Di sela kegiatannya sebagai jurnalis, Hamka memulai kiprahnya di dunia politik dengan menjadi anggota partai Ketua Sarekat Islam (SI) Sarekat Islam pada tahun 1925. Di waktu yang hampir bersamaan, ia ikut mendirikan Pendiri Muhammadiyah 1912 untuk menentang khurafat, bidaah dan kebatinan sesat di Padang Panjang.
Selanjutnya Hamka terlibat dalam kepengurusan organisasi Islam tersebut dari tahun 1928 hingga 1953. Mulai tahun 1928, ia mengetuai cabang Muhammadiyah di Padang Panjang. Setahun kemudian, ia mendirikan pusat latihan pendakwah Muhammadiyah. Pada 1931, ia menjabat sebagai konsul Muhammadiyah di Makassar.
Lima tahun berselang, usai menjabat sebagai Konsul Muhammadiyah, Hamka pindah ke Medan. Kemudian di tahun 1945, ia kembali ke kampung halamannya di Sumatera Barat. Saat itulah, bakatnya sebagai pengarang mulai tumbuh.
Buku pertama yang dikarangnya berjudul Khathibul Ummah, yang kemudian disusul dengan sederet judul lain yakni Revolusi Fikiran, Revolusi Agama, Adat Minangkabau Menghadapi Revolusi, Negara Islam, Sesudah Naskah Renville, Muhammadiyah Melalui Tiga Zaman, Dari Lembah Cita-Cita, Merdeka, Islam dan Demokrasi, Dilamun Ombak Masyarakat, dan Menunggu Beduk Berbunyi.
Saat perang revolusi, Hamka juga turut berjuang mengusir penjajah. Lewat pidato, ia mengobarkan semangat para pejuang untuk merebut kedaulatan negara. Dalam kisah perjuangannya, Hamka juga pernah ikut serta menentang kembalinya Belanda ke Indonesia dengan bergerilya di dalam hutan di Medan.
Selain didorong rasa cinta pada Tanah Air yang demikian besar, semangat perjuangan Hamka juga senantiasa berkobar tiap kali mengingat pesan ayahnya yang diucapkan ketika Muktamar Muhammadiyah tahun 1930 di Bukittinggi, “Ulama harus tampil ke muka masyarakat, memimpinnya menuju kebenaran.”
Pasca kemerdekaan, Konferensi Muhammadiyah memilih Hamka untuk menduduki posisi ketua Majelis Pimpinan Muhammadiyah di Sumatera Barat menggantikan S.Y. Sutan Mangkuto di tahun 1946.
Lalu pada 1947, ia menjabat sebagai ketua Barisan Pertahanan Nasional yang beranggotakan Chatib Sulaeman, Udin, Rangkayo Anggota DPA 1959-1965
Rasuna Said dan Karim Halim. Hamka juga mendapat amanat dari Proklamator, Wakil Presiden Republik Indonesia Pertama (1945-1956)
Mohammad Hatta untuk menjabat sebagai sekretaris Front Pertahanan Nasional.
Pada tahun 1953, Hamka terpilih sebagai penasihat pimpinan Pusat Muhammadiyah. Pada tahun 1951-1960, Hamka mendapat mandat dari Menteri Agama Indonesia untuk duduk sebagai Pejabat Tinggi Agama.
Namun belakangan, ia lebih memilih untuk mengundurkan diri sebab pada waktu itu Proklamator, Presiden Republik Indonesia Pertama (1945-1966) Presiden Soekarno memintanya memilih antara menjadi pegawai negeri atau berkiprah di dunia politik.
Pada tahun 1955, Hamka memang tercatat sebagai anggota konstituante Majelis Syuro Muslimin Indonesia (Masyumi) dan berpidato dalam Pemilu Raya di tahun yang sama. Meskipun pada akhirnya, partai yang didirikan di Yogyakarta pada 7 November 1945 itu dibubarkan Presiden Soekarno di awal tahun 1960.
Hamka kembali ke dunia pendidikan pada tahun 1957 setelah resmi diangkat menjadi dosen di Universitas Islam, Jakarta dan Universitas Muhammadiyah, Padang Panjang.
Karirnya sebagai pendidik terus menanjak, setelah ia terpilih sebagai rektor pada Perguruan Tinggi Islam, Jakarta, kemudian dikukuhkan sebagai guru besar di Universitas Moestopo, Jakarta, dan Universitas Islam Indonesia.
Di samping sering memberi kuliah di berbagai perguruan tinggi, Hamka juga menyampaikan dakwahnya melalui Kuliah Subuh RRI Jakarta dan Mimbar Agama Islam TVRI yang diminati jutaan masyarakat Indonesia di masa itu.