Ke Medan, Chiccho dan Ariel Tatum Ungkap Spesialnya Film Perang Kota

Medan, IDN Times- Film Perang Kota mewarnai deretan film-film Indonesia di bioskop saat ini. Film terbaru besutan sutradara peraih dua Piala Citra Mouly Surya, Perang Kota, resmi tayang di bioskop seluruh Indonesia sejak 30 April 2025 lalu.
Tak terkecuali di Kota Medan. Minggu (4/5/2025) di Cinepolis Plaza Medan Fair, dua pemeran film Chiccho Jerikho (pemeran Isa) dan Ariel Tatum (pemeran Fatimah) melakukan cinema visit dengan menyapa para penonton film Perang Kota.
Kehadiran Chiccho dan Ariel Tatum yang hadir bersama produser Rama Adi dari Cinesurya di penghujung film membuat histeris para penonton.
Film yang diadaptasi dari novel legendaris Jalan Tak Ada Ujung karya Mochtar Lubis ini membawa penonton menyusuri kisah cinta segitiga yang meledak di tengah konflik Jakarta tahun 1946.
1. Perjalanan produksi yang intens dan peran menantang Chicho sebagai Isa
Dibintangi Chicco Jerikho, Ariel Tatum, dan Jerome Kurnia, Perang Kota mengangkat intrik emosional dan perjuangan di masa pasca-kemerdekaan, ketika Belanda kembali menginvasi Jakarta melalui tentara Sekutu.
Dalam film ini Guru dan pejuang kemerdekaan Isa (Chicco Jerikho) menjalankan misi melawan kolonial, sembari berjuang mempertahankan rumah tangganya yang mulai retak. Di sisi lain, istrinya Fatimah (Ariel Tatum) diam-diam menjalin hubungan dengan Hazil (Jerome Kurnia), sahabat perjuangan Isa. Cinta, pengkhianatan, dan perjuangan mewarnai kehidupan di tengah kota yang berubah jadi medan tempur.
Tak hanya kisahnya yang menggugah, proses produksi Perang Kota pun menjadi cerita tersendiri. Chicco Jerikho mengungkapkan, film ini melewati proses post-production yang sangat panjang dan melibatkan kolaborasi lintas negara.
“Post production kami makan waktu sekitar dua tahun. Bahkan tiga hari sebelum film rilis saja, film ini masih ada di Kamboja untuk final mixing karena kolaborasi tujuh negara. Prosesnya sangat panjang, dengan workshop yang intens. Seminggu, kami setiap hari pukul 10 pagi sampai 8 malam, ada tiga workshop: akting, dialek Minang dan Belanda, besoknya musik. Film ini benar-benar journey yang sangat panjang,” ujar Chicco.
Peran Isa yang ia mainkan pun awalnya bukan yang ditawarkan kepadanya. “Awalnya aku ditawarin jadi peran yang lain. Aku sudah cukup tertarik. Kirim skrip, dan minta waktu screen test. Tiga hari kemudian, pagi-pagi karakter saya diswitch jadi Isa. Aku langsung menyiapkan diri. Ini mungkin jadi pembelajaran besar aku di dunia aktor,” lanjutnya.
Menurut Chicco, karakter Isa bukan sosok biasa. Ia adalah veteran perang yang keras kepala dan tertutup. “Dia bukan cuma berjuang menjalankan misi organisasi, tapi juga mempertahankan rumah tangganya. Karena keidealisannya, Isa lupa tanggung jawab terbesarnya: memenuhi kebutuhan batin istrinya.”
2. Fatimah dimunculkan jadi karakter yang kuat meski di novel terlihat samar
Ariel Tatum yang memerankan Fatimah, menyampaikan kekagumannya terhadap Mouly Surya sejak awal. “Aku sangat menggemari Mbak Mouly. Begitu dikirim skrip, langsung ingat buku Mochtar Lubis yang pernah aku baca sejak SMP,” katanya.
Fatimah, dalam versi buku, hanya muncul samar. Namun Mouly memberikan karakter ini kedalaman baru.
“Banyak layer-layer baru diberikan Mbak Mouly. Ketika beliau tahu aku dari kecil main piano klasik, karakter Fatimah juga dibuat memainkan piano. Menghidupkan karakter yang awalnya abu-abu jadi pengalaman yang menyenangkan.”
Ariel juga mengungkap pengalaman berkesan selama mempelajari karakternya sebagai Fatimah. Termasuk belajar bahasa Belanda dan dialek Minang.
3. Kolaborasi 7 negara untuk produksi film
Dengan visual bernuansa vintage dan rasio layar 4:3, film ini menangkap suasana kota yang suram namun penuh gejolak. Sinematografer Roy Lolang menyajikan lanskap Jakarta yang otentik dengan gang-gang sempit yang menjadi metafora perang gerilya.
Film ini adalah hasil kolaborasi internasional dengan rumah produksi dari Singapura, Belanda, Prancis, Norwegia, Filipina, dan Kamboja. Tata suara dikerjakan di Kamboja dan Paris, dengan teknologi Dolby Atmos untuk pengalaman menonton maksimal.
“Ko-produksi ini memperkaya kualitas teknis dan membuka pertukaran pengetahuan bagi insan film Indonesia,” ujar produser Rama Adi dari Cinesurya.
Bagi Starvision, Perang Kota adalah bentuk dukungan pada sineas yang membawa eksplorasi cerita dan perspektif baru.
“Mouly Surya memberikan kita sebuah karya yang memantik kemungkinan-kemungkinan baru dalam sinema Indonesia,” kata produser Chand Parwez Servia.
“Perang Kota adalah film dengan cerita kompleks dan visi kuat. Sebuah kehormatan bisa terlibat dalam produksi berskala sebesar ini," kata produser eksekutif Willawati dari Kaninga Pictures.