisa. Ternyata seru, sersan (serius tapi santai) dari hasil pemetaan saya menggunakan TikTok banyak. Rata-rata 99 persen. Dari situ saya berinovasi dan menginspirasi, melihat dan belajar dari banyak orang juga. Konten apa yang cocok dari pembelajaran," jelasnya.

7. Yulianti berikhtiar memberi energi lewat edukasi pada anak berkebutuhan khusus

Kisah Para Guru Inspiratif dan Rela Menerjang Bahaya Demi SiswaYulianti mendirikan Sekolah Dreamable lembaga pendidikan yang bisa diakses anak difabel intelektual di Desa Tegalluar, Kabupaten Bandung (IDN Times/Debbie Sutrisno)

Yulianti, warga di Desa Tegalluar, Kabupaten Bandung, membangun lembaga pendidikan yang bisa diakses anak difabel intelektual. Sekolah Dreamable. Begitu lembaga pendidikan ini sekarang dinamai setelah berdiri pada 2016.

Yulianti menuturkan, keinginannya untuk memberikan pendidikan kepada ABK tidak terlepas dari pengalaman pribadi sebagai orang tua dengan anak masuk kategori difabel grahita ringan. Sering berkumpul dengan ibu-ibu di sekitar desa, Yulianti menyadari bahwa anak dengan kondisi serupa di Tegalluar ternyata cukup banyak.

"Banyak anak berkebutuhan khusus di desa ini tidak bersekolah. Lalu saya berinisiatif mendirikan sekolah ABK untuk mempermudah akses pendidikan mereka," ujar Yulianti ketika berbincang dengan IDN Times beberapa waktu lalu.

Memberi pengetahuan untuk siswa ABK tidak mudah dilakukan. Bukan hanya karena siswanya, tapi juga orang tua mereka yang kerap tidak mengizinkan anaknya mendapat pendidikan.

Selama ini masih banyak orang tua yang punya anak difabel intelektual merasa malu. Alhasil anak mereka lebih banyak berdiam di rumah dan hanya belajar dengan keluarganya.

Hal ini coba didobrak Yulianti. Dia mendatangi satu per satu rumah untuk berbincang dengan orang tua anak. Hasilnya, mereka perlahan luluh dengan tekad Yulianti untuk mengajar anak difabel. Dari awal hanya 4 siswa, sekarang sudah bertambah menjadi 53 siswa.

"Sebelum ada ruangan khusus untuk belajar, anak-anak sempat belajar di rumah saya. Memang tidak banyak hanya bisa menampung 18 anak," kata dia.

Untuk alat pelajaran, Yulianti lebih sering merogoh kocek sendiri membelikan buku atau puzzle untuk belajar anak. Pernak-pernik pun biasa dia beli atau buat agar anak-anak lebih ceria ketika belajar.

Setelah sekolah ini berjalan dan mendapat bantuan dari berbagai pihak, Dreamable akhirnya memiliki tempat di PKBM Hidayah yang tidak jauh dari kantor Desa Tegalluar. Untuk sampai ke tempat ini, ada satu mobil bantuan yang bisa menjemput dan mengantarkan siswa setiap bersekolah.

Namun pandemik yang menerjang Indonesia sejak 2020 membuat pembelajaran di kelas terhenti. Tak patah arang, Yulianti dan sejumlah pengajar di Dreamable memutar orang untuk tetap memberikan pembelajaran kepada para siswa.

Sempat mencoba belajar secara daring, cara ini dianggap tidak memberika dampak pada siswa. Dengan kebutuhan siswa yang berbeda-beda, Yulianti pun kemudian mengajar siswa rumah ke rumah.

"Jadi setiap siswa dapat jatah satu kali seminggu. Setiap hari saya datangi kadang satu anak kadang dua anak. Memang tidak banyak tapi ini lebih efektif," ujarnya.

Sekarang seiring berjalannya waktu dan adanya penurunan kasus COVID-19, kelas belajar di PKBM Hidayah sudah dibuka secara bertahap. Siswa ABK bisa belajar di kelas dengan jumlah yang terbatas. Sebagian ada yang belajar daring, dan lainnya tetap didatangi ke rumah untuk belajar.

8. Kisah Mul yang ajarkan anak-anak Baduy membaca meski tanpa sekolah formal

Kisah Para Guru Inspiratif dan Rela Menerjang Bahaya Demi SiswaMulyono (Dok. Istimewa/Mulyono)

Meski anak-anak suku Baduy, di pedalaman Lebak tidak mengenyam pendidikan formal, namun kini sebagian anak-anak kecil di Baduy sudah bisa membaca. Hal ini berkat dedikasi Mulyono atau Mul, seorang pemuda Baduy asli. Selama belasan tahun, dia aktif mengajar baca tulis bagi warga Baduy.

