Kisah Para Nelayan Eks Pengguna Kompresor: Menebus Dosa Masa Lalu

Alat tidak ramah lingkungan yang bisa bahayakan pengguna

Simeulue, IDN Times - Herdi duduk bersama Faruq, di ujung Dermaga Ain Bura. Tempat yang biasa digunakan warga Desa Pulau Bengkalak, Kecamatan Teupah Selatan, Kabupaten Simeulue, Aceh, menyandarkan kapal setelah menjala maupun bertolak untuk melaut.

Sembari menikmati mentari yang berangsur menyelam di ufuk barat, keduanya terlihat asik mengail ikan-ikan di tepian. Ya, mereka hanya memanfaatkan benang yang panjangnya tak lebih dari dua unit perahu motor dengan menggunakan udang segar sebagai umpannya.

Tarikan-tarikan halus tanpa ada perlawanan kerap dirasakan. Seolah tak habis asa, suami Asnadawati itu tetap berlanjut melontarkan kailnya tenggelam di bibir teluk yang di kelilingi rerimbunan pohon bakau (mangrove).

Euforia mendatangi Faruq, ketika ikan yang lapar mencaruk kailnya. Melihat putra kecilnya tergelak bahagia, Herdi hanya melontarkan senyum sembari tetap menawarkan perhatiannya. “Hati-hati! Awas jatuh ke bawah (teluk) nanti,” ucap ayah tiga anak itu mengingatkan.

Memancing di dermaga bukanlah kegiatan rutinitas Herdi. Itu dilakukan pria berusia 47 tahun tersebut hanya untuk mengisi kekosongan waktu setelah pulang bekerja sebagai buruh bangunan atau ketika tidak pergi melaut.

Herdi merupakan mantan penangkap ikan menggunakan kompresor konvensional. Kegiatan dan alat bantu penangkapan ikan yang jelas-jelas dilarang dalam UU (Undang-Undang) Nomor 45 Tahun 2009 tentang Perubahan Atas UU Nomor 31 Tahun 2004 tentang Perikanan.

Lalu bagaimana perjalanan suami Asnadawati itu mengenal alat yang dinilai tidak ramah lingkungan dan juga bisa membahayakan keselamatan penggunanya tersebut?

Tergoda penghasilan yang menggiurkan

Kisah Para Nelayan Eks Pengguna Kompresor: Menebus Dosa Masa LaluHerdi, mantan nelayan kompresor asal Desa Pulau Bengkalak, Kecamatan Teupah Selatan, Kabupaten Simeulue, Aceh. (IDN Times/Muhammad Saifullah)

Herdi beserta Faruq, mulai berbenah ketika azan Maghrib mulai menggema di Pulau Simeulue. Sambil memboyong wadah berisi satu ekor ikan hasil tangkapan, ayah dan anak itu pun melaju menggunakan sepeda motor matik membelah jalanan yang mulai ditinggal cahaya matahari. Tak dalam menarik gas, keduanya pun tiba di rumah mereka.

Di rumah semi permanen yang menjadi teduhan Herdi bersama istri beserta tiga orang anaknya, pria kelahiran Pulau Bangkalak, 1975 itu mengisahkan dirinya kenal dan terlibat dalam dunia penyelaman kompresor.

Lebih kurang empat tahun lalu. Berawal dari ajakan seorang rekan sesama nelayan yang menawarkan kerja sama menangkap berbagai biota laut dengan cara mudah dan menghasilkan banyak uang. Tertarik dan tergiur dengan apa yang disampaikan, ajakan itu disetujui oleh suami Asnadawati.

“Karena dia sendiri penyelamnya, sedangkan saya selaku yang punya usaha, yang punya kompresor dan yang membawa saja atau tekong,” ujar Herdi menceritakan.

Mendapatkan bantuan pernafasan melalui kompresor, membuat anggota penyelam tim Herdi begitu lebih leluasa menjarah kekayaan alam bawah laut sejumlah daerah Kabupaten Simeulue. Sebab, mereka mampu menyelam mulai dari kedalaman tiga meter hingga 25 meter.

“Jadi kalau jumpa di bawah ada ikan, lobster, teripang, dan macam-macam asalkan laku dijual ya ambil, sikat!”

Apa yang diiming-imingkan oleh rekannya kala itu diakuainya memang benar. Mereka yang menyelam menggunakan kompresor, mampu membawa pulang uang paling sedikit Rp500 ribu per harinya dengan hanya bekerja 10-15 jam.

