Batikta, Rela Anti Mainstream Demi Lestarikan Budaya Batak

Trisna Pardede meniti dari ruang tamu hingga gerai besar

Toba, IDN Times – Trisnayanti boru Pardede hanya menahan diri saat orang-orang memrotes karyanya. Dia dianggap menghancurkan kebudayaan. Karena mengaplikasikan motif gorga dan Ulos ke bentuk lainnya.

Gorga biasanya ditemukan dalam ornamen bangunan etnis Batak. Sedangkan ulos, baru bisa dipakai dalam seremoni tertentu orang Batak. Keduanya dianggap sakral.

Namun bagaimana bisa Trisna menerapkan motif gorga dan tenun ulos ke bentuk lainnya. Trisna mengaplikasikan sebagai pakaian batik. Menjadi kebanggaan Trisna bisa melestarikan budaya leluhur dengan cara yang disesuaikannya dengan perkembangan zaman.

Semangat itu yang mendasari Trisna membuat Batikta. Brand yang kini dipakainya dan mulai merambah kancah nasional. Gerainya diresmikan langsung Menteri Pariwisata yang saat itu dijabat Arief Yahya.

Simak nih wawancara eksklusif  IDN Times dengan Trisna:

1. Keheranan Trisna jadi ide awal Batikta

Batikta, Rela Anti Mainstream Demi Lestarikan Budaya BatakIDN Times/Prayugo Utomo

Trisna pun memulai langkah besarnya.  Saat dia masih bekerja di Jakarta 2010 lalu, dia heran, kenapa etnis Batak menggunakan batik dari jawa untuk hadir di acara mereka. Padahal pada umumnya, ulos lah yang dipakai dipadupadankan dengan pakaian seperti jas atau kebaya.

Mulai muncul ide kreatif di benak Trisna. Kenapa belum ada motif yang identik dengan Batak yang dijadikan baju.

“Saya iseng mikir kenapa gak punya batik Gorga. Jadi saya kira, makin keren kalau mereka semua memakai batik yang temanya Batak,” kata Trisna memulai obrolan.

 Setahun berlalu, ide itu dituangkannya menjadi rencana bisnis (Business Plan).  Waktu itu dia juga sudah menjadi pegawai kantoran. Namun dia berniat membuka peluang untuk membuat usaha. Muncullah ide untuk membuat Batikta.

Baca Juga: Bukit Tarabunga, Tempat Indah Nikmati Matahari Terbenam di Balige 

2. Ajak saudara yang pintar design grafis

Batikta, Rela Anti Mainstream Demi Lestarikan Budaya BatakInstagram @batiktabatak

Ulos dan gorga sangat  identik dengan Batak. Tak sembarang orang juga mampu membuat designnya.

Trisna sempat bingung. Jika dia ingin membuat motif batak tapi tidak pandai menggambar. Dia pun melibatkan saudaranya yang pandai mengambar design . Mengaplikasikan gorga dan motif ulos ke dalam pakaian.

“Kita bikin desain. Karena saya gak pandai menggambar, saya ajak oom saya, bisa gak menerjemahkan desain yang saya mau,” ujar perempuan berambut panjang itu.

3. Trisna yang belajar ulos dan gorga malah mengetahui masalah di tengah masyarakat

Batikta, Rela Anti Mainstream Demi Lestarikan Budaya BatakIDN Times/Prayugo Utomo

Niat Trisna mulai bulat. Untuk memahami nilai budaya, dia belajar soal ulos dan gorga langsung ke pengrajinnya. Bahkan, waktu itu Trisna masih sering terbang dari  Bandung ke Balige, Toba Samosir, hanya untuk belajar.

Waktu itu isu pariwisata belum segencar sekarang. Saat Trisna menemui para pengrajin dia malah dicurhati masalah yang ada di sana. Ternyata ada segudang masalah di tatarang pengrajin.

Para pengrajin tidak punya wadah untuk memasarkan produknya. Sehingga mereka juga menjadi malas untuk membuat ulos atau gorga. Pun ada toko yang menjual souvenir, harganya masih belum jelas. Sehingga keuntungan mereka sedikit. Regenerasi di kalangan pengrajin juga mulai kandas.

“Jadi saya kepikiran harusnya ada satu wadah di Balige di Toba yang mengumpulkan kerajinan mereka,” ungkap Trisna.

Trisna kemudian meminta izin ke orangtuanya. Membuat gerai di rumahnya di kawasan Balige. Waktu itu, gelagat orangtuanya seperti menolak. Karena Trisna sudah punya pekerjaan mapan di Jawa.

