Kamar-kamar itu biasanya riuh. Biasanya ada sekelompok anak muda yang mengobrol. Saling ejek dan bercanda penuh tawa. Ada juga yang memilih menghabiskan waktu di kamarnya untuk beristirahat.
Tapi kini sepi. Kamar-kamar itu terlihat kosong. Tak berpenghuni. Nur, perempuan 38 tahun itu hanya bisa menghela napas panjang. Usaha indekos di Jalan Racing Sinrijala, Kelurahan Sinrijala, Kecamatan Panakkukang, Kota Makassar itu kini kosong melompong. Tak ada lagi uang kos yang biasanya ditagihnya setiap bulan.
Padahal tujuh kamar yang disediakan dulunya selalu dipenuhi penyewa baik dari kalangan mahasiswa hingga pekerja.
"Awal-awal pandemik masih ada. Tapi sekarang tidak ada yang ngekos," kata Nur kepada IDN Times, Jumat (19/2/2021).
"Kalau tidak ada Corona, kita bisa dapat sampai Rp5 juta per bulan. Sejak ada Corona, tidak ada lagi penghasilan dari kamar kos," katanya.
Seperti halnya juga Saurma, sang pemilik kos 46 di Medan yang biasanya meraup cuan dari bisnis kos-kosan harus merelakan hampir 50 persen kamar di indekosnya kosong. "Anak-anak banyak yang pulang kampung, ada yang langsung angkat barangnya pindah pulang ke kampung. Banyak yang berhenti, tapi memang ada juga yang tetap ngekos," ujar Saurma.
Padahal bisnis indekos atau yang sering disebut kos-kosan, selama ini selalu dianggap sebagai salah satu yang sangat menjanjikan. Soalnya dengan memiliki usaha indekos, sekalian berinvestasi properti.
Tapi tak ada jalan yang selalu mulus. Di masa pandemik COVID-19 bisnis meraup cuan (untung) lewat kos-kosan juga ikut terpuruk. Diterapkannya perkuliahan online menjadi salah satu faktor terbesar.
Mahasiswa yang menjadi salah satu sumber pendapatan utama kos-kosan, terutama dari perantauan banyak yang memilih untuk tak melanjutkan sewanya.
Tak hanya Nur dan Saurma yang meringis karena kondisi tersebut. Ada banyak lagi pemilik kos yang menelan pil pahit hantaman pandemik. IDN Times menceritakan kondisi sebenarnya para pemilik kos-kosan di berbagai kota Indonesia untuk bertahan.