Jejak Kaki di Lubuk Lanjut, Perlawanan Warga Rempang Masih Berdenyut
Satu tahun perjuangan perlawanan masyarakat di Pulau Rempang
Follow IDN Times untuk mendapatkan informasi terkini. Klik untuk follow WhatsApp Channel & Google News
Batam, IDN Times - Senja tampak mulai redup di ufuk barat kala Muhammad Sani (64) mulai menembus rimbunnya hutan Lubuk Lanjut, Pulau Rempang, Kota Batam, Kepulauan Riau.
Senyumnya tampak lebar meski batinnya jelas berkecamuk kekhawatiran. Namun, ia terlihat tegar. Semangatnya menjaga tanah warisan leluhur dari rencana pemerintah yang hendak mengubah kawasan Rempang, masih menyala dari binar wajahnya.
Lubuk Lanjut bukan sekadar hutan belantara. Dahulu, hutan ini merupakan titik perkampungan pertama di Pulau Rempang, dan menjadi saksi perjalanan hidup Sani.
"Hutan ini dulunya adalah perkampungan, namanya Lubuk Lanjut. Saya lahir di sini, dan orang tua saya dimakamkan di sini," kata Sani di bawah rimbunnya dedaunan pohon Ara, di tengah suasana tenang dan teduh area pemakaman, Jumat (6/9/2024).
Ziarah yang dilakukan Sani dan warga lainnya bertujuan untuk meminta petunjuk dan meminta kepada para leluhur, agar aksi satu tahun perjuangan warga terus bertahan dan berakhir dengan dibatalkannya Proyek Strategis Nasional (PSN) di Pulau Rempang.
Esok, 7 September 2024, menjadi penanda satu tahun sejak tim terpadu dari Badan Pengusahaan (BP) Batam mencoba memaksa masuk ke Pulau Rempang untuk melakukan pengosongan lahan. Aksi tersebut berujung pada bentrokan antara warga dan aparat bersenjata.
"Bagi masyarakat di Pulau Rempang, perjuangan mempertahankan tanah kelahiran mereka bukanlah sekadar pertarungan. Tapi perjuangan untuk menjaga identitas, sejarah, dan warisan leluhur yang sudah berlangsung berabad-abad," tegas Sani.
Warisan kerajaan Riau-Lingga, benteng identitas
Di balik pohon-pohon besar yang menjulang tinggi, Sani mengenang kisah perlawanan leluhur mereka di tanah ini, yang dulunya menjadi bagian dari benteng pertahanan Kerajaan Riau-Lingga.
"Kami memohon agar kampung-kampung tua di Pulau Rempang tidak digusur. Ini adalah tanah adat peninggalan kerajaan, warisan leluhur kami," tutur Sani.
Lubuk Lanjut dan 16 kampung tua lainnya di Pulau Rempang bukan hanya sekadar tempat tinggal bagi masyarakat setempat. Tanah ini menyimpan jejak peradaban yang diwariskan dari generasi ke generasi.
Sejak tahun 1675, jauh sebelum Vereenigde Oost-Indische Compagnie (VOC) menjejakkan kaki di Nusantara, leluhur masyarakat Rempang telah menetap di wilayah ini. Setiap jengkal tanahnya menjadi saksi perjuangan menghadapi penjajah.
"Pada tahun 1715, perlawanan di sini semakin memuncak. Masyarakat di Kampung Lubuk Lanjut tersebar untuk menyelamatkan diri," kenang Sani, yang merasa memiliki tanggung jawab besar sebagai keturunan ke-9, dari para pejuang kerajaan.
Di tengah ancaman penggusuran untuk proyek pembangunan, Sani dan warga sering berkumpul untuk mengadakan doa bersama di makam leluhur mereka.
"Kami berdoa kepada arwah para leluhur, agar mereka merestui dan melindungi niat kami mempertahankan tanah ini," lanjutnya, dengan tangan gemetar mengusap nisan orang tuanya.