Baca artikel IDN Times lainnya di IDN App
IDN Ecosystem
IDN Signature Events
For
You

8 Alasan Cowok Lajang Usia 40-an Belum Kebelet Nikah, Jangan Dipaksa!

ilustrasi sendirian (pixabay.com/StartupStockPhotos)

Dalam budaya masyarakat tertentu, laki-laki yang sudah mencapai usia 40 tahunan lebih (katanya) seharusnya sudah menikah dan punya anak. Namun ternyata, ada segelintir dari mereka yang masih betah melajang dan tetap menikmati kesendiriannya dengan bahagia.

Meski sering dicibir dan ditekan oleh lingkungan sosialnya, dia tetap bisa menjalani aktivitas harian seperti biasa tanpa harus repot-repot memikirkan anggapan buruk orang tentangnya. 

Lalu, apa yang menyebabkan seorang cowok betah melajang sampai usia 40 tahunan lebih? Berikut beberapa alasan yang bisa jadi bahan renungan bagi kita agar tidak memaksakan kehendak terhadap pilihan hidup seseorang. 

1. Dia sadar punya banyak kekurangan, jadi dia lebih memilih memperbaiki diri alih-alih nekat menikah tanpa persiapan

ilustrasi sendirian (pixabay.com/Locies)

Semua orang sepakat, menikah bukan perkara gampang layaknya menoleh wajah atau membalikkan telapak tangan. Diperlukan kesiapan fisik, materi, mental, spiritual, dan nilai-nilai moral agar proses dan kehidupan rumah tangga sesuai dengan kaidah dan syariat pernikahan yang benar. Meski tidak ada manusia yang sempurna, setidaknya segala persiapan inti tersebut mutlak harus dimiliki agar pernikahan nantinya bisa berjalan sesuai harapan. 

Sadar masih merasa punya banyak kekurangan, cowok lajang usia 40 tahunan berpikir panjang untuk tidak buru-buru menikah meski didesak keluarga besar dan sering jadi omongan lingkungan sekitar. Tak masalah usia yang terus bertambah, paling tidak dia bisa mempersiapkan urusan pernikahan di masa depan dalam berbagai sisi dengan matang dan terencana. Alih-alih nekat menikah tanpa persiapan, dia tetap setia dengan pendiriannya agar bisa terus memperbaiki diri dengan niat membentuk kehidupan rumah tangga yang amanah dan penuh berkah. 

2. Kondisi finansial yang dirasa belum cukup mapan, dan masih banyak tanggungan dan keinginan yang harus dikejar

ilustrasi sendirian (pixabay.com/itayverchik)

Kondisi finansial yang belum mapan juga bisa jadi salah satu penyebab cowok 40 tahunan menunda pernikahan. Karena segala aspek kehidupan rumah tangga butuh materi dan biaya, maka kesiapan keuangan juga harus dipikirkan jauh-jauh hari sebelum memutuskan untuk menikah.

Meski wejangan tetua yang menyebutkan bahwa rezeki akan mengikuti setelah menikah, namun tetap saja pada kenyataannya banyak yang sudah berumah tangga masih kelimpungan cari utang sana-sini demi biaya hidup. 

Bukan hanya tentang persiapan, bisa jadi dia juga punya tanggungan lain di luar kebutuhan rumah tangga saat sudah menikah nanti. Memberi orangtua, keponakan, saudara, menjadi kebiasaannya yang bisa jadi berdampak pada kebahagiaan pribadinya dan tak bisa digantikan dengan apapun. Belum lagi keinginan pribadi yang dia kejar terkait penghasilannya yang selama ini dia harapkan jadi bekal untuk kehidupan di masa depan, baik untuk kehidupan duniawi, atau amal jariyah buat di akhirat nanti. 

