Iklan - Scroll untuk Melanjutkan
Baca artikel IDN Times lainnya di IDN App
Sugianto pengawas BBJP Plant Tempat Pembuangan Akhir (TPA) Terjun di Kecamatan Medan Marelan menunjukkan sampah organik yang sudah diolah menjadi biomassa untuk co-firing di PLTU UBP Pangkalan Susu, Rabu (13/11/2024) (IDN Times/Doni Hermawan)

Sampah di Tempat Pembuangan Akhir (TPA) Terjun, Kota Medan, kini jadi pendorong percepatan net zero emission.
Muasalnya, berton-ton sampah menggunung di sana kini
dikelola jadi sumber energi baru terbarukan (EBT) untuk
campuran bahan bakar pengganti batubara atau proses co-firing.

Co-firing ini diperuntukkan untuk Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) Pangkalan Susu, Langkat. Hasilnya, selain mendorong terwujudnya lingkungan bersih, juga mampu menekan penggunaan bahan fosil. Selama penggunaan co-firing dari TPA Terjun, PLTU Langkat mampu menghemat 148.921 ton bahan bakar batubara.

Proses pembuatan co-firing dilakukan, di pabrik pengelolaan sampah Bahan Bahan Bakar Jumputan Padat (BBJP) Plant. Pabrik ini didirikan PT PLN Indonesia Power (IP) Unit Bisnis Pembangkitan (UBP) Pangkalan Susu sejak Desember 2022. Lokasi Pabrik BBJP berada di Kelurahan Paya Pasir, Kecamatan Marelan, Kota Medan atau tepat berada di TPA Terjun.

Sugianto pengawas BBJP Plant Tempat Pembuangan Akhir (TPA) Terjun di Kecamatan Medan Marelan saat memproses sampah organik yang sudah diolah menjadi biomassa untuk co-firing di PLTU UBP Pangkalan Susu, Rabu (13/11/2024) (IDN Times/Doni Hermawan)

Saat IDN Times mengunjungi BBJP Rabu (14/11/2024) sekira pukul 08.00, Sugianto (45) pengawas BBJP, tampak sibuk mengawasi pekerjaan 5 karyawannya saat memproses sampah menjadi bahan bakar jumputan.

Di lokasi seluas 20 meter x 5 meter tersebut, ada yang bertugas menyeleksi sampah organik, menyiramkan larutan bioaktivator untuk fermentasi, melakukan proses pencacahan sampah halus dan kasar dan terakhir mem-packing produk biomassa ke dalam karung. Kegiatan itu, rutin dilakukan sejak pukul 08.00 hingga 17.00 setiap harinya.

Kepala Tim Penanganan Sampah di TPA Terjun, Azman (50) mengatakan Pabrik BBJP di TPA Terjun, merupakan yang pertama didirikan PLN di Sumut. Tempat itu adalah pilot project PLN yang disiapkan menjadi alternatif permasalahan sampah di Kota Medan, yang setiap harinya memproduksi 1.800 ton sampah.

Kata Azman, meski saat ini BBJB hanya menangani sampah organik, kehadirannya menjadi semangat baru, mengurangi produksi sampah sekaligus menghadirkan energi bersih dan ETB di Kota Medan. Setiap bulannya pihaknya bisa memproduksi co-firing sampai 3 ton dari sampah organik.

"Itu jadi ada manfaatnya, ranting pohon jadi bermanfaat daun-daunan selama ini terbuang juga ada manfaatnya. Kita manfaatkan menjadi co-firing untuk pembangkit listrik, pendamping bahan bakar batubara," katanya.

Kata dia, manfaat lain, pengelolaan co-firing juga diproyeksikan men-support pendapatan Asli Daerah (PAD) di Pemkot Medan. Karena setiap goni, co-firing yang dijual ke PLTU Batubara, kini mempunyai nilai ekonomis.

Kata Azman, awalnya pengerjaan Pabrik BBJP dikelola PLN sembari mengajarkan pegawai Pemkot Medan, bagaimana cara mengelola sampah organik menjadi co-firing. Setelah memberikan pembelajaran selama 1,5 tahun lebih, kini sejak Agustus 2024 pengelolaan Pabrik BBJP diserahkan sepenuhnya ke Pemkot Medan.