Pemuda yang kini berusia 26 tahun ini adalah satunya warga Baduy yang mengenyam pendidikan hingga perguruan tinggi.

Dia bercerita, saat kecilnya mulanya dia belajar dari sang ayah dengan metode ejaan Sunda, alat tulisnya menggunakan arang bekas kayu bakar. Sarpin, ayahnya merupakan warga Baduy pertama yang bisa membaca.

"Bapak dulu gak sekolah. Cuma, ada teman orang luar, belasan tahun sering bolak-balik ke Baduy. Belajar dari situ," kata Mulyono saat berbincang dengan IDN Times, Rabu (29/9/2021).

Karena penasaran akhirnya Mul melanjutkan pendidikan formal dengan mengikuti paket A hingga C. Dan kini dia duduk dibangku kuliah semester 6 di Universitas Terbuka (UT) di Serang. Tapi kuliah dilakukan secara online.

''Biar saya tetap ada di Baduy.  Kedua tidak terlalu terlihat kalau misalnya pulang pergi tiap hari ke kampus otomatis menimbulkan kecurigaan," katanya.

Rumahnya di Kampung Balingbing, Desa Kanekes, Kecamatan Leuwidamar, menjadi tempat anak-anak Baduy yang ingin belajar membaca. Kini setidaknya ada sekitar 20 lebih anak rutin datang ke rumahnya. Namun, pembelajaran itu hanya diikuti oleh warga Baduy Luar.

Perjalanannya untuk menjadikan rumah sebagai tempat belajar cukup panjang serta banyak hambatan. "Kalau awal mulanya bukan saya yang ngebangun, tapi sudah sejak saya kecil oleh orangtua saya," katanya.

Rumah baca itu didirikan karena dimulai dari keresahan Mul bersama ayahnya yang melihat masyarakat kesulitan membaca buku KB yang diberikan pemerintah. "Datang ke rumah saya nanya ini saya ke bidan harus tanggal berapa," katanya.

Kendati sudah cukup lumayan banyak anak-anak Baduy yang antusias datang ke rumanya untuk belajar, dia tidak ingin membuat rumah bacanya berjalan secara terstruktur karena khawatir akan seperti sekolah formal dan akan bertabrakan dengan perintah adat.

"Saya takutkan ada sekolah, Baduy akan mengancam komunitas kita. Anak-anak mau datang ya silakan, gitu aja," katanya.

Bahkan di sela-sela mengajar baca dan tulis, Mul selalu mengingatkan anak-anak Baduy untuk tidak meninggalkan aturan adat yang berlaku sebagaimana yang telah dijalankan nenek moyang dari turun-temurun seperti berladang dan melestarikan alam.

9. Kebahagiaan Ria mengajar anak berkebutuhan khusus

Kisah Para Guru Inspiratif dan Rela Menerjang Bahaya Demi SiswaSekolah Luar Biasa Karya Ibu Palembang (IDN Times/Feny Maulia Agustin)

Sudah hampir lima tahun belakangan, Ria menjadi guru di Sekolah Luar Biasa (SLB) Tuna Grahita Karya Ibu, Jalan Sosial Km 5 Palembang. Ia bahagia menjalani kesehariannya bertemu anak-anak yang memiliki kemampuan istimewa. Bahkan dengan mengajari mereka, segala masalah bisa ia lupakan sejenak.

"Tingkah laku dan kesopanan mereka memberi pembelajaran untuk kita yang kadang-kadang suka mengeluh dengan persoalan hidup," kata dia kepada IDN Times, Rabu (29/9/2021).

Perilaku polos dan ekspresi lucu dari para siswa SLB membangun kesan spesial bagi siapa pun yang ingin dekat dengan mereka. Terkadang tanpa berbicara, mereka memahami apa yang dirasakan seseorang saat berhadapan langsung.

"Ada saja sikap anak-anak yang menghibur, bikin tertawa. Mereka itu spesial dan istimewa, tidak ada perbedaan. Mereka juga ciptaan Allah," ujarnya.

Ria sempat berputus asa karena tak sanggup menghadapi anak-anaknya. Menurutnya, anak-anak istimewa tersebut memiliki kemampuan kecerdasan yang tak sama dibandingkan siswa normal.

"Tingkat intelegensi anak berbeda-beda, rata-rata IQ mereka di angka 70 ke bawah," ungkapnya.

Ria menjelaskan, guru yang baru mengajari anak berkebutuhan khusus kerap patah arang karena harus lebih ekstra. Terkadang ada saja momen guru harus menerima sikap jahil atau mendapati perilaku abai dari anak-anak tersebut.

"Karena memang butuh cara berbeda menghadapi mereka. Sebagian dari mereka sulit mendengar, ada yang berbicara kurang jelas, dan bahkan ada sulit berkomunikasi karena intelektual yang kurang normal," tambah dia.