3. Dia sudah terbiasa nyaman sendirian, jadi tidak mau diribetkan dengan urusan-urusan seputar rumah tangga

ilustrasi siram tanaman (pixabay.com/sdg_Rai)

Terlalu lama sendiri, cowok lajang usia 40 tahunan dikenal mandiri dan sudah terbiasa melakukan apa-apa seorang diri. Tak hanya aktivitas sehari-hari, segala hal terkait urusan hati dan perasaannya juga mampu ia kelola dengan baik tanpa harus repot-repot melibatkan orang lain. Tak merasa kesepian, dia malah mengaku nyaman dengan kesendiriannya karena bisa bisa mengekspresikan hobi, minat, keinginan, dan kebiasaannya dengan bebas. 

Sudah terbiasa dan merasa nyaman sendirian, dia malah merasa aktivitas rumah tangga akan mengganggu ranah privasinya. Dia tidak lagi bebas melakukan apa yang menjadi kebiasaannya karena harus menjaga perasaan orang lain yang mungkin punya karakter kontras dengan dirinya. Jadi, daripada diribetkan dengan urusan kegiatan dan perasaan, dia lebih memilih menyendiri dulu sebelum benar-benar siap harus "menyatu" dengan pasangannya kelak. 

4. Dia sadar menikah bukan cuma urusan selangkangan, tapi banyak kewajiban dan hak yang harus ditunaikan

ilustrasi sendirian (pixabay.com/Jupilu)

Beberapa laki-laki mapan kerap menjadikan seks sebagai salah satu tujuan menikah--meski dalam konteks bercanda saat berbincang dengan kawan. Hal tersebut tak selamanya salah, namun kehidupan pernikahan mencakup banyak dimensi yang lebih luas dan masalah yang cukup kompleks. Seks dalam pernikahan itu penting, tapi jangan sampai kepentingan tersebut mengaburkan hak dan kewajiban lain yang sifatnya lebih genting. 

Sadar menikah bukan cuma memikirkan urusan selangkangan, cowok 40 tahunan lebih memikirkan hal-hal lain yang sifatnya mendesak untuk segera ditunaikan. Memang memiliki nafsu itu manusiawi, tapi bukan berarti harus menjadikan urusan hasrat "arus bawah" sebagai aktivitas yang diumbar habis-habisan.

Tak mengapa dibilang munafik atau tidak normal oleh golongan kaum toksik, yang penting dia tidak menjadikan urusan selangkangan sebagai kewajiban nomor wahid dalam sebuah pernikahan. 

5. Ibadah bukan cuma menikah, tapi segala sesuatu yang dilakukan dengan tujuan mendapat berkah

ilustrasi berdoa (pixabay.com/yourillustration)

Tidak ada yang membantah, menikah itu memang punya inti tujuan sebagai salah satu bentuk ibadah. Bahkan, para tetua sudah mewanti-wanti bahwa menikah itu tingkatannya sama dengan menjalankan setengah perintah agama. Ditambah lagi, segelintir kalangan malah menyebut dengan lantang orang yang belum menikah bukan merupakan umat Nabi karena tidak menjalankan salah satu sunah-Nya. 

Karena alasan tersebut di atas, laki-laki yang belum menikah bakalan dianggap tidak sempurna menjalankan ibadah. Yang lebih sadis malah menyebut mereka sebagai manusia kurang bersyukur dengan kehidupan karena menunda ibadah yang dianggap "menyenangkan". Padahal, ibadah bukan hanya menikah, tapi banyak kegiatan lain yang tujuannya mengharap keberkahan Tuhan dan kebaikan bagi sesama manusia.

Lebih pilih mana, menikah tapi enteng meninggalkan kewajiban utama, atau menunda namun tidak lupa dengan ibadah wajib? Paling afdal memang yang menikah dan menjalankan ibadah utama. Tapi kalau belum mampu melaksanakan yang sunah, lebih baik fokus dulu saja dengan ibadah wajib yang lebih mudah. 

6. Dia tidak akan merasa kesepian, selama ditemani oleh prinsip-prinsip kehidupan pribadinya

ilustrasi sendirian (pixabay.com/Pexels)

Mengutip kalimat Herjunot Ali dalam sebuah siniar, jomblo tidak akan pernah merasa kesepian selama dia ditemani oleh prinsip-prinsip kehidupannya. Beberapa prinsip yang dianutnya, biasanya tidak jauh-jauh dari fokus memperbaiki diri, mandiri, kebahagiaan hidup, dan segala hal terkait perasaan dan pikirannya.