"Sekarang kita yang meneruskan apa yang sudah dilakukan PLN," katanya.

Kolaborasi menciptakan energi bersih

Ilustrasi - Petugas BBJP Plant Tempat Pembuangan Akhir (TPA) Terjun di Kecamatan Medan Marelan saat melakukan pemilahan sampah organik yang akan diolah menjadi biomassa untuk co-firing di PLTU UBP Pangkalan Susu, Rabu (13/11/2024) (IDN Times/Doni Hermawan)

Manajer Administrasi PT PLN Indonesia Power UBP Pangkalan Susu, Hendri Aman Purba menjelaskan, untuk mendukung program net zero emission, dibutuhkan kolaborasi antara pihaknya dan pemerintah daerah. Salah satunya dengan Pemkot Medan.

Alasan memilih Kota Medan, lantaran setiap harinya produksi sampah ibu kota Sumatra Utara ini mencapai 1.800 tom

"Di antara sampah-sampah dari Kota Medan tersebut ada yang berupa sampah organik, yang dapat diolah menjadi BBJP yang mengandung nilai kalor, sehingga dapat digunakan sebagai biomassa campuran bahan bakar untuk operasional program co-firing PLTU Batubara," kata Hendri, Kamis (14/11/2024).

Hendri menjelaskan, dari kolaborasi ini menciptakan simbiosis mutualisme. Pemkot Medan dapat mengurangi timbunan sampah di TPA dan PLTU mendapat suplai biomassa untuk dijadikan campuran batubara untuk operasional program co-firing.

"Ini kita lakukan dalam upaya meningkatkan bauran energi terbarukan. Tentu dalam upaya mendukung program pemerintah menuju net zero emission. Selain itu juga bisa menciptakan lapangan kerja baru di area TPA," tambah Hendri.

Hendri mengungkapkan, setiap harinya operasional PLTU memerlukan bahan bakar berupa campuran 3 persen biomassa dan 97 persen batubara untuk menghasilkan energi listrik.

"Jadi dengan adanya 3 persen biomassa (salah satunya BBJP) sebagai campuran bahan bakar untuk program co-firing maka penggunaan batubara sebagai energi fosil yang tidak terbarukan berkurang sebanyak 3 persen," katanya.

Dengan pencampuran ini, meningkatkan bauran energi baru terbarukan. Listrik yang diproduksi menjadi lebih bersih. "Kami juga bisa menghemat sebanyak 148.921 ton selama ini," tambah Hendri.

Dia juga menerangkan sebenarnya PLTU Pangkalan Susu membutuhkan lebih banyak BBJP dari TPA Medan. Per harinya BBJP bisa menyerap sebanyak 345 ton BBJP.

Namun dia tetap optimis kehadiran BBJP akan mampu membawa semangat baru, agar ke depannya menghasilkan produksi co-firing yang lebih banyak lagi.

"Sejauh ini total 6 ton BBJP dari TPA Terjun yang sudah kita serap, karena memang proyek ini belum lama berjalan. Ke depan tentu akan ditingkatkan lagi. Tentu dengan meningkatkan jam operasional," tutup Hendri.

Dari Co-Firing kejar target bauran EBT untuk mewujudkan Net Zero Emissions

Suasana Tempat Pembuangan Akhir (TPA) Terjun di Kecamatan Medan Marelan (IDN Times/Doni Hermawan)

Sementara itu Pengamat Ekonomi Energi, Fahmi Radhi mengatakan upaya PLN untuk mengurangi emisi dengan jalan co-firing merupakan ikhtiar yang baik untuk mewujudkan Indonesia net zero emission 2060. Meskipun dampaknya belum begitu besar, tentunya banyak manfaat yang ditawarkan program co-firing ini. Misalnya mampu menciptakan ekonomi keberlanjutan.