“Seminggu minimalnya enam kali, kalau tidak ada halangan, dan yang tidak beroperasi itu di malam Jumat, selebihnya ya tetap jalan. Dari jam lima sore sampai jam delapan pagi,” ungkapnya.

Sadar! Kapal dan kompresor pun akhirnya dijual

Kisah Para Nelayan Eks Pengguna Kompresor: Menebus Dosa Masa LaluHerdi, sedang membereskan barang-barang yang ada di kapal motor miliknya. (IDN Times/Muhammad Saifullah)

Herdi mengaku tidak lama bergelut dengan kompresor. Hanya beberapa bulan. Sebab ayah tiga anak ini mulai memahami dampak negatif yang ditimbulkan alat terlarang dalam aktivitas melaut itu. Padahal, saat itu ia sama sekali belum pernah mendapatkan sosialisasi tentang bahaya penggunaan kompresor.

Ditambah lagi, dirinya tak ingin berurusan dengan hukum setelah mengetahui Pemerintah Kabupaten Simeulue juga telah mengeluarkan aturan larangan penggunaan kompresor dalam melakukan penangkapan ikan.

“Semenjak ada pelarangan ini, saya berhenti berkompresor. Berhentinya langsung menjual semua peralatan selam kompresor. Kalau masih ada peralatan kompresor tentunya kita bisa-bisa tetap turun,” ujar Herdi.

“Kompresor itu kan sudah bermasalah. Jadi hal-hal bermasalah itu kita gak mau lah berurusan dengan masalah hukum,” imbuhnya bercerita.

Faktor lain yang menguatkan suami Asnadawati ini untuk berhenti adalah, rekan-rekannya sesama nelayan. Dia sadar bahwa cara menangkap ikan menggunakan alat bantu kompresor juga berdampak terhadap penghasilan nelayan tradisional.

“Kalau kita pakai kompresor itu, dalam maupun dangkal itu semua (ikan) habis. Kasihan juga kita,” ucapnya.

Hasil penjualan semua peralatan dan perlengkapan yang berhubungan dengan penyelaman kompresor, lalu dibelikan Herdi satu kapal motor baru. Kapal itu yang kini digunakannnya untuk mencari ikan dengan metode tradisional tanpa merusak alam.

Selama kembali menjadi penjaring ikan, ia hanya mampu menghasilkan uang Rp100 ribu per hari. Bahkan, ayah tiga anak ini juga harus bekerja sebagai buruh bangunan agar tetap bisa menghidupi keluarganya.

Walau upayanya itu masih terbilang tidak akan cukup untuk dapat mengasapkan dapur rumah mereka, ia tetap bersyukur. Sebab baginya, pengeluarkan ketika masih terlibat sebagai nelayan kompresor terbilang lebih besar dibandingkan saat ini.

“Karena lebih berkah daripada kita banyak uang tetapi istilahnya kita sudah mengambil hak orang namanya,” ucap Herdi.

Bertemu aktor penyelam kompresor

Kisah Para Nelayan Eks Pengguna Kompresor: Menebus Dosa Masa LaluZulfitra, warga Desa Ujung Tinggi, Kecamatan Simeulue Timur, Kabupaten Simeulue, Aceh, mantan penyelam menggunakan alat bantu kompresor. (IDN Times/Muhammad Saifullah)

Dari Tuepah Selatan, IDN Times bergerak ke Simeulue Timur, tepatnya di Desa Ujung Tinggi. Desa yang sebagian masyarakatnya menggantungkan hidup dari hasil pertanian, selain memanfaatkan kekayaan laut. Pemandangan petakan-petakan kebun sayur dan cengkeh yang dijemur warga di bahu jalan, tersuguhkan begitu saja.

Di desa ini, IDN Times menemui seorang petani cengkeh sekaligus berprofesi sebagai nelayan. Namanya, Zulfitra. Dia mantan penyelam kompresor yang kini telah bertaubat.

Aroma zamin basah menyerbak tak lama setelah hujan membumi di Desa Ujung Tinggi. Lecak tercipta bersamanya di beberapa titik. Termasuk di perkarangan rumah milik Zulfitra yang terhampar cengkeh hasil tuaian dari kebunnya.

