Kisah Dedi Gimbal, Dari Anak Punk hingga Punya Studio Tatto Sendiri

"Terkadang kita lupa juga ikut menurunkan gaya hidup"

Pematangsiantar, IDN Times - Awal tahun 2000 an, Dedi Azwar meninggalkan kota kelahirannya, Sibolga, Sumatera Utara dan memilih merantau ke Kota Pematang Siantar. Dengan tekad untuk bertahan di tengah hiruk-pikuk udara segar di Siantar, Dedi yang akrab dipanggil Dedi Gimbal atau Alexandria ini memilih untuk nge-punk sebagai kegiatannya. 

Kepada IDN Times Sumut, Senin (18/5), Dedi bercerita bagaimana ia hidup di jalanan Kota Siantar dahulu. Bahkan, terkadang ia harus tidur di emperan toko bersama teman-teman Punknya. 

"Punknya bukan yang kita tangkap dalam arti negatif. Kami hanya sebagai orang bebas yang juga berseni musik," katanya membuka pembicaraan. 

1. Punk dan hidup dari panggung jalanan

Kisah Dedi Gimbal, Dari Anak Punk hingga Punya Studio Tatto SendiriInstagram/alexandriacastlevania

Selepas nge-punk, Dedi yang memiliki hobi musik ini merintis band beraliran underground. Dedi sendiri sebagai gitaris. Band yang sempat diisi oleh Dedi antara lain Egret, Not Love Story dan Super Heroes. 

"Saat itu sekitar tahun 2010 belum banyak kafe untuk manggung. Jadi kami berinisiatif membuat panggung jalanan di sekitara Jalan Diponegoro," kata pria berkepala plontos ini. 

Di tengah merintis karir sebagai musisi, Dedi berkenalan dengan dunia seni tatto. Sedikit demi sedikit ia mempelajari seni tatto modern dan membuat tatto bertuliskan tanggal dan tahun di tangan kanannya. 

Meskipun sudah tertarik dengan seni tatto, pria yang gemar memakai aksesoris blink-blink bernuansa emas ini tidak meninggalkan dunia musiknya. Ia masih kerap nongkrong dengan teman-teman seperjuangan saat merintis band underground dahulu. 

2. Tarif Rp100 ribu semua ukuran dengan mesin tatto rakitan

Kisah Dedi Gimbal, Dari Anak Punk hingga Punya Studio Tatto SendiriInstagram/Alexandriacastlevania

Memulai profesi sebagai seniman tatto profesional, perjalanan Dedi penuh dengan lika-liku. Ia harus menelusuri perkampungan di Kabupaten Simalungun untuk mencari orang yang mau memakai jasa tattonya.

"Tarifnya Rp100 ribu, besar atau kecil tattonya. Semua rata, bagaimana pun gambarnya. Peralatan pun di situ masih rakitan makanya belum bisa ku buat tarifnya seperti seniman tatto lainnya," terangnya. 

Dedi kemudian menikahi seorang gadis asal Siantar, Haryati Sihite. Sejak masih hidup di jalanan, pungkas Dedi, Haryati sudah senantiasa menemaninya. "Kami menikah sudah 3 tahun," jelasnya. 

3. Berhasil memiliki studio tatto sendiri dengan peralatan canggih

Kisah Dedi Gimbal, Dari Anak Punk hingga Punya Studio Tatto SendiriInstagram/Alexandriacastlevania

Saat ini Dedi dan istrinya tinggal di rumah yang cukup sederhana di Jalan Hoki, Kecamatan Siantar Barat. Di rumah yang ukurannya tidak terlalu besar itu juga dibuat studio tatto dengan peralatan yang canggih dan peralatan musiknya. 

Menanggapi pandemik corona yang sedang terjadi, Dedi terlihat santai. Respon itu bukan karena ia tidak mengalami dampak buruknya, namun lebih mematangkan mental. Jika berhitung pendapatan sebelum dan saat pandemik corona, penurunan ekonomi mereka terjun di hampir 50 persen. 

4. Pandemik corona, omzet tatto artist menurun hingga 50 persen

Kisah Dedi Gimbal, Dari Anak Punk hingga Punya Studio Tatto SendiriInstagram/Alexandriacastlevania

Saat ini Dedi hanya bisa menampung konsumen yang ingin menggunakan jasanya tidak sampai 10 orang per harinya. Jam operasional juga ikut dikurangi untuk menerapkan sosial distancing. 

"Dulunya per hari bisa 10 orang lebih dan uangnya sampai Rp 5 juta. Kalau sekarang Rp 3 juta itupun kadang-kadang bisa di bawahnya. Jam operasional hanya 6 jam, karena jam 5 sore sudah tidak menerima orang lagi," terangnya. 

5. "Kadang kita lupa menurunkan gaya hidup"

Kisah Dedi Gimbal, Dari Anak Punk hingga Punya Studio Tatto SendiriInstagram/Alexandriacastlevania

Mental serba apa adanya dahulu masih ia pegang teguh sampai sekarang. Hal itu menjadi rahasia pria kelahiran tahun 1985 itu masih bisa tetap tenang dan sabar menghadapi situasi. 

"Karena terkadang kita itu kalau ekonomi sudah meningkat, gaya hidup juga ikut meningkat. Tapi kita lupa kalau suatu saat nanti kita bisa kembali ke bawah seperti sekarang ini. Karena semua terdampak," jelasnya. 

"Kalau pendapatan menurun seperti sekarang, kita lupa juga ikut menurunkan gaya hidup. Itulah yang membuat kita stres berlebihan," sambungnya. 

Ia berpesan kepada teman sesama seniman khususnya di Kota Siantar agar mengingat bagaimana saat susah dahulu. Sehingga saat keadaan seperti ini mental para seninam tidak turun dan bisa bertahan. 

"Itu sudah sering kubilang sama kawan-kawan. Bukannya pendapatan ku tidak menurun, tapi haya hidup itu yang kembali kita setarakan sama pendapatan saat ini," ujarnya. 

Baca Juga: 5 Rekomendasi Novel Fiksi Best Seller, Cocok Temani Kamu di Rumah Aja

Topik:

  • Arifin Al Alamudi

Berita Terkini Lainnya