Trisna hanya diberi tempat berukuran kecil. Luasnya sekira berukuran sati tegel. Memanjang dengan lemari kaca. “Karena mereka itu gak pengin jualan. Karena sudah kerja bagus, ngapai lagi jualan,” ungkapnya.

4. Sempat dihujat karena dianggap melanggar sesuatu yang sakral

Batikta, Rela Anti Mainstream Demi Lestarikan Budaya BatakIDN Times/Prayugo Utomo

Batikta mulai merambah pasar daring. Sosialisasi gencar dilakukan.  Batikta menuai perdebatan panjang di dunia maya. Banyak yang protes.

Batikta dianggap melanggar nilai luhur Batak. Karena ulos dan gorga dianggap sakral. Trisna tidak terpancing. Dia hanya menonton perdebatan.

“Saya dianggap tidak menghargai warisan leluhur karena memindahkan ulos dan gorga ke bentuk lain. Waktu itu saya milih diem,” tukasnya.

“Jadi karena semangatnya kita ingin memperkenalkan ornamen itu ke publik makanya saya tetap jalan. Siapa misalnya yang mau datang datang ke rumah hanya untuk melihat gorga. Sama seperti ulos. Kalau semuanya ada di dalam lemari siapa yang mau lihat. Ulos kan muncul  hanya ada dalam acara adat tertentu. Makanya coba kita aplikasikan ke kain,” ungkapnya.

Lantas Trisna tak berhenti belajar. Karena hujatan-hujatan itu dia pun makin kuat. Suatu ketika, dia mencari tokoh adat untuk bertanya soal apa yang dibuatnya.

Bertemulah dia dengan Monang Naipospos. Seorang tokoh Parmalim, kepercayaan leluhur Batak. Karena menurut Trisna, Parmalim termasuk kelompok yang masih menjaga kebudayaan.

Akhirnya dia menemukan jawaban. Dia pun tetap melanjutkan Batikta. “Amang Boru Monang Naipospos bilang kalau niat saya baik, hasilnya pasti baik. Makanya diserang di media sosial saya terserah saja. Yang penting tetap jalan. Niatnya saya bukan seperti yang dituduhkan niat saya memang mau melestarikan itu lagi,” ujarnya.

5. Nekat berhutang demi kembangkan Batikta

Batikta, Rela Anti Mainstream Demi Lestarikan Budaya BatakIDN Times/Prayugo Utomo

Gerai kecil di rumah  Trisna mulai dilirik para pelancong. Mereka mulai berdatangan. Sambutan hangat menjadi ciri khas Trisna melayani tamunya. Horas, menjadi salam pembuka saat tamunya datang. “Keramhtamahan itu penting. Makanya selalu kita sambut pakai Horas. Orang melihat Batikta saat itu bukan karena ukuran gerainya yang sempit lagi,” ungkapnya.

Keunggulan lain dari Batikta adalah harga yang stabil. Seluruh produk di publikasikan lewat online. Beda hal dengan gerai di destinasi wisata yang harganya tergantung pandai tidaknya menawar.

Muncullah program Kawasan Strategis Pariwisata Nasional (KSPN). Danau Toba masuk menjadi salah satu dari 10 destinasi lainnya di Indonesia. Semangat Trisna makin membuncah. Apa lagi sejak Bandara Silangit beroperasi dan Danau Toba masuk menjadi destinasi superprioritas. Dia pun mulai mencari permodalan.

“Secara ekonomi kita masih kecil banget. Jadi waktu itu saya memberanikan diri meminjam modal dari bank. Pinjaman dananya itu mulai kecil kecil dulu. Mulai puluhan juta rupiah. Tapi itu rentang naiknya cepat,” ungkapnya.

Trisna mendapat dukungan dari Bank Rakyat Indonesia (BRI). Trisna sudah menjadi nasabah sejak 2014. Usahanya pun berkembang di 2016. Dia memilih menetap di Balige. Pekerjaan sebagai konsultan bank di salah satu perusahaan di Jakarta bulat dia tinggalkan.

BRI mendukung Trisna dalam pengembangan produk Batikta hingga 2017. Termasuk untuk membangun lokasi Hutanta. Gerai baru Batikta dan Hutanta rampung pada 2018.  Letaknya di jalan lintas Parapat-Balige. Tepat di depan Hotel Labersa. 

