Seorang pembeli baju thrifting sedang mencoba pakaian yang dijual toko Restory. IDN Times/Debbie Sutrisno
Namun di balik fenomena fesyen thrifting, ada semangat zero waste yang digaungkan. Konsep berjualan barang bekas yang punya fokus pada pengurangan limbah tekstil dilakukan Restory asal Bandung. Salah satu toko thrifting yang berjualan di The Hallway Space, Pasar Kosambi, ini lebih banyak mengubah produk yang pernah dipakai agar bisa digunakan kembali.
Sayudha, salah satu pemilik Restory menuturkan, konsep yang dimiliki tempat usahanya adalah rework, recycle, dan reuse. Ini diambil karena Restory memiliki pemikiran bahwa barang bekas yang sudah pernah dipakai sebenarnya bisa dimanfaatkan kembali baik dengan perubahan pada kegunaannya. atau dikombinasikan sehingga punya daya tarik tersendiri.
Dengan konsep rework misalnya, pakaian bekas yang ada di toko ini merupakan produk kombinasi dengan desain tersendiri. "Kita konsep agar barang yang dipikir orang jelek atau tidak ada nilainya, terus kita rework lagi agar menarik konsumen untuk dimiliki," ujar pria yang akrab disapa Aduy ini.
Di toko Restory, banyak pakaian seperti jaket dan kemeja yang didesain ulang menggabungkan dua hingga tiga pakaian menjadi satu. Konsep ini yang coba diterapkan, sehingga barang yang dijual berbeda dengan penjual thrifting lain yang hanya menjual barang bekas hasil impor.
Untuk membuat pakaian atau barang bekas mempunyai nilai jual, Aduy dan rekan-rekannya tidak asal mengambil barang. Mereka memilah lebih dulu baik barang bekas yang sudah ada di pasar, atau barang pribadi yang kemudian bisa didesain ulang.
"Gak asal beli dalam bentuk bal-balan gitu. Jangan hanya mengejar ingin punya pakaian dengan brand tertentu gitu. Kami lebih lebih selektif memilih barang yang ada atau limbah lah terus dimanfaakan lagi. Karena orang semakin ke sini juga lebih terbuka, gak harus beli barang baru terus kan," kata dia.
Sementara itu Pengamat lingkungan sekaligus Ketua Walhi (Wahana Lingkungan Hidup Indonesia) Lampung, Irfan Tri Musri menanggapi adanya thrift shop sebenarnya cukup berdampak baik untuk mengurangi sampah pakaian di bumi.
“Selain itu ini bisa disamakan juga seperti memberi nilai ekonomi terhadap barang-barang yang sudah tidak dibutuhkan,” katanya.
“Menurut saya thrift juga sebagian dari upaya zero waste sih, menunda munculnya sampah. Tapi jadi problema juga sebenarnya karena sekitar 60-70 persen barang thrift itu kan dari luar negeri. Makanya kalau UU Nomor 7 Tahun 2014 tentang larangan impor baju bekas itu, saya pikir pemerintah jangan terlalu ketat lah, karena banyak juga masyarakat kita menggantungkan hidup di sentra ini,” jelasnya.
Dosen Jurusan Produksi Garmen Konsentrasi Fashion Desain Politeknik-Sekolah Tinggi Teknologi Tekstil (STTT) Bandung, Irfa Rifaah mengingatkan salah satu persoalan dengan adanya tren thrifting adalah limbah teksil yang pasti lebih banyak. Karena barang yang dijual mayoritas adalah barang impor, maka pakaian yang seharusnya menjadi limbah di negara lain malah punya nilai ekonomi di Indonesia.
Meski demikian, ancaman limbah fesyen itu bisa diminimalisir ketika masyarakat tidak konsumtif dalam berbelanja. Artinya, mereka bisa mencari baju yang memang sesuai dan digunakan dalam jangka waktu panjang. Pembelian barang bekas harus yang berkualitas sehingga tidak cepat terbuang menjadi limbah tekstil.
"Terlebih thrifting sendiri istilah yang sebenernya mengerucut pada barang vintage yang dijual kembali (second). Jadi barang vintage harus diselidiki dl kondisinya sebelum dibeli," ujar Irfa.
Menurutnya, niat awal masyarakat untuk memperluas tren fesyen thrifting sudah baik. Sayangnya, edukasi yang kurang pada masyarakat membuat soal thrifting membuat konsumen lebih konsumtif ketika melihat barang bekas yang bagus dengan harga murah.