Medan, IDN Times - Deru mesin kapal mondar-mandir terdengar, namun suara anak-anak Teater Dermaga yang sedang latihan olah vokal seakan tak mampu teredam. Mereka lantang melafalkan huruf vokal a-i-u-e-o sekeras kerasnya. Hal ini untuk menguji jika nanti mereka kembali naik pentas dan disaksikan ribuan penonton. Sebab, artikulasi dalam suatu teater harus bisa didengar dengan jelas dan lugas.
Di pinggir muara Sungai Deli dekat Pelabuhan Belawan, belasan remaja itu tampak mulai mengganti topik latihan. Duduk melingkar di bawah sinar mentari sore yang jenjam, sesekali mereka langsung berakting menirukan tokoh yang diperankan. Mulai dari sosok legendaris Datuk Batang Kuis sampai dengan orang gila hingga debt collector. Semua bisa mereka perankan dengan latihan rutin sekurang-kurangnya dua kali dalam seminggu
Bak mawar yang merekah di tengah belukar, begitulah metafora yang tepat untuk merepresentasikan Teater Dermaga. Mereka hadir di tengah situasi Belawan yang carut marut, rusuh, dan rawan konflik. Jika mayoritas pemuda di Kelurahan Belawan I menenteng senjata tajam hendak tawuran, namun berbeda dengan anak-anak Teater Dermaga. Mereka mampu bersikap arif dengan memilih seni sebagai jalan kreativitas dan tak jarang menginspirasi anak muda lain. Uniknya, tidak sedikit anggota Teater Dermaga yang dahulunya merupakan bekas pentolan pelaku tawuran.