Selama COVID-19, BRI juga sering melakukan pendampingan kepada Trisna. Hutanta Coffee juga direkomendasikan mengikuti kurasi UMKM EXPO(RT) BRILIANPRENEUR 2021. Hutanta Coffee berhasil menjadi satu dari 500 UMKM terbaik di Indonesia yang masuk dalam UMKM EXPO(RT) BRILIANPRENEUR 2021.

Direktur Bisnis Mikro BRI Supari menjelaskan bahwa sepanjang tahun 2022, BRI telah berhasil menyalurkan Kredit Usaha Rakyat (KUR) sesuai dengan breakdown atau alokasi yang ditetapkan Pemerintah yakni sebesar Rp252,38 triliun kepada 6,5 juta debitur.

“Pada tahun 2023 ini, BRI akan terus berkomitmen untuk menyalurkan KUR sebagai upaya mendorong roda perekonomian grass root serta untuk mendukung penyediaan lapangan pekerjaan bagi masyarakat. BRI telah mendapatkan alokasi penyaluran KUR tahun 2023 dari Pemerintah sebesar Rp270 triliun dan BRI optimis dapat mencapai target tersebut. Hal tersebut tak lepas dari kemampuan BRI dalam memproses dan mencairkan KUR dengan rata-rata Rp1 triliun per hari,” jelasnya lewat keterangan tertulis yang diterima IDN Times.

Terkait dengan KUR, Supari menjabarkan secara gamblang bahwa KUR adalah Kredit Usaha Rakyat, jadi KUR itu adalah Kredit, bukan bantuan atau hibah.

Sumber dana KUR, 100 persen dari dana bank. Suku bunga KUR Mikro 16 persen, dari beban bunga 16 persen tersebut, Pemerintah memberi subsidi 10 persen kepada rakyat sehingga beban bunga yang dibayar rakyat hanya 6 persen. Jadi, yang dibantu subsidi adalah rakyat, bukan bank.

6. Berdayakan pengrajin untuk lestarikan budaya Batak

Batikta, Rela Anti Mainstream Demi Lestarikan Budaya BatakIDN Times/Prayugo Utomo

Di dalam gerainya kini dipenuhi barang-barang etnik. Ulos, kerajinan ukiran hingga kaos yang bercerita tentang budaya Batak. Yang jadi unggulan tetap Batikta adalah Batik bermotif ulos dan gorga.

Pengunjung pun dimanjakan dengan cerita di balik ulos. Seperti tagline Batikta. “Jadi Tagline kita itu ‘kain  yang bercerita’. Jadi kita juga menceritakan makna di balik motif-motif  itu. Selain menjual kami mengedukasi. ”ungkapnya.

Berkibarnya Batikta memberi keuntungan kepada para pengrajin. Karena Trisna juga mengambil kerajinan mereka. Para pengrajin pun kembali rajin menenun ulos.

“Kalau saya mengambil ulos ke mereka  gak pernah saya tawar. Dan saya langsung bayar. Jadi mereka kembali semangat.  Karena menurut saya, saya pengin buktikan dulu bahwa saya serius. Jadi mereka mulai mengerjakan lagi. Dan saya memperjuangkan supaya barangnya terjual. Mereka sampai bingung, saya ini jualnya kemana. Sampai mereka sendiri yang menurunkan harga,” terangnya.

7. Trisna pengin Batikta berkontribusi untuk pariwisata Danau Toba

Batikta, Rela Anti Mainstream Demi Lestarikan Budaya BatakIDN Times/Prayugo Utomo

Trisna terkejut saat Menteri Pariwisata Arief Yahya bersedia meresmikan gerainya yang baru pada 2019 lalu. Bahkan saat itu Arief mengapresiasi Trisna. Di usianya yang muda Trisna mampu berkontribusi untuk daerahnya.

Trisna pun menyambut baik. Batikta, kata Trisna, juga ingin berkontribusi untuk pariwisata di kawasan Danau Toba.

“Semangat kita menyebarkan cerita baik tentang Toba. Supaya wisatawan itu tetap datang melihat langsung cerita baik itu. Dan akan kembali dengan jumlah yang banyak.  Pariwisata maju, ekonomi masyarakat Toba juga akan bangkit,” pungkas perempuan kelahiran 1986 itu.

Trisna juga mendorong para milenial untuk mengembangkan potensi dirinya. Kata dia, milenial jangan takut untuk menerapkan ide dan gagasannya. Karena terkadang, ide kreatif itu jadi awal kesuksesan ketika dilakukan.

Baca Juga: Hotel Bintang Empat Pertama di Balige, 4 Fakta tentang Hotel Labersa

Topik:

  • Arifin Al Alamudi
  • Doni Hermawan

Berita Terkini Lainnya