Program perahu ilmu yang ajak anak-anak Percut membaca dan mendongeng di atas perahu (IDN Times/Eko Agus Herianto)
Tak semulus yang dirinya sangka, ternyata dalam mendirikan Redaksi ia beserta teman-teman relawan mengalami berbagai macam aral gendala. Yuda menyebutkan hal tersebut sebagai salah satu tantangan yang memang harus mereka hadapi demi mewujudkan desa tersebut dihuni banyak masyarakat yang sadar literasi.
“Hari pertama belajar, banyak anak-anak yang antusias. Namun ada beberapa orang tua mereka yang yang menolak. Mereka menanyakan maksud kami. Hingga banyak ucapan-ucapan yang kurang sedap yang mampir di telinga. seperti ‘ngapain kalian mau repot-repot mendirikan rumah edukasi, kan sudah ada sekolah?’, sampai ‘mending anak-anak ini jadi anak itik yang bisa dapat uang sendiri untuk beli jajan’. Namun, semangat anak-anak itu yang ingin belajar lah membuat banyak dari mereka yang meninggalkan kegiatan menjadi anak itik,” ucapnya.
Pemuda yang telah memiliki prestasi inovasi produk sampai mancanegara ini pada akhirnya bisa meluluhkan hati beberapa orang tua yang menolak kehadiran Redaksi. Pertama kali didirikan, mereka memakai kios milik salah satu relawan sebagai tempat untuk mengajari anak-anak pesisir. Namun, setelah 4 bulan ternyata kios tersebut akan disewakan.
“Kami harus mencari tempat lain karena kios itu mau disewakan. Banyak dari kami yang menangis karena tak memiliki tempat belajar lagi pada saat itu. Rumah kami juga tak besar untuk menampung anak-anak yang sekali belajar sampai 50 sampai 70 orang. Jika belajar di masjid juga pasti mengganggu aktivitas beribadah,” kata pemuda yang merupakan pendiri salah satu komunitas riset di UMA itu.
Yuda menjelaskan jika dirinya menyampaikan masalah itu kepada kepala desa, dan akhirnya mereka diberi tempat belajar sementara di saung atau pondok yang statusnya adalah hibah masyarakat dan resmi menjadi aset desa.
“Saya pikir masalah telah selesai, namun ternyata tidak. Sekitar 8 bulan kami di Saung, akhirnya si penjaga Saung yang menghibahkan tanahnya itu mengambil alih kembali untuk ditempati oleh anaknya. Saya awalnya tegar, namun melihat anak-anak itu semuanya menangis karena tak tahu lagi harus belajar di mana, akhirnya saya juga ikut menangis,” cerita Yuda yang tak urung menitikkan air matanya kala berbicara dengan IDN Times.
Yuda mengaku bingung setelah mereka diusir dari Saung itu. 70 anak-anak yang selama ini belajar di Redaksi juga pada menanyainya akan belajar di mana lagi mereka. Hingga pada akhirnya salah satu perusahaan tambak udang mendatanginya dan menawarkan sebuah villa kosong.
“Ada satu villa dan tempat yang tak terpakai yang ditawarkan kepada kami. Doa-doa kami diijabah. Kami membersihkan tempat yang sudah tak terpakai 5 tahun itu dan akhirnya kami sampai saat ini melakukan banyak kegiatan di sana,” terangnya.