Perjuangan Yuda, Pemuda Percut yang Dirikan Rumah Edukasi Anak Pesisir

Sempat diusir dan dapat penolakan dari beberapa masyarakat

Deli Serdang, IDN Times – Hidup bertahun-tahun sejak kecil di lingkungan pesisir membuat Afri Yuda Tama Siregar sangat dekat dengan interaksi masyarakat nelayan, kondisi lingkungan yang kumuh, sampai aktivitas-aktivitas yang memanfaatkan sumberdaya laut untuk kehidupan sehari-hari. Namun di samping itu, Yuda melihat adanya suatu iklim pendidikan yang tidak merata di sana. Anak-anak pesisir dikatakan Yuda masih banyak yang belum bisa membaca sampai ada yang putus sekolah.

Melihat krusialnya masalah ini bagi indeks berliterasi, Yuda tak tinggal diam. Dirinya bersama beberapa relawan mendirikan suatu rumah edukasi yang menjadi wadah anak-anak pesisir mengembangkan bakat dan potensi yang mereka miliki. Rumah Edukasi itu diberi nama Redaksi, yang merupakan akronim dari Rumah Edukasi Anak Pesisir.

Kepada IDN Times Yuda menceritakan betapa kompleksnya masalah-masalah yang dialaminya sewaktu mendirikan Redaksi. Ia dan rekan-rekannya yang menjadi relawan beberapa kali terpaksa dipindahkan.Sampai mengalami momen ditolak beberapa masyarakat setempat lantaran mengganggu anak-anak mereka yang semulanya bekerja untuk mendapatkan uang jajan dengan menjadi anak itik (tukang bersih kapal atau memilah kerang) atau nelayan cilik.

1. Redaksi dibentuk atas keresahan melihat anak-anak pesisir yang banyak putus sekolah dan tak bisa membaca

Perjuangan Yuda, Pemuda Percut yang Dirikan Rumah Edukasi Anak PesisirAfri Yuda bersama anak-anak pesisir yang belajar di Rumah Edukasi Anak Pesisir (IDN Times/Eko Agus Herianto)

Bak teko yang diisi penuh oleh air, semangat Yuda pun sama halnya. Pada Juni 2022 dirinya berinisiatif mendirikan rumah edukasi. Ia memiliki maksud mulia untuk secara sukarela mengajarkan anak-anak pesisir di desa Percut. Sebab, selama ini anak-anak yang berada di lingkungan nelayan tersebut sangat banyak yang masih belum bisa membaca, bahkan ada yang putus sekolah.

“Pada tahun 2022 saya melakukan riset kecil-kecilan di pesisir Percut. Tingkat literasi di sana masih sangat rendah. Bahkan anak kecil kelas 6 SD sampai 2 SMP masih banyak yang belum bisa membaca. Jadi saya pikir mereka harus punya wadah belajar informal yang mampu menyelesaikan masalah ini. Saya sebagai anak pesisir mungkin merasakan problematika yang dihadapi mereka juga, seperti masalah ekonomi, sosial, pendidikan yang masih belum baik, dan lain-lain,” tuturnya.

Atas inisiatif itu, Yuda mengajak teman-temannya untuk terjun ke kegiatan kerelawanan. Mereka sudah tahu masalah mereka dan menganggap hal tersebut sangat krusial dan butuh aksi nyata anak-anak muda dalam meningkatkan literasi membaca untuk anak pesisir.

“Redaksi niatnya tak menjangkau Percut saja. Namun seluruh pesisir yang ada di Sumatra Utara. Kami merasa bahwa komunitas ini nantinya akan bisa dan namanya akan dipakai di tingkat Sumut dan harapan yang kami inginkan sampai ke seluruh Indonesia,” ucap salah satu alumni berprestasi di Universitas Medan Area itu.