Prinsip-prinsip yang dipegangnya bisa menjadi kekuatan besar yang akan menjadikan hidupnya lebih bebas tanpa peduli dengan tekanan status sosial di lingkungan sekitarnya. 

Meski sering melakukan segala hal sendirian, pada beberapa situasi, bukan tidak mungkin tingkat kebahagiaan jomblo lebih berasa daripada yang sudah punya pasangan. Bahkan bisa jadi, karena minim perdebatan dengan pasangan, jomblo lebih bisa melakukan setiap detik dalam hidupnya dengan hal-hal produktif dan positif.

Dalam kasus yang lebih dalam, jomblo juga tidak akan dibebani banyak masalah seputar rumah tangga yang bisa berpotensi jadi sumber konflik berkepanjangan. 

7. Makna dan tujuan hidup setiap orang berbeda-beda, bisa jadi dia ingin mencari ketenangan dalam hidup

ilustrasi sendirian (pixabay.com/Pexels)

Makna dan tujuan hidup setiap orang sudah pasti berbeda antara satu pribadi dengan yang lainnya. Ada yang menemukan kebahagiaan menyatu dengan pasangan dalam ikatan pernikahan, ada juga yang cukup hidup sendirian biar bisa menikmati ketenangan.

Menikah memang bisa jadi jalan menuju kesempurnaan dan kebahagiaan, tapi bukan berarti jadi satu-satunya tahap untuk menemui makna kehidupan.

Tidak ada yang salah dalam pernikahan, namun setiap orang berhak memilih hidup tenang dengan cara, pola, dan kebiasaannya masing-masing. Tak perlu debat kusir mempertahankan pendapat masing-masing, yang pasti kebahagiaan tidak bisa diukur dengan sudah atau belumnya dia menikah. Mau memilih menikah cepat atau menunda lama, semua tergantung dari bagaimana dia bisa menikmati kehidupannya sendiri. 

8. Tak mengapa selalu diremehkan dalam lingkungan sosial, yang penting hati dan pikiran bebas dan tidak terjebak beban psikologis

ilustrasi tertawa (pixabay.com/StockSnap)

Dalam hidup, sebaik apa pun polah dan perilaku manusia, akan ada saja omongan-omongan negatif yang seliweran dan tidak enak didengar. Apalagi saat ada laki-laki usia 40 tahunan yang masih melajang, segala celetukan dan komentar miring bakalan jadi santapan sehari-hari yang tidak bisa terelakkan. Hal tersebut biasanya diperparah dengan anggapan bahwa kehidupan mereka melenceng dari kebiasaan karena dianggap melebihi batas wajar usia pernikahan umat manusia pada umumnya. 

Meski sering dicibir oleh lingkungan terdekat, paling tidak dia bisa menata hati dan pikirannya dengan tepat. Tak masalah dilabeli cap negatif oleh orang lain, yang penting dia masih punya pakem norma dan tidak tersiksa dengan beban psikologis terkait perasaannya. Jangankan yang belum menikah, yang sudah berumah tangga juga tidak luput dari omongan kalau berurusan dengan kehidupan sosial. 

Seperti kata pepatah orang bijak, setiap orang sudah punya timeline dan cerita hidupnya masing-masing. Ada yang ditakdirkan menikah cepat, ada juga yang lebih memilih melajang di usia kepala empat.

Memaksa mereka buru-buru menikah karena dikejar usia bukan hal yang tepat karena ketenangan dan kesenangan setiap orang berbeda-beda. Daripada memaksa mereka menikah cepat, lebih baik doakan mereka bertemu dengan pasangan sehati dan sejati dengan cara yang tepat. Sepakat?

This article is written by our community writers and has been carefully reviewed by our editorial team. We strive to provide the most accurate and reliable information, ensuring high standards of quality, credibility, and trustworthiness.
Share
Editor’s Picks
Topics
Editorial Team
Doni Hermawan
EditorDoni Hermawan
Follow Us