Lambat laun, Ria menjalani keseharian dan menemukan hal-hal baru hingga membuatnya bahagia. Ia perlahan menerima rezeki dari Allah karena berkesempatan untuk merawat, mendampingi, dan mengajari anak-anak spesial.

"Sama seperti di sekolah umum, di sini belajar teori dan praktik juga. Tapi melihat kemampuan dan keinginan mereka. Tidak bisa disamakan cara mengajarinya. Pelan-pelan dan jangan ada kekerasan. Kalau kita tulus, Insya Allah mudah komunikasi sama mereka," timpalnya.

10. Ayu, sudah 11 tahun naik turun bukit demi mengajar di Nusa Penida

Kisah Para Guru Inspiratif dan Rela Menerjang Bahaya Demi SiswaAnak Agung Ayu Eka Samudera Yanti, Guru PNS di Nusa Penida (Dok. Pribadi sebelum pandemik COVID-19)

Anak Agung Ayu Eka Samudera Yanti tidak pernah menyangka jika dirinya akan ditempatkan di Nusa Penida. Ia sudah lama bercita-cita menjadi guru tari, dan hal itu berhasil dicapai. Hanya saja ia harus ditempatkan di Sekolah Menengah Pertama Negeri (SMPN) Satu Atap (Satap) 2 Batukandik, Nusa Penida, Kabupaten Klungkung.

"Awalnya tidak terbayang akan jadi guru di Nusa Penida, yang tempatnya jauh dan nyeberang lautan. Tapi justru diangkat jadi guru di Nusa Penida," ungkap perempuan 36 tahun ini, Rabu (29/9/2021).

Sejak awal ditempatkan di Nusa Penida, Ayu Samudera langsung dipercaya menjadi guru seni dan budaya di SMPN Satap 2 Batukandik. Lokasi sekolahnya berada di wilayah perbukitan. Sebelas tahun lalu, jalanan menuju desa setempat banyak yang rusak. Jarak rumah kos dan sekolah tempatnya mengajar sekitar 18 kilometer.

Sehingga Ayu Samudera setiap hari harus naik turun bukit, ditambah kondisi jalanan yang rusak.

"Saat berangkat ke sekolah, tidak jarang juga diguyur hujan deras dan angin kencang karena wilayahnya di perbukitan," jelas guru PNS ini.

Ayu Samudera lalu menceritakan pengalaman yang tidak akan pernah ia lupakan, ketika harus berjuang menjalankan kewajiban sebagai seorang guru.

Dalam kondisi hamil besar, ia harus mengendarai sepeda motor ke Desa Batukandik untuk mengajar. Ia pernah diguyur hujan lebat dan harus melalui jalan rusak, sehingga menghambat dia pergi ke sekolah. Kemudian mesin sepeda motornya mati.

"Motor saya mati di jalanan sepi dan itu wilayah perbukitan. Saya harus dorong motor cari bengkel yang lumayan jauh. Tapi astungkara sampai saat ini masih dalam lindungan Tuhan dan selalu diberikan keselamatan," katanya.

Banyak pengalaman lain yang harus ia jalani selama mengajar di Nusa Penida. Mulai dari menghadapi gelombang jelek, hujan badai, dan pernah boat yang ditumpanginya oleng ketika menyeberangi ke Nusa Penida untuk mengajar.

Sebagai seorang ibu, Ayu Samudera tidak bisa intens bertemu serta mengurus anak-anak dan keluarganya secara langsung selama berada di Nusa Penida. Ia hanya bisa pulang dan bertemu keluarga setiap akhir pekan.

Ia tetap menjalin komunikasi melalui smartphone. Jika mendapatkan sinyal bagus, ia mengupayakan video call supaya bisa melihat anaknya. Namun jika sinyal jelek, ia harus menahan rindu dengan hanya mendengar suara anaknya.

"Sedih banget seperti itu, terutama di saat anak sakit. Saya tidak bisa dampingi anak yang mestinya harus lebih berperan untuk mengasuh anak," ungkapnya.

Tidak hanya itu, menjadi seorang guru di kepulauan membuatnya harus mengeluarkan biaya lebih. Khususnya untuk biaya boat ketika harus pulang ke rumah setiap pekan, biaya kos, dan kehidupan sehari-hari di Nusa Penida.

"Terkadang pengeluarannya lebih banyak dibandingkan penghasilan gaji yang diterima. Namun kewajiban sebagai guru membuat saya bertahan."

Itulah beberapa kisah inspiratif para guru di berbagai daerah di Indonesia yang berhasil dirangkum IDN Times dalam liputan kolaborasi dalam rangka memeringati Hari Guru se-Dunia.

Guru, namamu akan selalu hidup dalam sanubari murid-muridmu!

Topik:

  • Arifin Al Alamudi

Berita Terkini Lainnya