Yuda menjelaskan jika Juni 2022 adalah pertama kalinya dirinya menggagas rumah edukasi itu. Namun karena sadar jika sebuah komunitas membutuhkan legalitas dan diketahui pemerintahan desa agar resmi, dirinya segera melakukan audiensi ke pemerintahan desa untuk mewujudkan misi itu. Barulah pada 17 Agustus 2022 mereka telah secara resmi tercatat di pemerintahan desa Percut.

“Kami fokus mengajarkan berbagai hal kepada anak pesisir, seperti anak SD, SMP, atau yang putus sekolah. Selama itu segala biaya mengajar masih menggunakan uang saya pribadi yang tak seberapa,” lanjutnya.

2. Sempat mengalami penolakan dari beberapa masyarakat dan diusir dari tempat mereka berkegiatan

Perjuangan Yuda, Pemuda Percut yang Dirikan Rumah Edukasi Anak PesisirProgram perahu ilmu yang ajak anak-anak Percut membaca dan mendongeng di atas perahu (IDN Times/Eko Agus Herianto)

Tak semulus yang dirinya sangka, ternyata dalam mendirikan Redaksi ia beserta teman-teman relawan mengalami berbagai macam aral gendala. Yuda menyebutkan hal tersebut sebagai salah satu tantangan yang memang harus mereka hadapi demi mewujudkan desa tersebut dihuni banyak masyarakat yang sadar literasi.

“Hari pertama belajar, banyak anak-anak yang antusias. Namun ada beberapa orang tua mereka yang yang menolak. Mereka menanyakan maksud kami. Hingga banyak ucapan-ucapan yang kurang sedap yang mampir di telinga. seperti ‘ngapain kalian mau repot-repot mendirikan rumah edukasi, kan sudah ada sekolah?’, sampai ‘mending anak-anak ini jadi anak itik yang bisa dapat uang sendiri untuk beli jajan’. Namun, semangat anak-anak itu yang ingin belajar lah membuat banyak dari mereka yang meninggalkan kegiatan menjadi anak itik,” ucapnya.

Pemuda yang telah memiliki prestasi inovasi produk sampai mancanegara ini pada akhirnya bisa meluluhkan hati beberapa orang tua yang menolak kehadiran Redaksi. Pertama kali didirikan, mereka memakai kios milik salah satu relawan sebagai tempat untuk mengajari anak-anak pesisir. Namun, setelah 4 bulan ternyata kios tersebut akan disewakan.

“Kami harus mencari tempat lain karena kios itu mau disewakan. Banyak dari kami yang menangis karena tak memiliki tempat belajar lagi pada saat itu. Rumah kami juga tak besar untuk menampung anak-anak yang sekali belajar sampai 50 sampai 70 orang. Jika belajar di masjid juga pasti mengganggu aktivitas beribadah,” kata pemuda yang merupakan pendiri salah satu komunitas riset di UMA itu.

Yuda menjelaskan jika dirinya menyampaikan masalah itu kepada kepala desa, dan akhirnya mereka diberi tempat belajar sementara di saung atau pondok yang statusnya adalah hibah masyarakat dan resmi menjadi aset desa.

“Saya pikir masalah telah selesai, namun ternyata tidak. Sekitar 8 bulan kami di Saung, akhirnya si penjaga Saung yang menghibahkan tanahnya itu mengambil alih kembali untuk ditempati oleh anaknya. Saya awalnya tegar, namun melihat anak-anak itu semuanya menangis karena tak tahu lagi harus belajar di mana, akhirnya saya juga ikut menangis,” cerita Yuda yang tak urung menitikkan air matanya kala berbicara dengan IDN Times.

Yuda mengaku bingung setelah mereka diusir dari Saung itu. 70 anak-anak yang selama ini belajar di Redaksi juga pada menanyainya akan belajar di mana lagi mereka. Hingga pada akhirnya salah satu perusahaan tambak udang mendatanginya dan menawarkan sebuah villa kosong.

