IDN Times/Masdalena Napitupulu
Meskipun demikian, Dedi tak putus asa. Ia tetap berjualan dan memasarkannya lewat sosial media. Ia menceritkan, semua bermula dari permasalahan yang ada di desa. Ia melihat, masyarakat yang berada di desa tersebut memiliki hasil produk yang kerap dijadikan oleh-oleh pada sejumlah gerai, namun tidak selalu habis terjual.
"Di sini banyak yang buat makanan lalu dijadikan oleh-oleh, permasalahannya itu ketika tidak habis terjual. Berarti produk ini butuh tempat pemasaran," ujarnya.
Tak hanya itu, katanya, desa ini juga memiliki makanan tradisional yang banyak jenisnya, namun tidak laku dijual untuk warga sekitar. "Saya melihat banyak makanan tradisional tapi tidak laku dijual di sini. Berarti target pasarnya harus dari luar daerah," ucapnya.
Dari sana, ia kemudian memikirkan lagi apa hal unik yang bisa membantu warga untuk menjual produknya. Ia pun memilih tempurung kelapa untuk membuat nilai tukar yang unik. "Bat diambil dari nama batok kelapa, tapi kurang cocok karena seperti mata uang Thailand. Jadi kita ganti nama tempu, dari nama tempurung," katanya.