Cerita Nita Dirikan Sigupai Membaco Bermodalkan Ransel dan Tikar

Nita dan adiknya pejuang literasi dari Aceh Barat Daya

Medan, IDN Times - Seorang gadis bernama Nita Juniarti (28) lulusan S1 jurusan Sejarah Kebudayaan Islam di Banda Aceh bersama adiknya yaitu, Randa Zahrial (19) menjadi penggerak literasi di Tanah Sigupai, Aceh Barat Daya.

IDN Times berkesempatan bertemu dengan mereka di Medan, dan bercerita memulai segala sesuatu bertujuan agar anak-anak bangsa rajin untuk membaca buku.

"Dulu ide pertama cuma ingin buku koleksi gak cuma dibaca sama keluarga, karena banyak orang miliki pustaka mini di rumahnya," memulai ceritanya.

Nita mengatakan saat itu, ia termasuk orang yang terobsesi dengan pustaka mini. Meskipun setelah dirinya mengalami beberapa kejadian dalam hidup ingin kalau buku-buku yang di rumah seharusnya bukan hanya dibaca oleh keluarga tapi juga dibaca sama orang lain. Ia mulai menceritakan asal muasalnya menjadi penggerak literasi di Tanah Sigupai.

1. Pertama kali bawa buku dalam ransel dan membantu anak-anak di pelosok Banda Aceh

Saat itu, Nita yang duduk bangku perkuliahan mencoba dengan bermodalkan sejumlah buku dan ranselnya. Membawa buku ke daerah-daerah di sekitaran wilayah Aceh dengan menjalankan tujuannya untuk membantu akses anak-anak membaca dengan programnya adalah Pustaka Ransel terkhusus pada wilayah terpelosok.

"Untuk membawa buku dalam tas ransel gitu ke adik-adik yang ada di pelosok itu di Banda Aceh tahun 2015. Pertama kali saya bawa ke Abdiyah waktu itu belum kepikiran buat gerakan seperti ini, jadi apa yang dikerjakan di Banda Aceh dibawa pulang. Waktu itu ada yang menolak, menarik bahkan antusias dengan kami membawa Pustaka Ransel ke desa mereka," ucapnya.

Dari situ pula, akhirnya Nita terobsesi untuk mendirikan perpustakaan desa ketika ia balik. Sekitar tahun 2016, berkesempatan berangkat ke Sulawesi selama satu tahun.

Namun ketika kembali lagi, dirinya memikirkan ada beberapa hal yang ditemukan dipenempatan saat itu.

"Saya jadi pengajar pemuda mengajar disitu ada pasangan yang mendirikan rumah baca di rumahnya. Kemudian anak-anak muda di Penyalabanggai yang setiap Minggu melapak buku. Mereka juga membuka rumah baca di pelosok. Penggeraknya anak-anak SMA, kuliah dan relawan oke dari berbagai profesi men-support buku dan juga mengisi kelas di sekolah," jelasnya.

2. Nita sempat dijuluki penjual buku dan banyak yang memandang sebelah mata

Cerita Nita Dirikan Sigupai Membaco Bermodalkan Ransel dan TikarKegiatan Sigupai Membaco yang didirikan Nita Juniarti sebelum pandemik COVID-19(Dok. Istimewa)

Ia berpikir agar tak ada yang boleh sia-sia selama masih dalam hal positif. Ini dibuktikannya ketika Nita pulang, lalu memikirkan keinginannya saat dari perantauan.

"Saya bawa pulang ke daerah saya karena saya merasa tersindir dengan ucapan pemilik rumah baca yang bilang kami hanya tamatan SMP. Sedangkan saya seorang sarjana tidak ada buat apa-apa untuk daerah saya. Karena kalau berbagi saja susah kalau tidak ada wadahnya maka terinspirasilah dari pustaka bergerak karena di rumah saya ada motor lihat potensi lalu dikembangkan," jelasnya.

Meskipun melihat pustaka di desa kurang aktif, karena tempatnya yang kurang nyaman. Maka, ia memikirkan bergerak dengan bermodalkan buku, tikar, ransel dan motor. Ia sempat dijuluki sebagai penjual buku.