“Ada satu villa dan tempat yang tak terpakai yang ditawarkan kepada kami. Doa-doa kami diijabah. Kami membersihkan tempat yang sudah tak terpakai 5 tahun itu dan akhirnya kami sampai saat ini melakukan banyak kegiatan di sana,” terangnya.

3. Redaksi punya banyak bidang yang tak hanya konsen pada misi memberantas buta huruf

Perjuangan Yuda, Pemuda Percut yang Dirikan Rumah Edukasi Anak PesisirRedaksi dapat juara 1 pada ajang yang diselenggarakan Balai Bahasa Sumatra Utara (IDN Times/Eko Agus Herianto)

Yuda menjelaskan jika komunitas yang didirikannya itu mengadakan pertemuan tiga kali setiap minggunya. Yakni hari Jumat yang berisi agenda mengaji serta Sabtu dan Minggu yang berisi agenda baca, tulis, berhitung, sampai pelatihan seni yang dapat meningkatkan animo berbudaya Melayu di pesisir.

“Untuk bidang edukasi kami punya program relawan peduli anak pesisir. Kami membuka kesempatan untuk seluruh mahaisswa se-Sumatra Utara untuk mengabdikan dirinya meningkatkan literasi membaca anak pesisir. Kami fokus meningkatkan literasi melalui kegiatan membaca seperti pojok baca di sekolah, pojok baca di bawah pohon, dekat sungai, dan lain-lain,” katanya.

Tak hanya itu, di bidang edukasi mereka juga memiliki program yang diberi nama perahu ilmu. Konsep program perahu ilmu adalah membaca di atas perahu. Di mana para relawan menyediakan beberapa perahu yang mengajak anak-anak pesisir berkeliling sampai ke tepi laut sambil membaca dan mendongengkannya.

“Untuk bidang sosial, kami melakukan aksi-aksi filantropi. Seperti program berbagi ikan pepes. Kami mengumpulkan donasi dan ikan-ikan tersebut kami masak dan kami beri kepada para lansia yang memang membutuhkan uluran tangan kami. Bahwa meskipun mereka tinggal di pesisir, ternyata mereka jarang makan ikan karena mereka bukan bekerja sebagai nelayan,” kata pemuda yang juga merupakan pemenang top 7 Duta Bahasa Sumatra Utara ini.

Program Redaksi yang masuk dalam ranah sosial lainnya adalah program yang diberi nama 100 sepatu bolong. Mereka membagikan 100 sepatu kepada anak-anak pesisir yang sepatunya sudah tidak layak lagi. Hal tersebut dimaksudkan untuk memacu semangat anak-anak pesisir dalam belajar. Tak hanya itu, pada isulingkungan mereka memiliki program bernama 1 anak 1 kantong sampah. Di mana mereka bersama dinas kebersihan dan pemerintahan desa setempat melakukan bersih-bersih di kawasan pesisir.

Baru-baru ini, Redaksi mendapatkan penghargaan bergengsi dari Balai Bahasa Sumatra Utara dalam ajang Festival Literasi Sumatra Utara. Walaupun masih berusia 1 tahun, namun rumah edukasi itu berhasi menyabet juara 1 dalam kategori konten terbaik komunitas literasi.

“Saya berharap wadah ini menjadi besar dan semoga tetap berjalan dan memiliki manajemen SDM yang bagus. Tujuan ke depannya kita bisa bekerjasama dengan pemerintah di Kabupaten lain untuk membangkitkan relawan anak pesisir. Saya ingin anak pesisir punya pendidikan informal yang berguna bagi mereka dan dekat dengan mereka untuk dapat menggali potensi diri. Semoga komunitas ini bisa jadi percontohan bagi pesisir di Indonesia. Sehingga platform ini bisa jadi sebuah start-up yang dapat mewadahi kebutuhan akademik anak pesisir,” pungkasnya.

Baca Juga: Cerita Uye Dirikan Rumah Ceria Medan untuk Pendidikan Anak Disabilitas

Topik:

  • Doni Hermawan

Berita Terkini Lainnya