Di ruang tamu rumahnya, pria kelahiran 1989 itu pun menceritakan pengalamannya selama terlibat dalam penggunaan kompresor. Semua bermula saat Zulfitra yang baru lulus SMA, diajak seorang pemilik modal untuk ikut bersama tim mereka menyelam menangkap teripang.

Tergiur dengan iming-iming penghasilan serta dilatarbelakangi faktor ekonomi keluarga, pemuda yang sejak SMP aktif mencari gurita dengan menyelam bebas itu, menerima ajakan tersebut. Dia pun bergabung bersama tim dan mulai melakukan penangkapan biota laut dengan bantuan kompresor.

“Biasanya sekali berangkat empat orang. Kalau kami dulu cuma libur hari Jumat. Selebihnya tetap nyelam,” ujar Zulfitra menceritakan.

Target tangkapan mereka adalah teripang. Sebab, harga jualnya diakui lebih tinggi. Ini membuat pemuda yang kini beristri, Titi Hermayanti itu, mampu membawa pulang uang satu juta rupiah per harinya hanya dalam hitungan jam menyelam. Wilayah operasi mereka hanya di kawasan perairan Kecamatan Simeulue Timur.

Baca Juga: 10 Fakta Terkait Sumur Pengeboran Minyak Meledak di Aceh Timur

Dua kali nyaris mati, kini memilih bertani

Kisah Para Nelayan Eks Pengguna Kompresor: Menebus Dosa Masa LaluZulfitra, warga Desa Ujung Tinggi, Kecamatan Simeulue Timur, Kabupaten Simeulue, Aceh, mantan penyelam menggunakan alat bantu kompresor. (IDN Times/Muhammad Saifullah)

Mampu menghasilkan pendapatan satu juta rupiah per hari, membuat Zulfitra puas. Namun di balik itu semua, ada nyawa yang harus ia pertaruhkan selama berada di dasar laut dengan kedalaman rata-rata 50-100 meter. Selain ancaman predator laut, tekanan dan suhu air juga menjadi hal yang paling menakutkan.

Pemuda lulusan Akademi Maritim Aceh Darussalam di Kota Banda Aceh tersebut, memiliki pengalaman tersendiri dengan suhu air atau biasa mereka sebut air keram. Dia mengaku dua kali nyaris tinggal nama dan tak lagi melihat dunia.

Bahkan, pengalaman yang paling diingat dan membuat Zulfitra jera, yakni ketika ia beserta Rasadi -rekan seesama penyelam kompresor- terkena air keram. Kejadian itu terjadi pada 2010, saat mereka sedang menyelam di perbatasan Ujung Tinggi dengan Desa Air Pinang.

Mereka yang telah lebih satu jam menyelam di kedalaman 50 meter, tiba-tiba ditarik ke atas kapal. Sebab selang pernapasan yang mereka gunakan sudah mencapai batas dan tidak cukup lagi diulur jika ingin berpindah ke tempat lebih dangkal.

Zulfitra dan Rasadi yang telah banyak kehabisan tenaga selama menyelam, hanya bisa pasra saat ditarik. Tidak lama kemudian, mereka langsung tidak sadarkan diri ketika tiba di permukaan.

“Itu seperti orang stroke. Seluruh tubuh itu kaku tidak berdaya. Posisinya bukan di dalam air, tetapi sudah di atas,” ucap pria yang juga bagian dari BPD Desa Ujung Tinggi itu. “Pas sampai di atas, tidak sampai 10 menit, langsung terkena (pingsan) kami.”

Keduanya yang sekarat, langsung dibawa ke rumah sakit oleh rekan-rekannya. Zulfitra berhasil selamat meski sempat lama tidak sadarkan diri, sedangkan Rasadi, meninggal dunia.

Peristiwa yang dialami Zulfitra lebih satu dekade lalu menyadarkannya. Dia juga bersyukur air keram yang menimpanya tidak berujung kelumpuhan seperti kebanyakan dialami para penyelam kompresor lainnya.

Ruang tamu dari rumah yang bentuknya melebar ke samping tersebut, hanya berisi gundukan cengkeh siap dijual. Hasil perkebunan itu, menjadi salah satu sumber mata pencaharian Zulfitra saat ini, selain sebagai wakil ketua Badan Permusyawaratan Desa (BPD) Ujung Tinggi dan tetap istiqamah sebagai nelayan tradisional.

