Ilustrasi pekerja. IDN Times/Dhana Kencana
Samino berkisah, keahlian menjahit ia dapatkan sejak tahun 1987. Kala itu Samino masih kelas 2 STM. Kepada orangtuanya, ia mengaku ingin kuliah Teknik Mesin ke Medan.
Namun, orangtuanya yang bekerja di PTP tidak memiliki uang cukup untuk membiayainya kuliah karena abang dan adiknya masih menjadi tanggungan keluarga juga.
“Abang saya bilang, merantau itu butuh biaya besar. Kalau mau kuliah di Medan harus punya keahlian. Jadilah saya belajar menjahit bahan sejak saat itu,” kata pria 50 tahun ini.
Tahun 1990 ia tamat sekolah, namun menganggur. Pada 4 Juni 1991, tiga bulan sebelum masuk kuliah tahun ajaran baru, Samino, memberanikan diri berangkat ke Medan hanya membawa beberapa potong baju, gunting, meteran kain, penggaris, serta uang seadanya.
Setelah empat hari tiba di Medan, ia langsung bekerja di tempat tukang jahit. “Karena kuliah itu tiga bulan lagi, jadi saya persiapan dulu, cari kerjaan, cari tempat kos, dan cari biaya pendaftaran kuliah. Makanya saya ke Medan itu bawa gunting dan meteran kain saja modal saya,” kenangnya.
Ia ingat betul tanggal keberangkatan ke Medan dan hari pertamanya kuliah, karena menurutnya, hari-hari tersebut sangat berkesan dan tak bisa dilupakannya hingga saat ini.
“Jadi saya itu kerja pertama kali di Jalan Bakti di Penjahit Chandra, saya ingat betul, bahkan pemiliknya seperti ayah angkat saya sendiri, karena saya sebatangkara di Medan, dan dari situ saya belajar banyak tentang menjahit, bahkan masih sering tukar pikiran sampai sekarang,” ungkapnya.
Setelah tiga bulan bekerja di Penjahit Chandra, September 1991 Samino berkuliah di Kampus UMSU jurusan Teknik Mesin.
Meski tak kesampaian mendapat pekerjaan sesuai jurusan kuliah, ia berharap kedua anaknya bisa mendapat Pendidikan yang baik dan kelak bisa mendapat pekerjaan yang lebih baik. Kini anak sulungnya kuliah di ITB Bandung Jurusan Teknik Pertambangan. Sedangkan si Bungsu, masih kelas 1 SMA.