"Dengan adanya co-firing tadi dengan pengolahan sampah bisa mengurangi penggunaan batubara yang merupakan energi kotor. Co-firing juga tidak hanya mampu mengurangi emisi karbon, tetapi juga memberdayakan masyarakat dalam pengolahan bahan biomassa, sehingga dapat mengembangkan ekonomi kerakyatan," tambah pria berusia 63 tahun itu.

Dosen Universitas Gajah Mada (UGM) itu mengatakan di era transisi energi ini, inovasi co-firing PLN cukup signifikan dalam menekan emisi karbon dalam penyediaan energi yang lebih ramah lingkungan. Tak tertutup kemungkinan ke depan persentase dari biomassa yang dipakai bisa ditingkatkan tergantung pengembangan teknologinya.

"Saya pikir PLN sudah mengembangkan teknologinya untuk co-firing tadi, tinggal kapasitas yang harus dikembangkan dari biomassa tadi. Ada beberapa biomassa yang bisa digunakan, tapi ada beberapa masalah yang harus diselesaikan," kata pria yang juga alumni Asian Institute of Technology, Bangkok. 

"Saya kira energi sampah itu ternyata cukup besar kalau dikembangkan. Hanya memang biaya dalam pengolahan sampah itu, itu cukup besar," tambahnya.

Misalnya dalam proses pemisahan sampah. Ada biaya yang harus ditanggung PLN dibanding tetap menggunakan batubara seluruhnya. Kerja sama dengan pemerintah daerah bisa jadi solusi.

"Apa yang dilakukan di Medan dengan kerja sama PLN Indonesia Power dan Pemkot Medan menjadi potensi yang besar untuk dikembangkan lebih jauh. Apalagi jika diikuti di berbagai kota-kota lain untuk mengatasi permasalahan sampah," pria yang meraih gelar PhD di University of Newcastle Inggris ini.

Direktur Eksekutif Mubyarto Institute itu mencontohkan, kerja sama dengan pemerintah daerah seperti yang dilakukan di DKI dan Jawa Timur bisa diterapkan untuk menekan biaya. Sebagian biaya pemisahan itu ditanggung dari APBD-nya.

"Saat ini di Medan juga sudah bekerja sama dengan pemerintahnya, saya kira di kota-kota lain bisa mengikuti," bebernya.

Fahmi memaparkan sepanjang 2024, co-firing pada PLTU mampu mereduksi emisi karbon hingga 1,05 juta ton CO2 dan memproduksi energi bersih sebesar 1,04 terrawatt hour (TWh). Penggunaan co-firing selama 2023 telah meningkat jika dibandingkan realisasi pada 2022. Dalam mereduksi emisi karbon, PLN mampu menambah pengurangan emisi hingga 450.000 ton CO2. Produksi energi bersih pun tumbuh hingga lebih dari 77 persen dari realisasi 2022 sebesar 575 GWh.

"Berdasarkan data 2023, PLN berhasil menyerap 1 juta ton biomassa untuk 43 PLTU di Indonesia, meningkat 71 persen dibandingkan tahun 2022. PLN terus melakukan pengembangan teknologi co-firing hingga dapat digunakan secara penuh di seluruh Indonesia. Hingga tahun 2025, PLN menargetkan program co-firing bisa dilakukan pada 52 PLTU dengan kebutuhan biomassa mencapai 10 juta ton dan mampu menurunkan emisi sebesar 11 juta ton CO2e per tahun," katanya.

Menurut Fahmi capaian PLN dalam penggunaan co-firing akan memperbaiki capaian target bauran Energi Baru Terbarukan (EBT) yang selama 10 tahun terakhir masih belum tercapai. Target bauran EBT yang ditetapkan sebesar 23 persen pada 2025 tidak akan tercapai lantaran pada akhir 2023 masih mencapai 12,8 persen.

"Presiden Prabowo Subianto harus memperbaiki capaian target bauran EBT dalam program transisi energi. Untuk itu perlu diprioritaskan penerapan tidak hanya co-firing, tetapi juga mengembangkan inovasi EBT dengan menggunakan resources EBT yang tersedia berlimpah di Indonesia, sehingga NZE dapat dicapai pada 2060," pungkasnya.

Editorial Team