"Pertama kali kami pergi ke lapangan karena biasa sekitar jam 9 ramai orang bermain bola tetapi kosong," ucap Nita.

Nita juga sempat dipandang sebelah mata, oleh masyarakat yang melihatnya sebagai penggerak literasi buku.

"Lalu kami ke bukit hijau yang katanya banyak orang nongkrong dan ada pembaca 2 orang, mereka bilang kepada saya sampai rambut kakak putih gak ada orang yang baca. Dan ada yang pinjam buku hanya untuk foto-foto. Saya bilang boleh pinjam untuk foto tetapi dibaca dulu," ungkapnya.

Baca Juga: Buku dan Sarana Minim, Pegiat Literasi di Sumut Resah

3. Dari rasa penasaran, Nita dan adiknya mulai buka lapak bernama Sigupai Membaco

Cerita Nita Dirikan Sigupai Membaco Bermodalkan Ransel dan TikarKegiatan cuci tangan di Sigupai Membaco yang didirikan Nita Juniarti (Dok. Istimewa)

Dimulai dari rasa penasaran Nita bersama adeknya untuk mengembangkan literasi buku. Mereka pun berpindah lokasi.

"Lalu, kami cari info dimana kami bisa buka lapak buku. Kami pindah lokasi di pantai hari pertama, saya sebarkan di media sosial dan ramai yang datang. Tanggal 7 januari 2018 di situ baru kita kasih nama karena ada yang nanya dan saya bilang Sigupai Membaco karena saya teringat ikon Abdiyah adalah Sigupai," ungkapnya.

Perlu diketahui, Sigupai ini adalah varietas padi yang ada di Aceh Barat Daya. Berasnya wangi dan terkenal di tanah Nanggroe, sehingga Nita teringat dan sekalian mempromosikan daerahnya. Sementara kata Membaco merupakan dialeg asal Minang dikarenakan sang ibu keturunan Minang.

4. Nita sudah memiliki 1.500 buku untuk dibaca

Cerita Nita Dirikan Sigupai Membaco Bermodalkan Ransel dan TikarKegiatan Sigupai Membaco yang didirikan Nita Juniarti sebelum pandemik COVID-19(Dok. Istimewa)

Sampai saat ini sudah ada 1.500 buku, namun buku-buku ini juga sering didonasikan jika ada buku baru yang masuk.

Nita mengatakan usaha yang dilakukannya, berbuah hasil. Ia telah mendapatkan bantuan dari pemerintah maupun CSR perusahaan swasta.

Sehingga dirinya tak lagi menjadi seorang ang dijuluki tukang jual buku, karena telah memiliki becak dan mempunyai tempat membaca para anak-anak di kampungnya.

"Kalau untuk CSR dari Asuransi Astra kita dapat becak dan buku. Ternyata Asuransi Astra juga bekerja sama dengan Gramedia. Jadi kita dapat 200 buku. Kemudian ada penerbit BIP mengadakan kompetisi Kado Tahun Baru. Jadi setiap setahun sekali mereka memberikan hadiah untuk Rumah Baca yang aktif, dengan cara memberikan proposal kepada mereka. Tahun 2019 kita dapat 200 buku dan semua buku anak," jelas Nita.

5. Sang adik miliki target untuk ajak temannya jadi relawan, sebagai bentuk dukungan ke Nita

Cerita Nita Dirikan Sigupai Membaco Bermodalkan Ransel dan TikarKegiatan Sigupai Membaco yang didirikan Nita Juniarti sebelum pandemik COVID-19(Dok. Istimewa)

Sementara itu, Randa Zahrial sebagai adiknya mengakui senang karena selama ini mendapatkan pengalaman yang awalnya hanya rasa penasaran kepada Nita.

Randa memiliki target untuk mengedukasi teman-temannya agar ramai menjadi relawan di Sigupai Membaco, sebagai dukungan kepada Nita.

"Aku punya impian yang bisa bikin (buat) orang lain tertawa, sedang kuusahakan. Semoga Tuhan meng-iyakan," tutupnya sebagai harapan.

Baca Juga: Cerita Irwansyah Sarumaha, Pejuang Literasi Anak-anak Nias Selatan

Topik:

  • Doni Hermawan

Berita Terkini Lainnya