“Saya dari anak kampung. Bukan orang berada. Dulu pendidikan sangat sulit sekali aksesnya dan cukup berjuang untuk mendapatkannya. Orangtua saya bekerja keras dan untuk pendidikan apapun mereka lakukan. Semangat itu yang membuat saya bertekad, anak-anak di kampung ini harus dapat kesempatan yang sama.”
Begitulah alasan yang melandasi Darsimah Siahaan, Ketua Yayasan Pendidikan Leuser memerjuangkan lahirnya Sekolah Alam Leuser atau SMP Alam Leuser (SAL). Di tengah hiruk pikuk kehidupan modern, jauh di perbatasan Taman Nasional Gunung Leuser (TNGL), Darsimah menyalakan cahaya pendidikan untuk anak-anak di pedalaman. SAL menjadi institusi yang tak hanya mendidik anak-anak desa, tetapi juga menanamkan nilai-nilai konservasi dan harapan masa depan.
Lokasinya ada di Dusun Kodam Bawah, Desa Bukit Mas, Kecamatan Besitang, Kabupaten Langkat, Sumatra Utara. Desa ini berbatasan langsung dengan rimba Leuser. Untuk mencapai lokasi harus menyeberangi sungai lewat jembatan gantung yang kini menjadi penyambung dari pemukiman menuju sekolah.
Sesampainya di lokasi, terlihat tiga bangunan ruang kelas dengan dinding permanen berbatu bata meskipun tidak dicat. Bangunan ini beratapkan nipah dengan bangunan mirip rumah adat Minang. Para siswa mengenakan seragam putih biru seperti SMP pada umumnya. Semangat untuk belajar terlihat jelas di wajah-wajah belia itu.
Di balik semangat para siswa itu, ada perjuangan keras Darsimah bersama Yayasan Orangutan Sumatera Lestari–Orangutan Information Centre (YOSL-OIC), lembaga konservasi yang bergerak dalam penyelamatan orangutan. SAL berdiri pada 2018.
Perjuangan itu tak lepas dari perjalanan panjang Darsimah. Berangkat dari latar belakangnya sebagai anak petani di Labuhanbatu Utara, ia berupaya mengejar pendidikan setinggi mungkin hingga akhirnya berkuliah di Universitas Negeri Medan (Unimed), jurusan Biologi, pada 2010. Darsimah kemudian mengisahkan bagaimana awal ia bergabung dengan yayasan konservasi tersebut hingga akhirnya dipercaya terlibat dalam pembangunan sekolah.
“Waktu saya kuliah, ada program beasiswa dari YOSL-OIC. Saya coba dan ada tuntutan untuk studi tentang Orangutan. Saya magang di sana, berkenalan dan akhirnya dapat panggilan bekerja di lembaga tersebut belajar tentang konservasi,” kata Darsimah kepada IDN Times, Kamis (13/11/2025).
Selama tiga tahun, Darsimah tergabung di program rehabilitasi hutan sebagai staf di yayasan konservasi tersebut. Sampai akhirnya datang tawaran untuknya membidani lahirnya SAL.
“Kemudian saat OIC membangun sekolah, saya diminta jadi penanggung jawab perjalanan sekolah. Ketika ada tawaran membangun sekolah di kampung. Saya meyakinkan diri sanggup menlani itu karena saya dari latar belakang yang sama. Dan pasti mereka punya potensi,” kata perempuan berusia 34 tahun itu.
Pengalaman selama di hutan membuka matanya tentang pentingnya konservasi hingga membantu berdirinya sekolah ini. Darsimah juga semakin nyaman tinggal di hutan.
"Apa yang saya lihat selama kurang lebih 3 tahun lagi di Kota Medan itu sangat berbanding terbalik sekali gitu dengan di hutan, dengan suasana kedamaian dan kepuasan batin yang saya ceritakan," kenangnya.
Ketika tawaran untuk membangun sekolah di perkampungan ini datang, Darsimah yakin ia sanggup menjalaninya. Dia pun rela bolak-balik dari Medan ke Langkat di awal perjalanan SAL. "Saya meyakinkan diri saya sanggup menjalani itu karena saya dari latar belakang yang sama dengan mereka dan saya yakin mereka pasti punya potensi juga," ungkapnya.