Penghasilan dari tiga pekerjaan tersebut tentunya tidak sebanding dengan uang yang dihasilkan ketika masih terlibat sebagai nelayan kompresor. Ditambah lagi, hasil tangkapan menyelam bebas secara manual juga tidak banyak seperti satu dekade lalu.

Walau demikian, suami dari Titi Hermayanti itu tidak menyesali atas pilihannya. Dia masih bisa bersyukur diberikan kesehatan sehingga masih bisa mencari nafkah untuk keluarganya.

“Kerja sampinglah, termasuk berkebun, yang penting menghasilkan uang,” ucap Zulfitra sembari menyauk tumpukan cengkeh dengan kedua tangannya.

Menebus dosa di masa lalu

Kisah Para Nelayan Eks Pengguna Kompresor: Menebus Dosa Masa LaluHerdi, bersama anggota Pokmaswas lainnya ketika sedang melakukan patroli di perairan desanya. (IDN Times/Muhammad Saifullah)

Seumpama berusaha menebus dosa masa lalu, Herdi maupun Zulfitra kini berbaur dalam komunitas adat Panglima Laot dan bagian dari Kelompok Masyarakat Pengawas (Pokmaswas) Kawasan Konservasi Perairan. Berbekal pengalaman yang ada, mereka kerap ikut beroperasi menjaga kawasan konservasi dan wilayah Panglima Laot (lhok) di pesisir desa mereka masing-masing. Tujuannya adalah untuk melestarikan sumber penghidupan masyarakat di laut sekaligus mencegah aktivitas penangkapan ikan secara ilegal dan merusak.

Herdi bergabung dengan Pokmaswas 2020 lalu, ketika diajak pihak Dinas Kelautan dan Perikanan (DKP) Kabupaten Simeulue. Sejak terlibat dalam kelompok tersebut, dia mengaku sering berjumpa dengan oknum-oknum nelayan seperti yang dilakukannya beberapa tahun silam. Malah, selama 2020 - 2021, sudah lebih 10 kapal ditemukannya.

Selama periode itu Herdi mengaku tidak langsung melakukan eksekusi [mengamankan] atau melaporkan, tetapi lebih menggunakan pendekatan humanis dengan memberikan teguran serta edukasi terkait larangan, sanksi hukum, serta dampak bahaya dari penggunaan kompresor.

“Kita menyadarkan mereka, sebab perlu memberikan nasihat,” kata Herdi.

“Ada juga oknum nelayan yang bandel, kalau oknum yang tidak kooperatif dan merendahkan aturan yang berlaku dengan berat hati terpaksa lah kami laporkan,” lanjut Herdi.

Sementara itu, berhenti menggunakan kompresor menyadarkan Zulfitra akan pentingnya menjaga laut. Pria kelahiran Desa Ujung Tinggi mulai berpikir, ekosistem laut yang ada di kampung halamannya sudah banyak mengalami kerusakan.

Selain itu, penangkapan maupun eksploitasi hasil laut secara besar-besaran yang dilakukan saat ini, akan berdampak nantinya ke masa depan. “Bukan hanya untuk kita saja, namun untuk anak dan cucu kita,” ujarnya.

Ya, ikan, teripang, serta biota laut lainnya merupakan aset yang tetap harus dijaga untuk dilestarikan ke depannya. Tindakan Herdi dan Zulfitra yang memilih untuk berhenti melakukan penangkapan ikan dengan kompresor, adalah suatu upaya luar biasa dan patut diapresiasi.

Keduanya satu suara berpesan serta mengajak oknum nelayan lainnya yang masih aktif menggunakan kompresor sebagai alat bantu pernapasan saat menyelam, untuk berhenti. Sebab, jika kesadaran itu muncul dan mulai kita rawat apa yang tersisa hari ini, hasil laut dipastikan akan kembali stabil seperti sedia kala.

Sedikit mengutip pernyataan Zulficar Mochtar, mantan Kepala Badan Riset dan Sumber Daya Manusia (SDM) Kelautan dan Perikanan (KKP) kepada salah satu media nasional beberapa tahun lalu, terkait efek negatif dari penggunaan mesin kompresor sebagai alat bantu pernapasan bagi penyelam.

Dampaknya, para penyelam bisa mengalami kelumpuhan, tuli, dekompresi dan berbagai hal lain, bahkan hingga meninggal dunia.

Baca Juga: Dilema Nelayan Menjaga Harta Karun Simeulue

Topik:

  • Doni Hermawan

Berita Terkini Lainnya