ilustrasi suplemen zat besi (unsplash.com/Avinash Kumar)
Staf SMF Kesehatan Anak di RSUP Fatmawati menjelaskan, anemia defisiensi besi dapat disebabkan oleh berbagai faktor, seperti suplai zat besi yang rendah (prematuritas, pemberian MPASI yang terlambat, diet vegetarian, gangguan menelan), peningkatan kebutuhan besi (usia bayi, berat badan lahir rendah, pertumbuhan cepat pada masa pubertas (pubertal growth spurt)).
Kemudian penurunan penyerapan besi di saluran cerna (penyakit inflammatory bowel diseases, infeksi helicobacter pylori, dan lainnya) dan perdarahan (menstruasi yang sering dan berlebih, alergi susu sapi, dan lainnya," kata Lanny.
Penelitian Ringoringo pada bayi berusia 0 – 12 bulan di Kalimantan Selatan menemukan insidens ADB sebesar 47,4 persen. Insidens ADB pada penelitian ini cenderung lebih tinggi pada bayi yang lahir dari ibu dengan anemia dibandingkan ibu tanpa anemia.
"Zat besi juga merupakan salah satu zat gizi penting untuk perkembangan janin, bayi, dan anak, terutama pada perkembangan otak. Defisiensi zat besi mengakibatkan gangguan perkembangan psikomotor dan fungsi kognitif, khususnya fokus dan daya ingat," jelasnya.
Pada saat di dalam kandungan, bayi mendapatkan asupan zat besi dari ibunya yang dapat memenuhi kebutuhan zat besi bayi sampai 4 – 6 bulan pertama setelah kelahirannya.
Bayi yang lahir cukup bulan dan mendapat ASI eksklusif tidak memerlukan suplementasi zat besi.
"Ketika bayi mencapai usia 4 – 6 bulan, cadangan zat besi mulai habis sedangkan kebutuhan zat besi makin meningkat sehingga menyebabkan bayi lebih rentan untuk mengalami defisiensi besi. Kebutuhan zat besi pada bayi berusia 6 – 11 bulan yaitu 11 mg/hari dimana 97 persen dari kebutuhan ini harus dipenuhi dari MPASI. Ibu dapat memberikan MPASI rumahan maupun MPASI fortifikasi komersial," jelasnya.