Iklan - Scroll untuk Melanjutkan
Baca artikel IDN Times lainnya di IDN App
Ilustrasi seorang pria sedang makan (unsplash.com/jackiehutch)

Bulan Ramadan adalah waktu yang penuh berkah dan kesempatan untuk meningkatkan ibadah. Namun, di tengah semangat berpuasa, ada fenomena menarik yang muncul. Banyak orang merasa bangga ketika membatalkan puasa. Diistilahkan mokel atau tempus (tembak puasa).

Hal ini tentu menimbulkan pertanyaan, mengapa ada yang merasa bangga dengan tindakan tersebut?

Dalam artikel ini, kita akan membahas berbagai alasan di balik sikap tersebut. Mulai dari pengaruh lingkungan sosial, tekanan dari teman sebaya, hingga pandangan pribadi tentang puasa itu sendiri. Mari kita telusuri lebih dalam fenomena ini dan apa yang sebenarnya mendasarinya.

1. Pengaruh lingkungan sosial

Ilustrasi orang dari kardus (freepik.com/freepik)

Salah satu alasan mengapa banyak orang merasa bangga membatalkan puasa adalah pengaruh lingkungan sosial. Dalam beberapa kelompok, membatalkan puasa bisa dianggap sebagai bentuk kebebasan atau keberanian untuk mengekspresikan diri. Ketika teman-teman di sekitar mereka juga melakukan hal yang sama, individu tersebut merasa lebih nyaman untuk mengikuti jejak tersebut, bahkan merasa bangga melakukannya.

Selain itu, ada juga faktor tekanan dari teman sebaya yang membuat seseorang merasa perlu untuk membatalkan puasa agar tidak dianggap "ketinggalan zaman" atau terlalu religius. Dalam konteks ini, membatalkan puasa bisa menjadi cara untuk mendapatkan pengakuan atau penerimaan dari kelompok sosial mereka. Hal ini menciptakan siklus di mana tindakan tersebut menjadi normal dan bahkan dipuja dalam lingkaran tertentu.

2. Pandangan pribadi tentang puasa

Ilustrasi seorang pria sedang duduk termenung (freepik.com/freepik)

Bagi sebagian orang, puasa mungkin tidak memiliki makna yang dalam atau spiritual. Mereka mungkin melihat puasa lebih sebagai kewajiban yang harus dipenuhi, bukan sebagai kesempatan untuk mendekatkan diri kepada Tuhan. Dalam pandangan ini, membatalkan puasa bisa dianggap sebagai tindakan yang tidak terlalu signifikan, sehingga mereka merasa bangga melakukannya tanpa merasa bersalah.

Selain itu, ada juga yang beranggapan bahwa membatalkan puasa adalah bentuk kebebasan pribadi. Mereka merasa berhak untuk menentukan kapan dan bagaimana mereka menjalani ibadah, termasuk puasa. Dengan cara ini, tindakan membatalkan puasa menjadi simbol dari kebebasan individu dan penolakan terhadap norma-norma yang dianggap kaku.

3. Mencari pengakuan di media sosial

Ilustrasi tangan sedang scroll hp (freepik.com/jcomp)

Di era digital saat ini, banyak orang mencari pengakuan dan validasi melalui media sosial. Membatalkan puasa dan membagikannya di platform seperti Instagram atau TikTok bisa menjadi cara untuk menarik perhatian dan mendapatkan "likes" atau komentar positif. Dalam konteks ini, tindakan tersebut bukan hanya tentang membatalkan puasa, tetapi juga tentang bagaimana hal itu dapat meningkatkan citra diri mereka di mata orang lain.

Fenomena ini menciptakan budaya di mana tindakan membatalkan puasa bisa dipandang sebagai prestasi, terutama jika dilakukan dengan cara yang menarik perhatian. Dengan demikian, banyak orang merasa bangga dan berani untuk membagikan momen tersebut, meskipun itu bertentangan dengan nilai-nilai puasa yang sebenarnya.

4. Normalisasi tindakan membatalkan puasa

Ilustrasi orang sedang makan (unsplash.com/Louis Hansel)

Seiring berjalannya waktu, tindakan membatalkan puasa menjadi semakin dinormalisasi dalam beberapa kalangan. Ketika banyak orang di sekitar mereka melakukan hal yang sama, individu merasa bahwa tindakan tersebut tidak lagi dianggap tabu. Normalisasi ini membuat mereka merasa lebih nyaman untuk membatalkan puasa dan bahkan merasa bangga melakukannya, seolah-olah itu adalah hal yang wajar.

Proses normalisasi ini juga dipengaruhi oleh media dan budaya populer yang sering kali menampilkan gaya hidup yang tidak selalu sejalan dengan nilai-nilai agama. Ketika tindakan membatalkan puasa menjadi bagian dari budaya yang lebih luas, individu merasa bahwa mereka tidak sendirian dan bahwa tindakan tersebut dapat diterima secara sosial.

5. Kebutuhan emosional dan psikologis

Ilustrasi seorang pria sedang malas (freepik.com/freepik)

Terakhir, ada juga faktor kebutuhan emosional dan psikologis yang mendorong seseorang untuk membatalkan puasa. Dalam beberapa kasus, individu mungkin merasa tertekan atau stres, dan membatalkan puasa menjadi cara untuk meredakan tekanan tersebut. Mereka mungkin merasa bahwa dengan membatalkan puasa, mereka dapat menikmati makanan atau minuman yang dapat memberikan kenyamanan sementara.

Kebutuhan untuk merasa baik secara emosional ini sering kali lebih kuat daripada rasa kewajiban untuk berpuasa. Dalam konteks ini, membatalkan puasa bukan hanya tentang makanan, tetapi juga tentang mencari cara untuk mengatasi perasaan negatif yang mungkin mereka alami. Hal ini menciptakan rasa bangga karena mereka merasa telah mengambil langkah untuk merawat diri mereka sendiri, meskipun itu berarti melanggar aturan puasa.

Meskipun banyak yang merasa bangga membatalkan puasa, penting untuk memahami bahwa tindakan ini dipengaruhi oleh berbagai faktor, seperti lingkungan sosial, pandangan pribadi, dan kebutuhan emosional. Normalisasi tindakan ini dalam masyarakat juga berperan besar dalam menciptakan persepsi bahwa membatalkan puasa adalah hal yang wajar. Namun, kita perlu merenungkan kembali makna puasa dan tujuan spiritual di baliknya. Jadi, bagaimana pandanganmu tentang fenomena ini?

Editorial Team